30 January 2006

Membaca Pulau Jawa: Menelusuri Sejarah Panjang Kolapsnya Sistem Kehidupan

Awicaksono

Mendapat "penugasan" dari seorang kawan untuk merumuskan strategi penanganan bencana di pulau Jawa saya tak ragu untuk menerimanya. Di sela-sela waktu senggang sepanjang dua tahun terakhir saya memang begitu getol membaca dan menelaah sejarah panjang kehancuran sistem kehidupan di pulau Jawa. "Tugas" itu lebih seperti tantangan untuk membuat pemodelan dari dinamika sistem kehidupan pulau Jawa.

Diskusi dengan kawan jauh yang kebetulan sedang berlibur di Indonesia, saya mendapatkan beberapa masukan dan gagasan. Antara lain tentang fakta bahwa kehancuran sistem (system collapse) pulau Jawa sebenarnya sudah berkali-kali nyaris terjadi sepanjang kurun satu abad. Sehingga penting untuk menghindari jebakan linear regression yang tentu saja sangt menguras pikiran dan tenaga.

Saya pun mulai membongkar-bongkar lemari buku. The Ecology of Java yang ditulis bersama oleh Anthony J. Whitten, Suraya Afiff dan Soeriaatmadja, kembali saya buka. Juga buku tua, Land Use and Environment in Indonesia. Buku kompilasi hasil riset bareng peneliti anthropologi Jepang, Belanda dan Indonesia, Beneath the Smoke of Sugar-Mill pun mulai antri di rak buku kerja.

Tidak hanya buku, beberapa situs internet yang sudah saya simpan di bookmarks mulai saya kunjungi lagi satu per satu. Beberapa artikel dan makalah dalam portable document format (PDF) yang saya simpan dalam koleksi e-books pun mulai saya pindahkan ke folder khusus. Ini pekerjaan serius.

Kerangka kerja dan pikir sudah beberapa kali didiskusikan. Tim pun sudah terbentuk. Tugas saya adalah sebagai mentor bagi beberapa orang muda dengan kecakapan yang cukup beragam. Dari lima orang yang saya butuhkan, dua diantaranya tinggal di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Harapan saya, pekerjaan ini akan menghasilkan rumusan pertanyaan-pertanyaan sederhana yang akan dilontarkan kepada masyarakat di beberapa wilayah rawan bencana. Ujungnya, paling tidak ada tiga arena: (1) kemarahan masyarakat; (2) harapan masyarakat; dan, (3) konsep tanding untuk pengurusan kehidupan dan keselamatannya.

Penelitian seperti ini pernah saya kerjakan tiga tahun lalu. Tetapi fokusnya adalah pantai utara Jawa (pantura). Pertanyaan kunci penelitian itu adalah, "Apa yang menyebabkan masyarakat mampu bertahan hidup di kawasan yang secar ekologik dan sosial sudah tidak layak dihuni?" Kesimpula penelitian itu sangat mencengangkan. Satu potret fraktal tentang dinamika demografik yang membuat saya berpikir tentang mutu kehidupan dan mutu lingkungan hidup minimal yang seharusnya ditetapkan negara, dalam memenuhi tanggungjawabnya menjamin rakyat memenuhi kebutuhan dasarnya.

Jakarta, 29 Januari 2006

J.R.R. Tolkien: Penulis The Lord of the Rings

Dirujuk dari Denmas Marto

J.R.R. TolkienTahun 1997, sebuah majalah populer di Inggris mengadakan jajak pendapat tentang buku terbaik abad ke-20. Ribuan orang memberikan tanggapan. Pemenangnya, dengan keunggulan angka sangat mencolok: The Lord of the Rings (LOTR), karya J. R. R. Tolkien, yang terbit pertama kali tahun 1954-1955.

Para pakar sastra kebakaran jenggot. Bagaimana mungkin sebuah cerita fantasi menang? Mereka kembali menggelar jajak pendapat, dan karya Tolkien kembali unggul. Ketika jajak pendapat diulang untuk ketiga kalinya, untuk ketiga kalinya pula publik menegaskan pendapat mereka: Tolkien adalah favorit mereka.

New Line mengangkat buku itu ke layar perak. Desember 2001 lalu, bagian pertama film LOTR, The Fellowship of the Ring, diluncurkan. Dua bagian lanjutannya akan diedarkan berturut-turut pada Natal tahun ini dan tahun depan. Sampai April 2002, The Fellowship telah menduduki peringkat kelima dalam daftar film terlaris sepanjang sejarah untuk peredarannya di seluruh dunia.

Nah, tahukah Anda kalau penulis LOTR adalah seorang Katholik yang saleh?

Cinta Bahasa

John Ronald Reuel Tolkien lahir di Afrika Selatan tahun 1892. Ayahnya meninggal tidak lama setelah adiknya lahir. Beberapa tahun kemudian, setelah mereka pindah ke Birmingham, sang ibu meninggal, dan kakak-beradik itu pun dibesarkan oleh imam Gereja Katholik.

Prestasi belajar Tolkien biasa-biasa saja, namun bakat kebahasaannya sangat menonjol. Berkat didikan dan disiplin ibunya, Tolkien sudah fasih membaca dan menulis sebelum berumur empat tahun. Ia memahami cara kerja bahasa, dan bahkan menyusun suatu bahasa tersendiri. Ia menekuni kecintaan pada bahasa ini dengan belajar di Oxford dan kemudian mengajar filologi di kampus itu. Ia termasuk salah satu profesor yang paling terhormat di Oxford. Dari kecintaannya akan bahasa itulah ia menjelajahi berbagai mitologi dunia. Ia menulis LOTR, katanya, untuk memberi Inggris mitosnya sendiri.

Latar mitos ini adalah Dunia Tengah, sebuah dunia yang direka olehnya, lengkap dengan peta dan bahasanya. LOTR adalah kisah epik tentang cincin bertuah yang diwariskan kepada Frodo Baggins, seorang hobbit muda, dan bagaimana peranannya dalam sejarah Dunia Tengah. (Hobbit adalah makhluk seperti manusia, tingginya sekitar setengah tinggi manusia normal. Mereka biasa tinggal dalam lubang, suka makan, suka berkebun dan suka hadiah.)

Mitos dan Kebenaran


Mengapa menulis mitos? Meskipun kebanyakan orang melihat mitos sebagai kisah tentang sesuatu yang tidak benar atau tidak nyata, Tolkien beranggapan sebaliknya. Menurutnya, ada kebenaran yang melampaui diri kita, kebenaran transenden, tentang keindahan, kebenaran, kasih, dsb. Meskipun kebenaran itu tidak terlihat, bukan berarti ia tidak nyata. Melalui bahasa mitoslah kita dapat mengungkapkan kebenaran ini.

Pandangan Tolkien tentang mitos ini sangat menolong C.S. Lewis untuk kembali mempercayai Kekristenan. Semua mitos lain di dunia, kata Tolkien, adalah campuran antara kebenaran dan kesalahan. Kebenaran – karena mitos itu ditulis oleh orang-orang yang diciptakan oleh dan bagi Allah; kesalahan – karena mitos itu ditulis oleh mereka yang telah kehilangan kemuliaan Allah. Namun, Alkitab adalah satu-satunya mitos yang benar. Alkitablah catatan kebenaran yang sejati, sedangkan semua mitos lain hanya menyalinnya.

Persahabatan

Tolkien juga sangat menghargai persahabatan. Hal ini tampak jelas baik dalam karyanya maupun dalam kehidupannya. Dalam LOTR, kita dapat melihat persahabatan antara Frodo dan Sam serta Frodo dan Aragorn. Dalam kehidupannya, ia bersahabat erat dengan C.S. Lewis.

Persahabatan adalah karunia. Persahabatan berlangsung sewaktu dua orang bertemu dan memiliki perspektif, pengalaman, pengertian, “kekayaan” atau beban yang sama. Dan persahabatan seperti ini patut dihargai.

Tolkien dan Lewis jelas menghargai persahabatan mereka. Tolkien menulis, “Saya banyak mendapatkan berkat dari persahabatan dengan Lewis. Selain mendatangkan kegembiraan dan penghiburan, saya juga dikuatkan karena berhubungan dengan seorang pria yang jujur, berani, cerdas – seorang sarjana, penyair dan sekaligus filsuf – dan yang akhirnya, setelah bergumul sekian lama, menjadi orang yang mengasihi Tuhan kita.”

Seperti Hobbit

Tolkien melihat dirinya seperti hobbit, kecuali tinggi badanya. Ia suka makan, suka berkebun dan berjalan-jalan di desa. Ia juga suka mengisap pipa, suka cerita, suka berteman. Ia mencintai keluarganya, dan lebih senang tinggal di rumah daripada bepergian. Ia suka bercanda, ramah dan murah hati. Ia tidak bertekad untuk mengubah dunia, namun ia bertekad untuk menjalani kehidupan yang telah Tuhan berikan ini dalam ketaatan.

Ia percaya bahwa keluarga, rumah dan pekerjaan adalah jantung kehidupan kita. Pekerjaan berarti semua yang dilakukannya, bukan hanya yang mendatangkan penghasilan. Ia biasa makan tiga kali sehari dan minum teh bersama keluarganya. Baginya, keluarga, rumah dan pekerjaan adalah hal-hal saleh yang lebih menyenangkan hati Allah daripada “perbuatan baik” lainnya.

Menikah dengan Edith Bratt, ia dikaruniai empat anak – John, Michael, Christopher, and Priscilla. Joseph Pearce dalam bukunya, Tolkien: Man and Myth, menulis, "Cukup beralasan untuk menduga bahwa seandainya Tolkien tidak dikaruniai anak, ia tidak akan menulis The Hobbit atau LOTR." Selama menulis LOTR, Tolkien biasa mengirimkan bab-bab yang telah rampung kepada anaknya, Christopher.

LOTR berakhir di rumah hobbit. Sebagian orang menganggapnya sebagai antiklimaks mengingat luasnya cakupan epik tersebut. Namun hal ini hanya menegaskan bahwa, bagi Tolkien, semua peperangan, heroisme dan perbuatan yang penuh keberanian tidaklah seberharga apa yang berlangsung dalam keseharian kita yang bersahaja.
Sesuatu yang Lebih Baik

Hidup Tolkien juga penuh akan visi masa depan. Bukan visi tentang apa yang akan dilakukannya bagi Tuhan, melainkan visi tentang apa yang Tuhan sediakan baginya. Pikirannya terarah pada apa yang oleh Calvin disebut sebagai “meditasi tentang kehidupan yang akan datang”. Ia sadar dan yakin sepenuhnya bahwa “Semua penderitaan yang kita alami sekarang... tidak dapat dibandingkan sama sekali dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.”

Fakta bahwa kita merindukan sesuatu yang lebih baik, menurutnya, membuktikan bahwa memang ada hal yang lebih baik yang disediakan bagi kita. Ia menulis pada seorang teman: “Kita lahir pada zaman kegelapan yang tidak ramah pada kita. Namun inilah penghiburan kita: kalau tidak demikian kita tidak akan tahu... apa yang kita kasihi. Saya bayangkan, ikan yang di luar air adalah satu-satunya ikan yang mendapatkan firasat tentang air.” Orang Kristen adalah ikan yang di luar air, hidup di luar lingkungan yang semestinya bagi dia. Kita adalah pengembara, orang asing, orang buangan, yang akan segera pulang.

Tolkien sendiri pulang ke rumah Bapanya pada 2 September 1973.

29 January 2006

Climate Change Policy: A Survey

Dirujuk dan diterjemahkan dari CESP - Books and Book Chapter

Informasi Buku

Judul buku: Climate Change Policy: A Survey
Penulis: Stephen H. Schneider , Armin Rosencranz, John O. Niles (editor)

Penerbit: Island Press

Tahun terbitan: 2002

ISBN: 1559638818


Pertanyaan-pertanyaan di sekitar isu perubahan iklim tumbuh mulai dari "Apakah ini sungguh terjadi?" hingga "Apa yang dapat kita lakukan?" Kendala utama untuk menangani isu ini pada situasi sekarang bukanlah perkara ilmiah tetapi justru perkara politik dan ekonomi; jelas bahwa jalan keluar yang cepat sangat tidak mungkin.

Ketidaktahuan dan kebingungan menyangkut isu, termasuk kurangnya pemahaman mendasar tentang perubahan iklim, dampaknya terhadap lingkungan hidup dan masyarakat manusia, serta kisaran pilihan-pilihan kebijakan yang tersedia, menyumbang kepada kekacauan-kekacauan politis dalam penanganan perubahan iklim. Kebijakan perubahan iklim mencoba menelaah situasi yang ada dengan mengangkat secara bersama-sama pemikiran-pemikiran baru dari para ahli terkemuka yang mengkaji isu ini dari berbagai dimensi, utamanya dalam membangun pemahaman tentang perubahan iklim dan kebijakan untuk menanganinya. Bab-bab buku ini mempertimbangkan:
  • ilmu iklim dari perspektif sejarahnya
  • kajian-kajian tentang ketidakpastian dalam khasanah ilmiah dan kebijakan iklim
  • sisi ekonomik kebijakan iklim
  • isu-isu keadilan Utara-Selatan dan antargenerasi
  • peran dunia usaha dan industri dalam upaya pencarian jalan keluar isu iklim
  • mekanisme kebijakan, meliputi pelaksanaan bersama (joint implementation), perdagangan emisi (emissions trading), dan apa yang disebut dengan mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism)
Terlepas dari naik-turunnya status Protokol Kyoto, isu-isu yang terus terangkat dalam debat ini akan tetap berlangsung mengingat rejim-rejim perlindungan iklim yang baru terus bermunculan; buku ini mencoba untuk merangkumnya sekaligus. Mengaitkan bab-bab buku ini secara bersama-sama muncullah sebuah kesimpulan bersama bahwa perubahan iklim adalah ancaman yang sungguh-sungguh dan serius, dan bahwa kita sebagai bagian dari masyarakat dunia memiliki kewajiban tidak hanya untuk beradaptasi dengan perubahan tersebut, tetapi juga untuk mengurangi dampak-dampaknya menggunakan cara yang paling cerdas yang dapat dikembangkan. Efektifitas biaya jadi tidak relevan ketika kita bicara tentang prospek kerugian jangka panjang dan masa depan yang luar biasa besar.

Download sebagian bab buku ini, silakan ke sini.

Mengukir 81 Tahun Pramoedya Ananta Toer

Dikirim oleh Bursa Matabaca
Pengumuman lewat milis Apakabar

Pramoedya Ananta Toer adalah sastrawan besar Indonesia. Budayawan dan insan politik yang berpihak pada rakyat yang tertindas. Hidup sebagai orang yang tertindas oleh suatu rezim di negeri yang ia cintai justru membuat adrenalin kreativitasnya terus mengalir dan menghasilkan karya-karya yang sangat bernilai. Sejumlah lembaga pun memberikan penghargaan atas pencapaian karya-karyanya. Bahkan beliau sudah berkali-kali menjadi nominator nobel untuk bidang sastra.

6 Februari 2005, Pramoedya berusia 81 tahun. Eksistensi dan pencapaiannya tentu patut dirayakan dan menjadi catatan penting sejarah bangsa Indonesia. Ikuti perbincangan menarik seputar sosok dan karya Pramoedya di Pustaka-Pustaka Pro 3 FM pada:
Hari/Tanggal: Rabu, 1 Februari 2006
Waktu: Pk. 14.00—16.00 WIB
Tempat: Studio B RRI, Jln. Medan Merdeka Barat 4—5, Jakarta Pusat
Narasumber: Parni Hadi (President Director RRI), Daniel Dhakidae (Kepala Litbang KOMPAS) & Happy Salma (Pembaca Karya Pramoedya)
Host: M. Fadjroel Rahman
Acara ini akan dihadiri oleh Pramoedya.

Terbuka untuk umum. Tempat terbatas! Konfirmasi kehadiran melalui vi_mel99@yahoo.com dan melvi@matabaca.com. Anda juga bisa mendapatkan MATABACA edisi Februari 2006 dan buku-buku karya Pramoedya di lokasi acara.

Acara ini dipersembahkan oleh Radio Republik Indonesia dan Majalah MATABACA dan didukung oleh KOMPAS, Toko Buku Gramedia, dan Kepustakaan Populer Gramedia.

Kiat Mencari Buku-buku Perpustakaan Menggunakan RedLightGreen

Oleh Gary Price, News Editor
Dimuat di Search Engine Watch, 31 Oktober 2005

Google Scholar bukan satu-satunya layanan online yang dapat membantu Anda menelusuri dan memperoleh buku-buku. Sebuah mesin pencari (search engine) dengan nama yang aneh, RedLightGreen, terbukti sangat ampuh dan memiliki beberapa kelebihan yang tak dimiliki mesin pencari lainnya.

RedLightGreen adalah layanan pencari yang dirancang untuk mudah digunakan, membantu Anda mencari dan mengakses perpustakaan-perpustakaan. Mesin pencari ini dikembangkan oleh RLG, sebuah organisasi perpustakaan yang berbasis di California. Database yang dikembangkan, atau yang populer di kalangan pustakawan dengan sebutan "union catalog" dan mengandung informasi bibliografik lebih dari 120 juta buku. Selain itu ia pun menyediakan fitur lain yang sangat mengesankan.

Sebagai contoh, pencarian tentang "Internet History". Hasil pencarian tidak hanya mengandung daftar kunjungan (list of hits) tetapi juga informasi bantuan, yang memudahkan Anda mempersempit dan memfokuskan pencarian. Perhatikan kolom di sisi kiri halaman.

Di sini Anda akan mendapatkan pilihan-pilihan untuk memfokuskan pencarian hingga ke subyek yang sangat spesifik. Darimana links (jejaring informasi) itu diperoleh? Ternyata informasi hasil pencarian tersebut berasal dari daftar subyek utama yang telah dibangun secara manual oleh para penyusun katalog, menggunakan kosakata terkendali yang disebut Library of Congress Subject Headings. Memanfaatkan keuntungan dari penjelasan subyek utama seringkali memudahkan Anda mendapatkan material yang dibutuhkan secara cepat.

Selain itu, Anda pun akan mendapatkan daftar nama pengarang yang dapat di-klik. Dan jika Anda ingin membatasi pencarian untuk bahasa tertentu, itu dapat dilakukan hanya dengan satu klik saja.

Moda layanan pencarian lanjut (advanced) dengan pilihan yang lebih sedikit juga tersedia.

Begitu Anda memiliki sebuah daftar buku, apa yang dapat dilakukan? Anda tinggal mengunjungi halaman-halaman dari setiap judul.

Perhatikan kotak hijau di sisi atas kanan halaman dengan tulisan, "Get it at your library." Jika Anda klik link ini, Anda dapat memeriksa secara cepat perpustakaan yang Anda tuju memiliki koleksi itu atau tidak. Bahkan RLG baru saja menambahkan link langsung ke LEBIH DARI RIBUAN katalog perpustakaan di seluruh dunia. Jika Anda mendaftar (gratis dan cepat), perpustakaan-perpustakaan setempat akan selalu di-link-kan.

Kotak hijau lain di sisi kanan halaman disediakan bagi Anda untuk menyimpan materi-materi yang telah dikumpulkan. Anda dapat mengeset dan memformat daftar tersebut menggunakan format bibliografik. Karena lebih mudah mengirim bibliografi lewat email.

Halaman hasil pencarian juga mengandung link untuk mengecek persediaannya di toko-toko buku melalui database Amazon.com, serta link lain dari Google.

Jika Anda kemudian menggunakan RedLightGreen, jangan lupa, mesin pencari ini pun memiliki plugin untuk Mozilla Firefox.

Saya hanya menyajikan informasi permukaan saja dan berharap dapat menulis lebih banyak tentang proyek ini. RedLightGreen sungguh sangat berharga dan berguna untuk pekerjaan saya. Anda dapat membaca artikel tentang RedLighGreen di sini dan sini.

Terimakasih Pak John MacDougall untuk rujukan artikel ini.

27 January 2006

Bacaan-bacaan Bagus

Awicaksono

Pengelola

Terimakasih kepada Pak John MacDougall untuk rujukan-rujukannya. Bahan bacaan di bawah ini diekstrak dari mailing list yang dikelola Om John, yakni Indonesian Studies.
Untuk mengambil (downloading) bahan bacaan di atas, cukup klik kanan mouse Anda, lalu pilih perintah "Save Target As.." (pada Internet Explorer), atau "Save Link As.." (pada Mozila Firefox). Untuk dapat membacanya komputer Anda harus memiliki piranti-lunak Acrobat Reader. Piranti-lunak itu dapat diambil secara gratis di situs Adobe Acrobat.

Ada pertanyaan? Silakan email saya.

26 January 2006

Refleksi Tulisan-tulisan Advokasi

Awicaksono

Sore tadi sempat berdiskusi lumayan panjang dengan seorang pembuat film dokumenter, Chandra. Sebuah diskusi lanjutan di luar ruang diskusi, setelah saya melempar pertanyaan kepada ketiga narasumber dalam diskusi "Film Sebagai Media Perlawanan," sebagai bagian program "South to South Film Festival." Ada banyak hal yang menarik dari diskusi itu. Dan itu membuat saya merenungkan tentang tulisan-tulisan advokasi yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau organisasi masyarakat sipil (OMS) atau organisasi non-pemerintah (Ornop), entah itu berupa siaran pers (press release) atau kertas posisi.

Saya kira apa yang saya dan Chandra perdebatkan tentang film sebagai medium perlawanan cukup relevan untuk direfleksikan ke tulisan-tulisan LSM, OMS atau Ornop di media-media massa cetak. Beberapa hal yang sempat saya catat:

1. Daya jangka medium: Luas atau spesifik (segmented)? Masing-masing punya keuntungan dan resiko sendiri-sendiri;

2. Dampak: Pengaruh-pengaruh yang secara sederhana dapat diukur akibat penyampaian pesan lewat medium yang dipilih;

3. Tali emosi antara pesan dengan publik: Selain tentang kepada siapa disampaikan pesan bersangkutan, penting pula dipertanyakan, apakah publik punya urusan dengan kandungan pesan?

4. Konsistensi dan kreatifitas taktik penyampaian: Untuk konteks Indonesia, penyampaian yang terus-menerus dan konsisten sangatlah penting. Tetapi kreatifitas untuk secara terus-menerus merumuskan taktik-taktik penyampaian tak kalah penting. Karena publik di Indonesia punya kecenderungan pelupa terhadap kesusahan-kesusahan yang dihadapinya.

Menggunakan keempat kriteria di atas saya coba menengok ulang tulisan-tulisan yang dihasilkan LSM, OMS atau Ornop.

Pertanyaan pertama yang saya ajukan, "Mengapa tulisan itu dimuat media?" Jawabannya bisa sangat beragam. Salah satunya, kedekatan hubungan antara pegiat LSM, OMS atau Ornop dengan "orang dalam." Tetapi bukan tak mungkin karena momentumnya sesuai.

Pertanyaan selanjutnya, "Apakah tulisan itu sudah memikirkan dampak yang ingin dihasilkan jika ia dimuat dan dipublikasikan media?" Meski tak punya data yang valid, tapi saya punya feeling, dampak tidak masuk dalam proses perencanaan penulisan. Itu pun jika memang ada prosesp perencanaan penulisan. Yang lebih sering saya dengar, perumusan tujuan penulisan. Misal, "Menyadarkan masyarakat tentang isu penting yang mengancam keselamatannya," dan sebagainya. Lalu?

Tanpa harus melanjutkan analisis menggunakan kriteria lainnya, saya berhenti bertanya. Saya coba membuka-buka arsip tulisan-tulisan tersebut. Beberapa catatan saya buat. Beberapa diantaranya:

1. Tidak punya fokus: Terlalu banyak "pesan kunci" yang "ingin" disampaikan. Tidak mempertimbangkan bahwa pembaca, siapa pun dia, tidak memiliki skala prioritas dan kepentingan yang sama dengan si penulis pesan.

2. Terlalu sibuk bermain-main dengan data: Berbagai data, yang sebagian besar adalah data sekunder, disajikan tetapi gagal menghidupkan "pesan kunci." Data-data yang disajikan lebih berkesan sebagai ekspresi ego si penulis pesan.

3. Sibuk dengan opini tetapi tak mampu membangun artikulasi yang afirmatif: Keberpihakan memang penting, tetapi tidak harus menjadi dogmatik. Sebagian tulisan-tulisan belum berhasil mengartikulasikan sikap lewat opini. Yang lebih banyak disampaikan adalah opini-opini asal keras yang tidak menunjukkan dimana posisi si penulis pesan berpijak.

Begitu banyak tulisan advokasi yang tersebar di media yang hanya mampu meneriakkan protes dan tuntutan. Namun belum banyak yang berhasil menyentuh "syaraf marah" publik pembaca, sehingga menggerakkan mereka.

Jakarta, 26 Januari 2006

Hah, Penerbit Baru Lagi?

Oleh Irfan Nasution
Semua komentar dikirimkan langsung ke Irfan Nasution

Barangkali begitulah yang terlintas di benak Anda saat membaca katalog ini atau mendengar kehadiran kami meramaikan dunia perbukuan di Indonesia. Memang, menjadi pemain baru dalam dunia penerbitan Indonesia dengan nomor urut kesekian ratus saat ini memang berat, tapi kami berani melakukannya karena kami yakin kami menawarkan sesuatu yang berbeda.

Pertama, kami punya (atau setidaknya merasa punya) garis yang jelas mengenai buku-buku yang kami terbitkan. Memang orang boleh memperdebatkan apa makna "kiri" di zaman seperti ini, tapi bagi kami jelas: dunia masih jauh dari adil, sejarah belum berakhir, dan alternatif-alternatif lain di luar sistem ekonomi-politik yang mengukung kita sekarang masih banyak yang belum dicoba. Semangat seperti inilah yang kami maknai sebagai "kiri".

Kedua, jelas kami tidak mengklaim sebagai penerbit "kiri" (atau kritis) satu-satunya di Indonesia. Setiap penerbit baru rata-rata mendaulat diri sebagai penerbit kecil, independen, kritis, dan dijalankan dengan idealisme. Kami pun begitu. Kami kritis, independen, dan dijalankan dengan idealisme, tapi kami tak mau terus-terusan kecil. Kami ingin menjadi besar, karena kami melihat kurang beredarnya wacana kritis di Indonesia selama ini justru disebabkan karena wacana kritis itu kebanyakan diusung oleh penerbit-penerbit kecil yang jatuh bangun terus menerus. Bagaimana buku-buku beraliran neoliberal yang dicetak dan didistribusikan dengan bagus itu hendak dilawan, bagaimana novel-novel chick lit dan teen lit yang laris manis tapi diragukan mutu sastranya itu hendak dilawan, bila tidak ditandingi dengan daya cetak dan distribusi yang sama?

Karenanya kami bertekad untuk profesional. Laba yang kami peroleh kami putar untuk memproduksi buku lagi, karena bila kerja kebudayaan ini tidak sustainable sebagai bisnis, seluruh kerja ini jadi percuma. Kami memetik inspirasi dari penerbit-penerbit kritis sedunia lainnya (misalnya Verso, Zed Books, Pluto Press, South End Press, The New Press, Autonomedia, AK Press, Ordfront, Ediciones Era dll), yang berhasil menyeimbangkan antara kekritisan visi, wibawa intelektual dan akademisnya, serta profesionalitas kerjanya. Kami, misalnya, mengurus copyrights setiap buku yang kami terjemahkan. Kami tahu bahwa rezim copyrights yang ada sekarang memang banyak cacatnya, tapi kami memandang copyrights-lah cara untuk memasuki pasar buku mainstream dan melakukan gebrakan dari dalam. Dengan hak yang sudah ada di tangan, kami tidak lagi merasa perlu mengedarkan buku secara sembunyi-sembunyi atau takut dituntut. Dan lagi, copyrights sedikit banyak memberi kami insentif untuk tidak mengerjakan karya terjemahan secara asal-asalan.

Saat katalog ini disusun pada akhir November 2005, buku kami memang baru 4 judul yang terbit. Tapi untuk tahun 2006 mendatang setidaknya sudah ada 15 judul yang kami jadwalkan terbit, dengan tema-tema yang berkisar seputar ekonomi-politik, isu-isu globalisasi, serta beberapa karya sastra dunia.

Apakah cita-cita kami yang tertuang di atas memang sudah terwujud dalam karya, sidang pembacalah yang berhak menilainya. Dan oleh karena itu kami menunggu dengan penuh harap segala kritik dan masukan anda.

Redaksi Marjin Kiri

24 January 2006

Fenomena Antri Harry Potter

Awicaksono

Berkelana dari satu toko buku satu ke toko buku lainnya di Jakarta terasa berbeda dibandingkan saat melakukan ritual yang sama di negara lain. Fenomena itu begitu terasa ketika saya mencoba merasakannya untuk satu peristiwa yang lebih kurang sama: Launching buku Harry Potter terakhir.

Anak-anak baru gede (ABG) Jakarta antri untuk membeli buku J.K. Rowling, tentu saja yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, bisajadi membuat saya terharu. Tetapi, otak nakal saya senantiasa iseng mempertanyakannya. Apa iya? Apa segitunya ABG-ABG itu anthusias membaca Harry Potter. Apa itu tidak beda ketika kelompok cohort yang sama antri panjang untuk membeli kaset-kaset grup musik pop terbaru, misal Peterpan?

Saya tak menemukan pemandangan serupa di toko-toko buku yang "lebih serius." Bahkan saya tak pernah melihat fenomena yang sama di perpustakaan-perpustakaan umum di Jakarta. Tanpa berkehendak menghakimi atau menilai, saya akan tetap merasa terharu. Paling tidak buku sudah masuk ke dalam daftar belanja generasi instan Jakarta.

Jakarta, 26 Januari 2006

Menyingkap Tabir Mafia Peradilan

Informasi buku

Judul buku: Menyingkap Tabir Mafia Peradilan
Penulis: Wasingatu Zakiyah, Danang W, Iva Kasuma, Ragil YE
Penerbit: Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta 2002
Halaman: 248 + xx halaman

Frustasi kita terhadap fenomena korupsi di Indonesia lengkaplah sudah. Seandainya ada wahana untuk menumpahkan kekesalan itu barangkali meledaklah sudah wadah itu. Rangking negeri ini di bidang korupsi selalu tetap saja sepuluh besar terkorup papan atas, kalau tidak boleh dibilang terus naik. Cara apalagi yang masih manjur dipakai untuk memerangi praktek korupsi? Hampir enam tahun gerakan antikorupsi di Indonesia telah berjalan. Hampir empat tahun undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi dibuat. Bahkan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana korupsi sudah terbentuk. Tetapi semua seakan tidak ada artinya sama sekali. Bahkan caturwangsa penegak hukum pun seakan tak berdaya sama sekali.

Lebih dari itu, korupsi telah menggerogoti institusi penegak hukum itu. Tidak percaya? Inilah buktinya. Buku hasil penelitian di Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar, Yogyakarta, dan Samarinda ini memang mencoba membeberkan bagaimana praktek korupsi telah menjadi kerak di lembaga peradilan kita. Selama ini kita menyadari parahnya kondisi itu. Namun kita tak bisa bahkan tak berani mengungkapnya. Bahkan saking susahnya, kita menganggapnya sebagai hal yang biasa. Sangat biasa. Jadilah hantu mafia peradilan. Nah, penerbitan buku Menyingkap Tabir Mafia Peradilan ini bisa jadi pencapaian yang berarti dalam rangka membongkar praktik korupsi di institusi peradilan ini.

Lebih parahnya, bahwa lembaga peradilan adalah institusi yang memproses tindak pidana korupsi itu sendiri. Tapi jangan kaget, Partnership Goverment Reform in Indonesia pada tahun 2001 telah melakukan survey tentang korupsi di beberapa sektor di Indonesia. Hasil survey yang kemudian menjadi pijakan awal buku ini menyimpulkan bahwa 63,99 % lembaga terlapor ke Komisi ombudsman Nasional adalah lembaga peradilan(hal. 13). Inilah ironisnya. Di dalam tiga bab buku ini dibeberkan secara jelas bagaimana jual beli kasus, penyuapan hakim, di peradilan pidana, perdata dan niaga terjadi sedemikian sistemik di Indonesia. Celah-celah terjadinya suap itu tertata rapi di setiap tahap beracara di peradilan. Dan secara vertikal bisa dilakukan di manapun. Di Jakarta, Yogyakarta, Medan atau di Merauke.

(Note: Thanks Pak John for this referral)

Angels of Aceh: Agony of Aceh

Resensi buku oleh Christopher Bantick
Dimuat pertama kali di Herald-Sun (Australia) - Sabtu, 21 Januari 2006

Judul buku: Angels of Aceh
Penulis: Sophie York
Penerbit: Allen & Unwin
ISBN: 1741147468.

THE call for help was immediate when the tsunami struck Banda Aceh one year ago. Australia's initial medical response, named the CombinedAustralian Surgical Team-Aceh, was among the first on the scene.

A new book, Angels of Aceh by Sophie York, presents an account of the role CASTA played in meeting the medical needs of the Acehenese. It should be mandatory reading.

The reason is simple. The CASTA team showed palpable and yet understated daily heroism. It was something York says did not come without costs.

York is the wife of Paul Dunkin, an anaesthetist who answered the call when the news broke. A barrister and mother of four young boys, she interviewed the 28 members of the CASTA team.

"What the team relayed to me when they left Aceh was that they had left the people behind," she says.

"In an acute disaster, such as the tsunami, it is not out of character for the participants to feel they are indispensable. This was a mind-numbing tragedy that was hard for people experienced in disaster relief to comprehend."

Written from the perspective of someone at home in Sydney while her husband was in the field, York's account is not only highly informative about the work of CASTA but offers a personal dimension on those who went to help. This is often little understood because the focus of the tsunami aid effort was, quite properly, on the victims.

Still, York says that as much as her husband and the CASTA team were experienced and hardened to disasters -- some had helped at Threadbo in the landslide, in Bali after the bombings, during the Canberra bushfires and other emergencies -- there was an impact, even though they were psychologically well-suited.

"When Paul got home he was not himself. He was struck with how in Australia people whinged about insignificant things. He, as did the team, saw horrific wounds. Some people had lost limbs, and in some areas their whole street and everyone in it had gone.

"In the face of disaster and indescribable hardship, the Acehnese were accepting. I think being in Aceh has affected him deeply. He is kinder, he is more appreciative of all in his life.

"We were, as a family, all changed by the tsunami. We all see our priorities differently."

The enduring pain of Aceh one year on is evident in the slow progress of the rehousing of the people. Statistics reflect that only about 8 per cent of foreign aid actually gets to its intended site. People are still living in abject poverty.

According to Associate Professor Damien Kingsbury, director of international and community development at Deakin University, from the $5 billion in pledged official aid, "most is still waiting to be approved for spending. Many roads are still missing and bridges are temporary".

York says rebuilding Aceh is a long-term prospect.

"The process will take five to six years," she says. "It is a little like what happened during Cyclone Tracy. Prefabricated houses are provided before the rebuilding can begin.

"But it is not only houses. The community structures are gone as well. This means local government, education, even counselling. The CASTA team saw for the first time diseases such as tetanus, and people dying from it."

23 January 2006

The Making of a Terrorist: Recruitment, Training, and Root

Oleh Peter W. Singer, Senior Fellow, Foreign Policy Studies

"The New Children of Terror" adalah salah satu bab dari buku "The Making of a Terrorist", editor: James Forest, penerbit: Praeger; tahun terbitan: 2005

Untuk membaca seutuhnya, sila klik di sini. Dapatkan Adobe Acrobat Reader di sini.

Terrorism, it is said, is the "weapon of the weak." But while our conception of warfare is often an assumption of men in uniform fighting for the political cause of their nation–states, it is a misnomer. The reality of contemporary conflict is that increasingly it has pulled in the "weak" of society, most specifically children, both as targets and participants. Although there is global consensus (based on moral grounds) against sending children into battle, this terrible practice is now a regular facet of contemporary wars. There are some 300,000 children (both boys and girls) under the age of 18 presently serving as combatants, fighting in almost 75 percent of the world's conflicts; 80 percent of these conflicts where children are present include fighters under the age of fifteen.

Thus, while it may be disturbing, it should be no surprise that children are also present in the dark terrorist domain of modern global conflict. As on the world's battlefields, children are increasingly present in terrorist groups. Many of these groups have long had "youth wings" to provide broader support in the populace, but now youths are increasingly being used in actual operations to strike at targets behind the battle lines. This occurs for the same fundamental reasons that children are now on the battlefields: Children offer terrorist group leaders cheap and easy recruits, who provide new options to strike at their foes.

With the global war on terrorism, children's role in this aspect of war should take on added importance to Americans. Captured al Qaeda training videos reveal young boys receiving instruction in the manufacturing of bombs and the setting of explosive booby traps. The very first U.S. serviceman to die in Afghanistan was shot by a fourteen-year-old sniper. At least six young boys between the ages of thirteen and sixteen have been captured by U.S. forces in Afghanistan and taken to the detainee facility at Guantanamo Bay, Cuba. They were housed in a special wing entitled "Camp Iguana." In addition, several more combatants in the sixteen–eighteen- year range are thought to be held in the regular facility for adult detainees at "Camp X-ray." U.S. soldiers continue to report facing child soldiers in Afghanistan, with the youngest on public record being a twelve year- old boy. He was captured in 2004 after being wounded during a Taliban ambush of a convoy.

Development of Indonesia's civil service 1974-1994

Info Artikel Menarik

Judul artikel: Development of Indonesia's civil service 1974-1994
Penulis: Martha G. Logsdon
Dimuat pertama kali di: Journal of Political and Military Sociology, Vol. 26 (Summer): 1998
Halaman: 3-22

Indonesia's civil service grew rapidly between 1974 and 1994 although, relative to the labor force, it was still much smaller than the public employee corps of Western industrialized nations. The patterns of change in the civil service are compared to the developments in public employment in the Western nations described by Richard Rose in 1985. Similarities in the post-war development of Western "welfare states" and Indonesia's more recent experience are documented, especially the growth in size of the education and health ministries. The observed Indonesian patterns were in accord with stated policy goals, and the educational level of the civil service has increased dramatically. Unlike post-war Western nations, however, regional variation in civil service density has not decreased. While the timing of economic and bureaucratic growth in Indonesia and the West was quite different, enough similarities exist to make the comparison worthwhile.

For complete text please click here.

(Note: Thanks Pak John for this referral)

Qualifications of Indonesia's civil servants: How appropriate

Info Artikel Menarik

Judul buku: Qualifications of Indonesia's civil servants: How appropriate to the dynamic environment?
Penulis: Dwight Y. King
Dimuat pertama kali di: Journal of Political and Military Sociology - Summer 1998

Responding to the lack of scholarly attention to the internal structure and processes of the Indonesian Civil Service, this article examines characteristics of the regional government bureaucracy that are likely to hinder or to facilitate continued economic development. The empirical data were drawn from a 1988 survey which was unprecedented for its large sample size and nationwide coverage, supplemented by interviews conducted in 1995. Qualifications of regional-level civil servants were operationalized in three ways. The first finding was a strong, positive relationship between an individual's grade and his level of formal education. But field of educational specialization was often unrelated to the function of one's employing agency. Thirdly, and most surprising,was the relatively high frequency of misalignment between an individual's civil service grade and the rank of his position. This finding, especially, poses some intriguing questions for further study.

For complete text please click here.

(Note: Thanks Pak John for the referral)

19 January 2006

Guns, Germs, and Steel

Awicaksono

Judul buku: Guns, Germs, and Steel: The Fates of Human Societies
Penulis: Jared Diamond
Penerbit: WW Norton and Co Inc
Tahun terbitan: 1999
ISBN: 03933-1755-2


Ini adalah tulisan kedua tentang buku Jared Diamond, Guns, Germs and Steel. Saya terusik membacanya kembali setelah menyelesaikan Collapse. Ternyata, begitu banyak hal-hal yang harus dibaca-ulang di Gus, Germs and Steel setelah kita menyelesaikan Collapse.

Ada beberapa pertanyaan yang tidak jelas, misalnya tentang mikroorganisme: Bagaimana beberapa bangsa manusia membangun kekebalan terhadap penyakit, sementara yang lainnya, seperti masyarakat adat, tidak, sehingga mereka begitu tak berdaya menghaadpi infeksi penyakit seperti cacar dan penyakit lain yang disebabkan oleh infeksi bakteria? Apakah penyakit-penyakit tersebut adalah hasil sampingan proses "peradaban"?

Lebih menantang lagi ketika disodorkan pertanyaan, mengapa bangsa-bangsa di Eropa Barat tiba lebih dulu di era industrialisasi? Mengapa Raja Charles I dari Spanyol menaklukan Inca, bukan sebaliknya? Akan ada lebih banyak pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu tentang dunia ini. Guns, Germs, and Steel menjelajahi kehidupan masa lalu jauh hingga 13.000 tahun sejarah bumi dan muncul dengan teori-teori yang mencengangkan.

Jared Diamond, yang memenangkan Penghargaan Pulitzer untuk buku ini, mengamati secara cermat pertanyaan-pertanyaan anthropologik yang sering dianggap tidak penting oleh sebagian besar orang. Seperti, mengapa bangsa manusia di satu wilayah gagal dalam membudidayakan tanaman? Atau, mengapa roda tidak ditemukan di dunia baru? Mengapa sebagian besar mamalia besar liar tidak pernah dijinakkan dan dibudidayakan? Jika zebra berhasil dijinakkan dan diternakkan, apakah seharusnya Afrika dapat menjadi bangsa adidaya di muka bumi ini?

Jared Diamond, adalah seorang profesor fisiologi di Sekolah Tinggi Kedokteran Universitas California Los Angeles (UCLA), mengkaji secara cermat begitu banyak informasi, mengamati pola-pola kecenderungan, hingga akhirnya berani menyajikan sebuah tinjauan umum dengan fokus yang tajam. Ia mampu mengajak kita menjelajah bersama kehidupan di masa lalu secara brilian, membuat sejarah menjadi begitu populer dan menarik. Jared Diamond juga berhasil meletakkan perkara ras secara enak, tanpa terjebak dalam kajian-kajian dangkal superioritas, karena mampu mengaitkannya dengan konteks waktu dan tempat yang sesuai.

Tak ada kata yang tepat selain, Guns, Germs, and Steel adalah buku yang penting dan sangat disarankan. Di dunia yang senantiasa penuh dengan fenomena 'menang-kalah', 'kaya-miskin', sangat penting untuk terus-menerus mengkaji secara cermat distribusi yang tak seimbang dari kekayaan bumi. Sebuah ketidakadilan yang menjadi pangkal dari seluruh kisah tentang kekerasan dan konflik. Tidak akan pernah ada jalan keluar yang mudah, tetapi diskusi tentang bagaimana semua ketidakadilan ini timbul setidaknya merupakan langkah awal yang sangat bijak.

Escape From Freedom

Awicaksono

Judul buku: Escape from Freedom
Penulis: Erich Fromm
Penerbit: Henry Holt and Co
Tahun terbitan: 1994
ISBN: 08050-3149-9


Erich Fromm memulai pendidikannya pada tahun 1918 di Universitas Frankfurt am Main di bidang yurisprudensi selama dua semester. Sepanjang semester kedua di tahun 1919, Fromm mulai belajar di Universitas Heidelberg, dimana ia mengganti bidang dari yurisprudensi dengan sosiologi. Ia dibimbing oleh para ahli sosiologi terkemuka, seperti Alfred Weber (saudara kandung Max Weber), Karl Jaspers, dan Heinrich Rickert. Fromm memperoleh gelar Ph.D. di bidang sosiologi dari Universitas Heidelberg pada tahun 1922, dan menyelesaikan pendidikannya di bidang psiko-analisis pada tahun 1930 di the Psychoanalytical Institute di Berlin. Dan pada tahun yang sama ia mulai membuka praktek klinik psikologi dan bergabung dengan Lembaga Kajian Sosial Frankfurt. Setelah Nazi mengambil alih kekuasaan di Jerman, Fromm pindah ke Jenewa, Swiss. Kemudian pada tahun 1934 pindah lagi untuk mengajar di Universitas Columbia di kota New York. Setelah meninggalkan Columbia, ia membantu pembenukan Sekolah Tinggi Psikiatri Washingon kantor cabang New York pada tahun 1943. Kemudian ia pun terlibat dalam pembentukan Lembaga Psikiatri, Pskiko-Analisis dan Psikologi William Alanson White pada tahun 1945.

Fromm memulai Escape From Freedom di Eropa pada Abad Pertengahan. Tidak ada kebebasan, tidak ada individualisme, tetapi tetap merupakan kehidupan yang nyaman pada atmosfer yang statik. Semua kenyamanan tersebut mulai berantakan ketika kapitalisme moderen pertama kali muncul di abad 14. Tiba-tiba manusia memiliki kesempatan baru untuk menikmati hidup tanpa kekangan. Namun pada saat yang sama mereka mulai memiliki rasa tidak aman, gelisah serta rasa tak berdaya, khawatir, yang kesemuanya mengarah kepada ketegangan-ketegangan dan permusuhan sosial. Inilah sisi lain dari kebebasan, ketiadaan rasa aman, perasaan tentang hidup-mati yang batas-batasnya semakin tidak jelas. Manusia pun memulai pencariannya terhadap ilusi tentang kepastian, dan disinilah terletak godaan untuk mempertukarkan kebebasan kita dengan perangkat-perangkat pengatur ketertiban, keharmonisan, dengan artikulasi instrukti tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam berpenghidupan.

Sado-masokhisme adalah mekanisme kejiwaan yang dijelaskan Fromm sebagai orang-orang yang tidak tahan untuk hidup di atas kakinya sendiri, dan membutuhkan orang lain untuk memberinya perintah, atau untuk diberi perintah. Simbiosa adalah kata untuk mewakilkan fenomena saling ketergantungan. Berbeda dengan pandangannya tentang simbiosa pada bukunya, The Art of Loving, dimana gambaran simbiosa dibatasi pada pola hubungan pasangan manusia, di buku ini Fromm memusatkan perhatiannya kepada simbiosa dalam kehidupan sosial.

Bagaimana kehidupan di Amerika Serikat, negeri yang terkenal sebagai negara kebebasan? Pada bagian akhir Fromm mengajukan pendapat yang sangat keras tentang negeri angkatnya, dengan menunjukkan bagaimana ke kepatuhan dan penerimaan norma-norma budaya yang sering diberlakukan tanpa kajian-kajian mendalam menjadi bentuk paling mutakhir bagi pelarian dari kebebasan. Hidup dikendalikan oleh iklan dan gagasan-gagasan cangkokan tentang apa yang disebut dengan keberhasilan dan kegagalan. Kenyataannya, kebebasan bukanlah hal mudah. Ia membutuhkan kesungguhan pribadi, sebuah tantangan untuk mencari pengetahuan agar dapat dicapai suatu keadaan dimana kita dapat memiliki pola hubungan kehidupan yang lebih kreatif dengan dunia.

Konsep Erich Fromm tentang kebebasan terlihat memiliki kesamaan-kesamaan dengan Zen dalam Budhisme. Hal itu terlihat jelas pada bukunya setelah Escape from Freedom, Zen Buddhism and Psychoanalysis. Ia mendorong kita untuk hidup secara sederhana, untuk mencintai, untuk bekerja dan berhubungan dengan segala bentuk kehidupan tanpa pretensi.

Escape From Freedom sangat baik sebagai bacaan dasar bagi siapa pun yang ingin memahami kehidupan manusia di bumi. Buku ini dituturkan secara lancar, dengan gagasan yang disampaikan secara jernih yang mampu mengubah pandangan Anda tentang kehidupan.

17 January 2006

Cacar Air dan Collapse

Awicaksono

Setelah melalui perjalanan panjang berikut seluruh hiruk-pikuk pergantian suasana, pergantian lingkar sosial, pergantian topik, pergantian buku sketsa, bahkan pergantian setelan pola pikir di otak, saya (dipaksa) berhenti untuk sesaat. Istirahat. Terbaring lunglai, menggigil saat malam hari, menikmati delirium. Malaria yang sempat absen dua tahun terakhir muncul di depan pintu. Setelah dikira flu burung, ia menegaskan dirinya. "Apakabar? Masih ingat saya? Malaria?" Kami pun berangkulan. Saling melepas kangen. Melewati perjalanan panjang, akhirnya saya pun terbaring di ranjang di rumah.

Namun rupanya ia membawa kawan baru. Yang belum pernah saya kenal sebelumnya. Cacar air. "Perkenalkan, kawan saya. Namanya cacar air. Nama kerennya varicellosis." Saya tak menampiknya. Kami berjabat tangan. Dan dalam dua malam, sekujur tubuh, wajah dan bahkan kepala penuh ruam. Tak menyisakan nafas sedikit pun, kawan baru itu kembali membuat saya terjerembab. Meski gejolaknya tak mampu menyaingi kehebatan sang kawan lama, tapi ia sungguh menyiksa karena sentuhannya yang tak tertahankan. Gatal-gatal di sekujur permukaan kulit tubuh.

Tak ada yang dapat saya lakukan untuk mengatasi rasa gatal dan mengusahakan agar jari-jari tangan tidak menggaruk ruam-ruam di sekujur tubuh, selain berusaha untuk tetap berpikir tentang hal lain yang jauh lebih gagah dan lebih keren daripada meributkan soal gatal-gatal. Karena bekerja jelas tak bisa. Maka buku-buku yang selama ini belum terbaca tuntas pun mulai saya rapikan antriannya. Saya ingin tuntaskan satu per satu. Mengatasi gatal, menurut saya, tak dapat tidak harus dengan mengalihkan rasa tersiksa dengan rasa lainnya. Dan itu hanya saya dapatkan pada tiga medium: Buku, musik dan film. Hm, seperti tagline sebuah majalah hiburan.

Saya tuntaskan dulu utang saya pada sang profesor geografi, Jared Diamond. "Collapse" saya baca sepotong sepotong sejak September tahun lalu. Dalam perjalanan ke Canada, ia sempat saya lumat lima bab. Tetapi setelah itu, tertunda oleh hal lain. Bahkan ia harus mengalah kepada buku baru, "Rogue States"-nya Noam Chomsky. Cacar air pun jadi berkah buat Jared Diamond....

Jakarta, mid-Januari 2006

13 January 2006

Representasi Subyek-Subyek Persengketaan Lahan dalam Pemberitaan

Dadi Sudrajat
Abstrak Skripsi S1 Universitas Islam Bandung
Untuk fulltext


Atas dasar epistemologi, perspektif teoretikal, metodologi, serta metode yang mendiami ranah paradigma teori-teori kritis, penelitian yang berjudul “Representasi Subjek-Subjek Persengketaan Lahan dalam Pemberitaan” ini merupakan sebuah studi interpretatif dari tipe analisis wacana yang terutama mengusut bagaimana kekuasaan dipersuasi; bagaimana dominasi serta ketidakadilan yang ada di dalam suatu struktur sosial dijalankan dan direproduksi melalui teks.

Dengan asumsi epistemologis bahwa pemahaman kepada suatu realitas selalu dijembatani oleh nilai-nilai tertentu [value mediated findings], menjadikan tipe analisis wacana yang dipakai di dalam penelitian, yaitu Critical Discourse Analysis, berdiri di atas pendekatan subjektivisme, yang di antaranya mengasumsikan bahwa realitas dan atau pengetahuan sosial tidak memiliki sifat yang objektif, melainkan interpretif. Nilai-nilai itu pula yang lalu menjadi moral concern analisis wacana kritis, sekaligus menjadi dasar aksiologis yang bergerak lewat prinsip-prinsip emansipatoris, kritik, transformasi, ataupun penguatan sosial.

Di dalam kerangka analisis wacana yang dibangun Theo van Leeuwen, skripsi ini mengangkat permasalahan tentang representasi subjek-subjek yang ada dalam lingkaran wacana persengketaan lahan-lahan perkebunan pada pemberitaan di harian umum Pikiran Rakyat, di mana terpusat pada pertanyaan tentang bagaimana masing-masing subjek, petani dan pihak perusahaan pengelola perkebunan, dihadirkan dan digambarkan dalam pemberitaan. Meski demikian, masalah representasi ini bukan hanya penting dari bagaimana subjek-subjek tersebut dihadirkan secara tekstual, tapi juga bagaimana suatu realitas yang dipandang, dimaknai dari perspektif tertentu, lalu dibahasakan lewat kategori-kategori representasional –yang tentu saja inheren dengan perspektif– selalu membawa serta konsekuensi ideologis yang memungkinkan realitas dipahami dalam batasan rasionalitas tertentu.

Sementara konstruksi teks berita mereduksi realitas persengketaan lahan ke dalam konteks kriminalitas, hasil analisis memperlihatkan bahwa di dalam diskursus tentang konflik yang secara struktural-ekonomis bersifat vertikal seperti ini, subjek-subjek yang terlibat dihadirkan secara diametris; antara mereka yang diidentifikasi sebagai subjek yang paling memiliki hak, legalitas atau legitimasi, dengan mereka yang dipandang tidak. Dalam kata lain, subjek-subjek dihadirkan dengan menekankan atas perbedaan atau kontras di antara keduanya; satu subjek, petani, cenderung dihadirkan pada posisinya yang tidak absah, bahkan digambarkan secara buruk dan marjinal, sementara subjek lain, pihak perusahaan pengelola, dengan alasan-alasan yuridis dan legal formal, digambarkan sebagai pihak yang dipandang paling memiliki legitimasi atas lahan-lahan sengketa, bahkan merasa pantas mengundang aparatus represif masuk ke dalam wilayah konflik dan berdiri di belakang mereka.

Dengan cara-cara representasi tersebut, bisa dikatakan bahwa realitas yang dikonstruksi semacam ini bukanlah sekadar proses komunikasi yang merangkum tujuan-tujuan informatif belaka, melainkan sebuah mekanisme ideologis yang di situ kekuasaan mempersuasi kondisi-kondisi status quo, sementara di lain pihak, wacana ketertindasan, perjuangan, dan perlawanan sedemikian rupa dipenetrasikan sebagai sesuatu yang tidak legitimate, yang seakan tidak memiliki dasar pembenar sama sekali.

12 January 2006

Bayang-bayang Cina

Resensi oleh Robert Skidelsky
Pertama kali dimuat di New York Book Review Volume 52, Number 18 · November 17, 2005

Judul buku: Three Billion New Capitalists: The Great Shift of Wealth and Power to the East
Penulis: Clyde Prestowitz
Penerbit: Basic Books
Tebal: 321 hal
ISBN: 0465062814

Judul buku: China, Inc.: How the Rise of the Next Superpower Challenges America and the World
Penulis: Ted C. Fishman
Penerbit: Scribner
Tebal: 342 hal
ISBN: 0743257529


1.

The "rise" of China has suddenly become the all-absorbing topic for those professionally concerned with the future of the planet. Will the twenty-first century be the Chinese century, and, if so, in what sense? Will China's rise be peaceful or violent? And how will this affect the United States, the current "hyperpower"? In fact, China has been "rising" for some time (after several hundred years of "fall"), but for many years its claim to notice was obscured by more exciting events. Attention in the 1990s concentrated on the fall of Soviet communism, "globalization," the spread of democracy, and the high-tech revolution. These developments, which left America as the world's sole economic and political superpower, seemed to belie Paul Kennedy's prediction in 1987 of relative US decline and "more of a multipolar system."[1]

The attack on the World Trade Center in 2001, together with the concurrent collapse of the high-tech bubble, exposed America's fragility, but this was masked by the hyperactivity of the Bush administration. The "war on terror" planted American armies in Afghanistan and Iraq; the Clinton surpluses were succeeded by the Bush deficits to shore up the economy and finance the military operations. However, as the Iraq escapade foundered and the deficits ballooned, the sense of relative decline reasserted itself. Unlike in 1987, there was now a clear candidate for the succession: China. This was especially so as the US economy became dependent on China's bankrolling its huge trade deficit. The dream of an "American century" receded, to be replaced by the nightmare of a "Chinese century."

Focus on China is overdue. For the last quarter of a century its economy has been growing by over 9 percent a year, increasing eightfold. However, it is not just this long-sustained hyper-growth rate that amazes and alarms the observer. It is the size of the economy which is growing. China's population is officially estimated at 1.3 billion, but is probably larger­one fifth of all the people in the world. This makes its rise much more important than that, say, of Japan in the 1960s. From the economic point of view its cheap labor is much more abundant, so its cost advantage will not quickly be eliminated. The size of an economy obviously matters, too, in measuring power. The Chinese economy, in terms of the purchasing power of the Chinese people, is about two thirds the size of the US economy.[2] If it continues to grow at 9 percent a year, it will overtake the US by 2014. Lee Kwan Yu of Singapore believes that the rise of China will shift the balance of power back to the East for the first time since Portuguese caravels arrived there in the sixteenth century.

China's growth, simply because of its size, is bound to create problems both for itself and others. From the Chinese leadership's point of view, the main problem is how to maintain social cohesion amid the vast socio-economic upheavals going on. Apart from the environmental degradation and rampant corruption, China's pell-mell, and largely uncontrolled, economic growth is disturbing its domestic stability in a profound way: there is a huge floating population without settled jobs or abodes, and a development and income gap between the coastal and inland areas which is as big as between the United States and North Africa. According to one estimate, 30 percent of China's urban workforce, or 200 million people, is currently unemployed or underemployed. The livelihood of another 100 million agricultural workers is threatened as World Trade Organization rules increase China's dependence on foreign food supplies. The specter of chaos frightens the rulers in Beijing.

In international relations, the issue is whether China's impact on the world will be peaceful or violent. The debate here follows disciplinary lines. "Those who focus on economics tend to see partnership, cooperation and reasons for optimism despite ten-sions, while security experts are more pessimistic and anticipate strategic conflict as the likely future for two political systems that are so different," writes one commentator.[3] Both views can claim some evidence in their favor. On the one hand, the concessions China made to foreign investors and corporations in order to gain entry to the WTO show a readiness to play by the established rules of the game. It has embarked on a "charm offensive" premised on its "peaceful rise." On the other hand, its voracious appetite for oil and raw materials opens up a familiar geopolitical struggle for control of their supply. Its bid for Unocal, the ninth-largest oil company in the United States, had to be withdrawn in the face of congressional opposition. As the only country likely to counterbalance the economic and political weight of the United States, China is being wooed by those who want insurance against American domination; in turn it plays host to such unsavory characters as Robert Mugabe, president of Zimbabwe, and Islam Karimov, the brutal president of Uzbekistan. The slogan of the "peaceful rise" is challenged by Chinese nationalists in the Foreign Office and military establishment and their affiliated scholars, who argue that it encourages Taiwan to bid for independence.

However, the theory that economic relations are the peaceful form of international relations, and geopolitics is the warlike form, is much too simple. The growth of China's exporting power­in ten years its exports to the US have risen from $35 billion to $200 billion a year­has already produced a "bra war" with Europe and tensions over currency with the US. (The recent 2.1 percent revaluation of the renminbi has not quelled American accusations that China is deliberately undervaluing its currency to gain export advantage.) Moreover, economics and politics cannot be so easily separated. China is both an engine of globalization and a rising military power, a "Wal-Mart with an army." The US worries that the expansion of China's economic presence will be accompanied by the expansion of its military presence. Changes in the international distribution of global wealth, even if peacefully achieved, are bound to have implications for the distribution of global power. If China rises economically, America falls politically. The historically minded recall the years of Anglo-German trade rivalry which preceded World War I.

Concern about China's impact on the world is heavily influenced by the nature of its regime. India, which has recently been growing as fast as China, and which will soon have even more people, hardly fills the West with the same foreboding, because it is a democracy, and, as we are continually told, democracies "never go to war with each other."

The success of the Chinese Communist Party in retaining political control over China has dimmed the sense of Western triumphalism induced by the collapse of the Soviet empire. Twentieth-century communism, unlike nineteenth-century Marxism, promised economic development at the price of political freedom­ "electrification plus the Soviets" in Lenin's telling phrase. Wherever it triumphed, a single-party state was established, and the economy was collectivized and centrally planned. When the Communist economy failed, the Communist system was dismantled­ completely in Russia and Eastern Europe. In China, the Communist Party's paramount leader Deng Xiaoping adopted a different strategy. He realized that in order to save the Communist dictatorship, he had to create an economic system that worked. From 1978 onward, he started decollectivizing the economy. In Russia, Mikhail Gorbachev destroyed Communist Party rule in a failed effort to create a "humane" communism; in China Deng saved Communist rule by embracing capitalism.

So far his formula has worked brilliantly. Not only have tens of millions enriched themselves, as Deng told them to do, but absolute poverty, defined as living on $1 a day or less, has fallen from 64 percent to 17 percent of the population. In politics, information is controlled, dissent is ruthlessly suppressed, and continuity with the takeover of 1949 is asserted. The motto is: "We will give you freedom to make money, but politics is off limits." Mao Zedong, exposed by Jung Chang and Jon Halliday in Mao: The Unknown Story as brutally and cynically responsible for the death of millions, remains China's leading icon. His giant portrait dominates Tiananmen Square; his face still appears on yuan notes. He has even been rebranded to serve business needs as a kind of Chinese Colonel Sanders, advertising food products outside the restaurants in Hunan, his home province. There has been no official repudiation of Mao's legacy, even one like the limited denunciation of Stalinism which Khrushchev undertook in 1956.

A Westerner will doubt that this duet of Party dictatorship and economic freedom can continue. Although Party monopoly over the public sphere is maintained, control over the budget has been largely decentralized to provincial and municipal levels. Optimists say that democracy will come incrementally, starting with provincial elections, as the middle class grows. Fiscal devolution could crack the monolith. Pessimists argue that the loss of control accompanying precipitous economic growth and the decline in state revenues could set off either a new bout of "warlordism" or force a paranoid regime into a new bout of political repression that will make Tiananmen Square seem like a vicar's tea party. Whatever choices may be allowed in provincial elections, no new party will be allowed to present its case. Had China's growth been slower, its political prospects might be more benign.

2.

For instant expertise on China all that is required is "a rush of statistics, an occasional nod to history, a Confucian aphorism or two and, hey presto, we can all grasp the vast meaning of the Middle Kingdom's re-emergence as a global power."[4] This is certainly the impression conveyed by Clyde Prestowitz, a former trade official in the Reagan administration. Though the title of his book, Three Billion New Capitalists: The Great Shift of Wealth and Power to the East, suggests a focus on Asia, it is really a "wake-up call" to America. His thesis, chattily if not wittily expressed, is that the virtually endless supply of labor in China and India, combined with the negation of time and distance by the Internet and global air delivery, portend the ruin of American manufacturing and a long-term decline in American living standards. Already America is living beyond its means.

In essence, Prestowitz tells the familiar tale of Western capital investing abroad to relieve squeezed margins at home. Outsourcing, contracting, and eventually offshoring were ways to reduce American corporate costs and increase sales in face of Japanese competition and the pressure of consumerism. Outsourcing begat offshore manufacturing. In the 1980s Motorola, Intel, and Texas Instruments began to transfer the labor-intensive side of their manufacturing to Malaysia, Singapore, and Taiwan. Sears Roebuck contracted with textile factories in Japan to get the best deals for their customers. East Asia became a buying center for US retailers and an assembly line for US manufacturers.

China, Prestowitz writes, was interesting for two reasons: "endless cheap labor to produce low-cost products for export, [and]...the potential to become the world's largest market." Retailers and manufacturers switched to China because its prices were cheaper. Building and equipping factories cost less, and low-cost labor can be substituted for machinery. Today China produces two thirds of the world's photocopiers, shoes, toys, and microwave ovens, half of its DVD players, digital cameras, cement, and textiles, 40 percent of its socks, one third of its DVD-ROM drives and desktop computers, a fourth of its mobile telephones, TV sets, steel, car stereos, and so on. It exports 30 percent of the world's electronic goods. In Prestowitz's fevered imagination the United States is the Dr. Frankenstein who raised the monster destined to devour it.

India started too late to challenge China in manufacturing, but software, IT services, and medicine were virgin territory. India's key asset was a huge pool of inexpensive but highly trained, talented, English-speaking workers, many of them educated to a high level abroad. In 1984, Rajiv Gandhi decided that India should develop a software export industry; coincidentally, Texas Instruments began satellite data link services from Bangalore, preparing the way for on-line access to global clients. With the development of the Internet, and later broadband, in the 1990s, the proportion of software work "offshored" to India increased dramatically. General Electric realized that the operations of its call centers and much office work could be transferred to India at a fraction of the cost elsewhere. Airlines could offset rising fuel costs by offshoring ticket bookings and repairs.

Prestowitz describes how in Wipo Spectramind, a twenty-four-hour call service outside Delhi, "accent neutralization" is taught to give callers the feeling that their calls are being answered in Kansas City. The collapse of the high-tech bubble in 2001 provided further cost-cutting incentives. "Medical tourism" flourishes as Indian private hospitals provide hip replacements and heart and eye surgery at a fraction of Western cost. (The Apollo Hospital in Chennai­Madras of old­does heart surgery for $4,000 as against $30,000 in the US.)

The US government helped Asia's rise by embracing a laissez-faire ideology and floating the dollar. As a White House economic adviser quipped: "Potato chips, computer chips, what's the difference? They're all chips." Prestowitz claims that, entranced by market fundamentalism, American policymakers misunderstood the sources of American innovation. US technological leadership was built not on market forces, but on an unnatural collaboration between defense and government in a "military industrial complex," the product of two world wars. For example, IBM grew on the basis of government grants for the B-52 guidance system. The shift to laissez-faire in the 1980s, followed by the end of the cold war, dissolved this "ecosystem of interrelated companies, universities, government institutions, bankers, and, yes, lawyers." After 1973 Americans stopped worrying about international trade, because they could print as many dollars as they wanted to pay for imports. "We handed China the money they are using to try to buy Unocal," said Prestowitz in a recent interview. Prestowitz's point is that "nobody is taking an interest in the health of the long-term economic structure of the country because America's ideology says it is wrong to do so."

So what is to be done? Prestowitz says that the United States must abandon laissez-faire. It must renounce its crazy ambition to flood the world with dollars and instead develop a more limited dollar sphere consisting of the North American Free Trade area plus its trade with Japan. "For the United States, this deal would marry Japan's surpluses with US deficits and create a dollar zone in trade balance with the rest of the world. It would also serve to keep Japan in the US orbit and prevent it from slipping into China's." Domestically, the US must restore fiscal discipline by cutting defense spending and raising taxes on consumption. It needs an energy policy which makes it independent of Middle East oil ("Just applying the mileage regulations to SUVs would significantly reduce US oil dependence"). It needs to upgrade its physical infrastructure, promote manufacturing "ecosystems" like Silicon Valley, reform Social Security to encourage labor flexibility, and boost educational performance by restoring classroom discipline and fully funding students studying science and engineering. In short, it needs an active "competition" policy. Prestowitz rejects the free trade model of globalization as harmful to US interests. He is a modern mercantilist: trade freely with your friends, and strategically with everyone else. In a world of sovereign states, this is not a bad rule.

Ted Fishman, a journalist and former commodities trader, covers much of the same ground in China, Inc.: How the Rise of the Next Superpower Challenges America and the World. There is the same touristic flavor: a trip down the Huangpu River in Shanghai reveals the garish skyscrapers and low nightlife of the new moneyed metropolis, where "nerdy Western engineers can find girls so hot their friends at home would laugh." The main difference is that Fishman emphasizes the indigenous sources of China's rise. Without Deng's decision to "open up" China, American CEOs could not have solved their problems by relocating production to it.

Readers will learn about the working of the hukou, or passbook, sys-tem, by which Mao Zedong kept rural labor on the land and out of the cities; about the origins of Deng Xiaoping's "Household Responsibility System" of 1980, which revolutionized agricultural productivity by replacing collective farms with a system of family plots; about how the "township and village enterprises" (TVEs) grew up to fill the ideologically gray area between public and private enterprise; about the extensive migration from countryside to towns, where the private economy was born "with a wink and a nod from the central government"; and about Shenzhen, China's first Special Economic Zone, grown from a marshy fishing village to a city of ten million in twenty-five years. China, writes Fishman, "is an infinite jumble of hybrid businesses" that "conflate the sectors, often in impossibly complex, opaque ways." Almost all business "is conducted by words, handshakes, and occasionally by written but extralegal contracts."

Fishman tells of the orgy of city-building; of the forced demolitions and evictions to make way for new buildings and hydroelectric projects; of female workers exploited in textile and electronic factories who dream of returning to their villages; of the encroaching deserts; of pollution so intense that the "Asian Brown Cloud" wafts over to the Pacific coast of the US; of China's great road- and railway-building program; of the spread of HIV, the abortion of unwanted girls, and much else. But his central theme is the same as Prestowitz's: countless US businesses are being hammered by the low "China price," which includes counterfeiting and piracy. Jobs for many more millions of US workers will disappear. Nothing, he believes, will stop the Chinese juggernaut, for China is already building "the critical masses of companies that catalyze the creative ferment that leads to rapid innovation." Fishman foresees US– Chinese rivalry growing: "it is a slow power game, but it is afoot."

Prestowitz's and Fishman's books are about the impact of China on the economy of the West. But what about the West's impact on China? To what extent are Chinese society and politics being transformed by China's integration into the global economy, and what might this tell us about the future of the relationship between West and East?

Notes

[1] Paul Kennedy, The Rise and Fall of the Great Powers (Random House, 1987), p. 534.

[2] Output data in national currencies must be converted to a common currency to compare the size of economies. If the conversion is done at market exchange rates (MERs), the Chinese economy is only the eighth largest in the world, one tenth the size of the US economy, and not likely to overtake it until between 2040 and 2050. However, data converted according to exchange rates are not good measures of the relative size of economies because they take into account only internationally traded goods and services and are distorted by short-term currency fluctuations. That is why economists are increasingly using purchasing power parity (PPP) converters, which measure the relative purchasing power of different countries' currencies with regard to the same "basket" of goods in each one. This can be a much higher GDP for a developing country. On a PPP basis China's GDP in 2006 will be $8,877 billion; on an MER basis $2,172 billion.

[3] Steve Lohr, "Who's Afraid of China Inc.?" The New York Times, July 24, 2005.

[4] Philip Stephens, Financial Times, July 1, 2005.

11 January 2006

Pemikiran Pramoedya Ananta Toer Dalam Novel-Novel Muktahirnya: Memotret Pikiran Pramoedya Ananta Toer

Resensi oleh Lilik Prakoso*)
Pertama kali dimuat di Suara Independen, Maret 1997

Judul : Pemikiran Pramoedya Ananta Toer Dalam Novel-Novel Mutakhirnya
Penulis : Koh Young Hoon
Penerbit: Dewan Bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur
Tahun terbitan: 1996
Tebal : XXII + 219 halaman


Di Indonesia nama Pramoedya Ananta Toer selalu mengundang kontroversi. Berkali-kali ia "dibenamkan" dalam kehidupan penjara, tapi justru lahir sejumlah karya gemilang. Penjara jaman Orde Lama dan Orde Baru dienyamnya berkali-kali. Terakhir penderitaannya di tempat pembuangan biadab yang dibentuk bangsanya sendiri di Pulau Buru selama 10 tahun (1969-1979), dibalasnya dengan cara yang sangat beradab: menerbitkan sejumlah karya berkelas "sastra Nobel". Begitu lah barangkali cara Pram mengajarkan kebajikan kepada bangsa yang turut dibentuknya pada 1945.

Siapakah Pram sesungguhnya? Benar kah ia sejenis hantu, seperti halnya ajaran Komunisme, yang perlu dipelihara dan dilanggengkan oleh penguasa Orde Baru sebagai "musuh bangsa"? Benarkah Pram cuma orang yang ditakdirkan untuk selalu jadi "kurban" politik penguasa, baik Orde Lama mau pun Orde Baru? Siapa sebenarnya dia? Bagaimana pikiran- pikirannya? Bagaimana ia meracik tulisan-tulisannya yang kini telah diterjemahkan lebih dari 24 bahasa?

Pram adalah sebuah fenomena anomali dalam bingkai politik Orde baru. Ia ditekan, bahkan ia dibunuh berkali-kali, tak tampak satu pun kebencian pada bangsanya. Ketika ia harus makan bangkai tikus, cecak dan daging kuda yang terserang antrax, lamunannya justru melayang jauh ke jaman-jaman kegelapan sejarah bangsa Indonesia yang disembunyikan rapat-rapat oleh penguasa. Ia tak mengeluh, ia tak memaki. Kecintaannya pada manusia Indonesia yang tersingkir, terkucil, jadi obyek, tapi tetap berupaya terus eksis begitu tinggi. Ia mencintai kemanusiaan begitu dalam Kita bisa melihat hal ini dari sejumlah karyanya mulai dari Perburuan, Keluarga Gerilya, Di Tepi Kali Bekasi hingga "tetralogi" Bumi Manusia.

Ia pernah disebut-sebut sebagai bunga Angkatan 45. Tapi kini, tak ada satu pun buku resmi di Indonesia yang mencatat namanya sebagai salah satu tokoh penting sastrawan Angkatan 45. Kenapa? Dalam wacana sastra Orde Baru, Pram -seperti juga jutaan tapol lain di Indonesia- dianggap tak pernah ada. Ia tak pernah lahir, bernafas apalagi berkarya di Indonesia. Bukan cuma itu, rumahnya pun boleh didudyuki secara sewenang-wenang, buku-bukunya boleh diambil dan dibakar. Ia betul-betul tak pernah ada.

Tapi itulah kehebatan Pram. Semakin ditiadakan, ia semakin ada. Ia justru eksis dalam ketiadaannya. Orang berebut membaca tulisan- tulisannya. Buku-buku karyanya yang selalu dilarang laris seperti kacang goreng. Berkali-kali namanya disebut-sebut sebagai calon pemenang Nobel. Sejumlah lembaga sastra internasional juga mengangkatnya sebagai anggota kehormatan sebagai penghormatan atas dedikasinya pada dunia sastra.

Siapakah Pram dan bagaimana karya-karya yang dihasilkannya? Buku ini merupakan sebuah rekaman atas manusia kelahiran Blora 72 tahun lalu yang bernama Pramodya Ananta Toer. Perjalanan hidupnya, meski sangat singkat, terekam cukup baik. Secara detil penulis buku ini mencoba merekonstruksi bangunan berpikir Pram mulai dari jaman Pra Lekra, Lekra, Ide Realisme Sosialis hingga karakteristik penokohan yang inheren dalam diri Nyai Ontosoroh dan Minke.

Sejumlah telaah kepustakaan dan argumentasi dikemukakan penulis untuk memisah-misahkan dan menganalisis pikiran Pram lewat karya-karyanya. Kemudian kepingan dan serpihan yang ada disusun kembali dalam bayangan manusia Pram beserta sejumlah pengalaman sejarah yang membentuk wataknya. Kesimpulan sang penulis: Pram adalah seorang humanis tulen, sebagaimana sosok Multatuli yang dikagumi Pram habis-habisan Dan yang lebih mengejutkan lagi: Pram ternyata jauh berbeda dengan apa yang dituduhkan oleh rejim Orde Baru pada dirinya.

Buku ini sebetulnya adalah sebuah desertasi doktor dari sang penulisnya. Koh Young Hoon sendiri adalah orang Korea. Ia pernah belajar dan mengajar di Universitas Nasional. Desertasi yang dibuatnya selama 6 tahun sebetulnya direncanakan akan dipertahankan di salah satu univeritas di Jakarta, tapi tak ada satu pun akademikus Indonesia yang bersedia jadi promotor resminya. Akhirnya karya ini harus dipresentasikan Koh Young Hoon di Universitas Malaya, Malaysia pada 1993.

Si penulis juga melampirkan semua judul karya Pram. Baik buku yang telah diterbitkan mau pun yang belum, makala, artikel mau pun surat pribadi. Tak pelak lagi, penyusun buku ini dengan jeli berhasil mengamati setiap respon Pram dalam menanggapi perkembangan peradaban di sekitarnya yang selalu memunculkan "revolutionary hero" lewat pergulatan batin para tokoh fiksinya, yang samar antara ada dan tiada. Orang- orang yang kerap diidentifikasi kritikus sastra sebagai tokoh yang kaya dengan pengalaman kemanusiaan.

*) Mahasiswa S-2 yang sedang menyiapkan tesis tentang "Watak Kekuasaan Orde Soeharto Selama Orde Baru".

Feminisme dan Relevansinya: Buku Lama Yang Senantiasa Relevan

Awicaksono

Judul: Feminisme dan Relevansinya
Penulis: Kamla Bhasin, Nighat Said Khan

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tahun terbitan: 1995

Tebal: 66 halaman

ISBN : 979-605-140-0; 20495140


Feminisme, Istilah ini langsung memunculkan banyak reaksi ketika diucapkan. Mulai dari kecurigaan, tak peduli, sampai sinisme, di satu sisi; serta antusiasme-garang dari beberapa aktivitasnya, di sisi lain. Tetapi, semakin menyeruaknya persoalan perempuan akhir-akhir ini, di negeri kita pun tumbuh minat yang semakin besar terhadapnya. Setidaknya orang mulai bertanya: apa sebenarnya fenomena ini, apa yang diperjuangkannya, apa yang dilawan, dan sebagainya.

Buku ini menjawab pertanyaan- pertanyaan dasar yang biasa diajukan orang mengenai feminisme. Banyak prasangka yang diluruskan. Dan ternyata menyajikan sasaran lebih luas daripada sekadar gender. Ada persoalan-persoalan yang mendasar yang pemecahannya justru akan memajukan kepentingan semua pihak.

Oleh karena itu tak mengherankan kalau buku ini akhirnya mengajak: Jangan takut dulu pada feminisme. Simak dan bergabunglah.

Tokoh dan Buku

Pertama kali dimuat di Kompas, Sabtu, 17 Desember 2005

Cara Membaca Bung Hatta

Membaca bagi sebagian orang sudah menjadi bagian hidup. Meutia Hatta salah satunya. Kebiasaan itu diturunkan dari ayahnya, Mohammad Hatta, salah seorang proklamator Indonesia. Namun, tidak semua kebiasaan ayahnya mampu dia ikuti. Meutia bercerita tentang sang ayah yang sangat disiplin saat membaca. Membaca bagi sang ayah tidak boleh sambil tiduran, buku tidak boleh dilipat, tidak boleh dicorat-coret ataupun ditekuk seperti yang dilakukan banyak orang untuk menandai bagian buku.

Ayah selalu mengingatkan, membaca duduk di meja sehingga buku tetap terjaga rapi, ungkap ibu dari Tan Sri Zulfikar Yusuf ini. Bagi Meutia, tidak mudah menjalankan apa yang dipesankan ayah kepadanya. Untuk menyiasati hal itu, dia sering membaca di sofa hingga lebih santai. Pernah satu kali Bung Hatta melihat dia membaca sambil tiduran, langsung saja Meutia ditegur, Tidak boleh seperti itu, kenang Meutia menirukan ucapan ayahnya.

Namun, bukan berarti Meutia lalu menjadi disiplin saat membaca seperti ayahnya. Kebiasaan membaca sambil tiduran tetap saja dia lakukan. Agar tidak diketahui Bung Hatta, Meutia sering membaca di dalam kamar tanpa takut ditangkap basah karena ayahnya selalu mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam kamar. Anak bapak perempuan semua, jadi bapak enggak pernah sembarangan masuk kamar, ujar istri Sri Edi Swasono ini. Kebiasaannya membaca sambil tiduran membuat doktor antropologi Universitas Indonesia ini harus memakai kacamata minus.

Meutia juga mengakui, membaca dan menyimpan koleksi bacaan dengan baik dan rapi adalah kebiasaan yang diturunkan oleh sang ayah. Kini dia menyimpan koleksi buku dan majalah di rumahnya sendiri dan tidak digabung dengan koleksi buku peninggalan Bung Hatta. Itu lebih baik agar buku ayah saya tetap terjaga, ucap Meutia yang mengaku sejak menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan waktu membacanya sangat sedikit. Hingga kini Meutia menjaga dengan baik semua buku peninggalan Bung Hatta, sesuai pesan ayahnya bahwa buku harus dijaga dan disimpan baik-baik. Bagi Meutia, hal itu bukan sekadar menyimpan buku secara fisik saja, Nilai peninggalan orang yang sudah meninggal itu yang saya jaga, ujar pemilik nama lengkap Meutia Farida Hatta Swasono ini. Koleksi Bung Hatta telah mencapai 10.000 buku, yang paling tua terbitan tahun 1850. Kini buku-buku itu disimpan rapi dan menjadi perpustakaan keluarga di wilayah Menteng, Jakarta Selatan. (umi/Litbang Kompas)

Dawam Rahardjo: Saya Memang Maniak Buku

Salah satu kenangan menyakitkan yang masih tersisa dari peristiwa banjir yang merendam sebagian besar Kota Solo pada tahun 1966 bagi ekonom dan intelektual Muslim Dawam Rahardjo (63) adalah rusaknya sebagian besar koleksi buku yang telah ia kumpulkan sejak duduk di sekolah menengah. Ia memang pantas kecewa karena koleksi bukunya waktu kebanjiran itu jumlahnya sudah dalam hitungan ribuan.

Waktu peristiwa banjir bandang Solo itu saya sudah mahasiswa ekonomi di Universitas Gadjah Mada. Setelah peristiwa itu saya mulai lagi membeli buku. Kebetulan ayah saya bermurah hati mau memberi uang untuk membeli buku, tutur Dawam. Kesenangan Dawam membaca dan membeli buku dimulai sejak ia duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA). Saya itu sejak SMA sudah membaca buku-buku sastra Inggris. Biasanya saya beli buku-buku itu di toko buku Budi Laksana yang di Solo itu. Sekali beli bisa sampai puluhan buku, kata Dawam. Di toko buku itu pula Dawam banyak mengumpulkan buku-buku beraliran Marxis. Buku-buku Marxis itu bahasa nya jernih dan bagus, tutur Dawam.

Sewaktu SMA ia lebih banyak mengumpulkan buku sastra dan agama, kemudian setelah kuliah ia mulai membaca dan membeli buku-buku ekonomi, sosial, politik maupun buku-buku kebudayaan. Kegemaran membeli buku ini ia teruskan hingga kini.

Saya memang maniak buku. Ke mana pun saya pergi pasti saya sempatkan beli buku. Pokoknya semua jenis buku bahkan segala macam ensiklopedi yang saya anggap baik dan pilihan pasti saya beli, kata Dawam. Saat ini koleksi buku yang tersimpan di perpustakaan pribadi di rumahnya di kawasan Jakarta Timur sudah mencapai sekitar 15.000 judul buku. Salah satu keinginan yang ingin segera diwujudkan Dawam saat ini adalah membuat perpustakan pribadinya menjadi perpustakaan terbuka agar bisa dinikmati publik. Karena itu, dalam waktu dekat koleksi perpustakaannya akan didigitalisasi. Orangnya sudah ada kok, cuma dia sekarang masih sibuk, jadi perpustakaan digital yang saya idam-idamkan belum bisa terwujud saat ini, Dawam. (WEN/Litbang Kompas)

Geliat Penerbit di Saat Sulit

Pertama kali dimuat di Kompas, Sabtu, 17 Desember 2005

Tidak dapat dimungkiri bahwa situasi ekonomi yang tidak menentu dengan meningkatnya biaya hidup dan disusul harga BBM melambung berdampak pada sektor ekonomi masyarakat. Salah satunya adalah menurunnya daya beli masyarakat, maka jika mereka harus membelanjakan uangnya sudah barang tentu diprioritaskan pada kebutuhan hidup yang primer. Bagi masyarakat Indonesia buku belumlah menjadi kebutuhan primer hingga belanja buku tidaklah semudah membeli makan siang, misalnya.

Industri penerbitan kini dihadang persoalan naiknya ongkos percetakan dan menurunnya daya beli masyarakat. Dua hal yang membuat penerbit kini berpikir ulang jika ingin melempar satu produk buku ke masyarakat. Seperti diungkapkan oleh Nung Atasana, General Manajer Marketing GPU, bahwa memilih topik buku yang tepat untuk situasi sulit saat ini harus dipikirkan secara matang. Penerbit pun tidak lagi harus berteguh pada tujuan awal mereka karena kini strategi yang lebih fleksibel harus dipikirkan dan dilakukan sedini mungkin karena mau tidak mau kebutuhan dan daya beli masyarakat harus menjadi pertimbangan utama.

Salah satunya adalah Mizan, yang kini mengkaji ulang tema buku yang akan mereka terbitkan. Jika sebelumnya Mizan cenderung menerbitkan buku-buku pemikiran, filsafat, dengan tujuan dapat memberi kontribusi dan membangun kemampuan serta cara berpikir masyarakat, kini penerimaan pasar lebih diutamakan. Menurut Novel, Vice Presiden Controller Mizan Publika, situasi sulit saat ini mengharuskan penerbit jeli melihat peluang pasar yang ada. Berkurangnya daya beli masyarakat dan situasi ekonomi yang sulit membuat masyarakat tidak mudah membeli buku. Jika pun tertarik pada suatu buku biasanya adalah buku yang membimbingnya melewati masa sulit seperti saat ini. Kami melihat buku yang terlalu serius, seperti filsafat dan pemikiran, akan sulit terjual. Tetapi, kalau buku panduan menghadapi situasi krisis saat ini akan lebih menarik masyarakat, lanjut Novel.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika penerbit memilih menerbitkan buku yang digemari masyarakat saat ini. Kisah remaja yang dikemas dengan bahasa populer, misalnya, menjadi pilihan penerbit buku Islam, seperti Gema Insani Press. Seperti diakui oleh General Manajer Gema Insani Iwan Setiawan bahwa kisah remaja bernuansa Islam yang mereka terbitkan cukup digemari dan laris di masyarakat.

Selain mempertimbangkan tema buku, penerbit juga menyiasati dengan membuka distribusi di luar jalur konvensional seperti toko buku. Gema Insani Press melakukan pendekatan melalui pengajian, pesantren ataupun sekolah agama Islam. Menurut Iwan Setiawan, penerbit itu berpromosi lewat sekolah dan pengajian serta bazar buku di kota-kota besar dan bahkan kini mereka masuk ke kota-kota kecil. Bagi Iwan, angka penjualan bukanlah tujuan utama ketika melakukan kegiatan promosi, tetapi mencoba agar merasa dekat dengan buku-buku Gema Insani.

Apa yang dilakukan oleh Gema Insani juga dilakukan oleh banyak penerbit lainnya, seperti yang dilakukan oleh 13 penerbit kecil di Yogyakarta dengan membentuk Jog Mart, yaitu suatu asosiasi pemasaran yang sengaja menggarap pasar-pasar yang selama ini tidak tersentuh oleh toko buku. Oleh salah seorang penggagas ide ini, Apri Dian, Kepala Bagian Pemasaran Jalasutra, adalah tidak mungkin jika pemasaran buku selalu bergantung pada toko buku. Maka, asosiasi tersebut melakukan pameran atau bazar buku di lapis kota kedua, yaitu kabupaten, kecamatan, pondok pesantren atau bahkan pemerintah daerah.

Aspek promosi pun menjadi ajang pertaruhan para penerbit. Strategi mempromosikan buku, apalagi yang harganya cukup mahal, menjadi pertimbangan utama ketika melempar buku tersebut di pasaran. Buku Financial Revolution karya Tung Desem Waringin, misalnya, mendapat sambutan luar biasa ketika baru diluncurkan terjual 10.000 eksemplar. Ketika buku itu diluncurkan, pembeli diberi hadiah dua buah CD dan seminar gratis jika membeli buku tersebut. Penerbitnya, GPU, pun mendapatkan penghargaan MURI. Selain itu, mendatangkan penulis buku panduan, seperti Steven Coffey, dalam suatu acara diskusi dilakukan, sedemikian akbar hingga Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pun hadir.

Tidak hanya aspek pemasaran, menghadapi tingginya biaya produksi pun tidak selalu menjadi kendala dalam menerbitkan buku. Biaya produksi membesar memang harus diikuti oleh permodalan yang memadai. Uniknya, bagi Gagas Media, permodalan dapat diatasi dengan ditanggung bersama. Hal itu dilakukan dengan menjual saham penerbitan kepada karyawannya, sebesar 10 persen gaji karyawan selama setahun. Selama ini penerbit ini telah menerbitkan beberapa buku dengan dana patungan bersama para karyawannya. Ternyata, situasi tertekan membuat para penerbit menjadi lebih kreatif dalam mempertahankan usaha.(UMI/WEN/BIP)

10 January 2006

Blood Rites : Origins and History of the Passions of War

Awicaksono

Judul buku: Blood Rites : Origins and History of the Passions of War
Penulis: Barbara Ehrenreich
Penerbit: Owl Books (NY)
Tahun terbitan: 1998
Tebal: 256 halaman
ISBN: 0805057870


Dalam buku ini Barbara Ehrenreich mencoba menyorot misteri ketertarikan manusia terhadap kekerasan: Apa yang membuat spesies kita ini tertarik untuk berperang dan bahkan membuatnya menjadi hal yang keramat dan mahapenting? Buku Blood Rites membawa kita ke perjalanan yang belum pernah disajikan penulis lain, mulai dari pengorbanan manusia dalam perang-perang di zaman purba hingga ke pembantaian massal pada "perang total" di abad 21.

Bergerak dari catatan-catatan yang sangat lemah tentang masa pra-sejarah, Ehrenreich menemukan sumber keinginan berperang di satu tempat yang tidak diduga -bukan dalam dalam konteks potensi khas "naluri membunuh" pada spesies manusia berkelamin laki-laki, tetapi justru bersumber pada ritual-ritual berdarah pada masa peradaban awal manusia sebagai pelampiasan pengalaman-pengalaman yang mengerikan saat menghadapi ancaman spesies pemakan daging yang lebih besar dan lebih berkuasa. Sangat brilian dalam merumuskan konsepnya serta sangat kaya pada sudut-sudut bacanya, buku Blood Rites merupakan karya monumental yang akan bertransformasi kepada pemahaman kita tentang ancaman terbesar kehidupan manusia.

Tak ada ikhtisar yang tepat untuk menilai argumen-argumen Ehrenreich, dan jika Anda terprovokasi dengan judul bukunya, tak ada saran lain selain, "Bacalah bukunya hingga selesai." Buku ini lebih mirip novel daripada sebuah karya non-fiksi, dengan dukungan argumen-argumen yang imajinatif, ampuh dan sesuai. Buku ini merupakan satu dari beberapa karya anthropologi yang mencerahkan.

Daripada mendalami aspek psikologi kehidupan moderen saat ini terkait dengan naluri agresif dan defnsif, Ehrenreich memulai narasinya dengan menekankan pada masa-masa awal peradaban manusia dan kaitannya pada rantai makanan:
[O]ur peculiar and ambivalent relationship to violence is rooted in...being preyed on by animals that were initially far more skillful hunters than ourselves...Rituals of blood sacrifice both celebrate and terrifyingly reenact the human transition from prey to predator, and so, I will argue, does war. [hal 22]
Hubungan antara manusia dengan pemburunya atau predatornya bisajadi bersifat mendua. Di satu sisi, hewan buas adalah pembunuh; tetapi di sisi lain, mereka merupakan sumber daging bagi mahluk-mahluk pemakan bangkai, seperti halnya manusia pemakan daging saat itu. Dikotomi predator-penyedia berulangkali diungkapkan pada narasi tentang agama di awal peradaban manusia; menyatu dengan karakter dan naluris agresif dan buas yang coba diwakilkan pada upacara-upacara keagamaan tersebut. Inilah yang dijadikan titik berangkat Ehrenreich.