01 March 2010

Menghargai Kreativitas

L Wilardjo | Opini | Kompas Cetak | 1 Maret 2010

Setelah penjiplakan (plagiarism) yang dilakukan guru besar Unpar diberitakan media massa, bermunculanlah artikel tentang penjiplakan. Semuanya mengutuk tindakan itu, yang dinilai sebagai tidak menghargai kreativitas.

Armada Riyanto (Kompas, 24/2/2010) tidak hanya ikut mengutuk penjiplakan, tetapi juga pemberangusan publikasi hasil penelitian yang tidak memenuhi patokan kepuasan penguasa. Apabila penjiplakan merupakan tiadanya penghargaan terhadap kreativitas, terlebih-lebih lagi pemberangusan publikasi hasil telaah ilmiah.

”Penelitian - - - harus bebas dari (campur tangan) para penguasa politik dan ekonomi, yang (justru) harus bekerja sama demi pengembangannya, tanpa menghambat kreativitasnya atau memberangusnya demi tujuan mereka sendiri,” kata mendiang Paus Yohanes Paulus II dalam amanatnya di depan Pontifical Academy of Sciences di Roma, 10 November 1979.

Mengutip bukan menjiplak

Mengutip pernyataan dalam karya orang lain sah-sah saja. Itu bukan penjiplakan, tetapi justru wujud penghargaan atas pandangan yang terkandung dalam pernyataan itu. Karya ilmiah bahkan dinilai, antara lain, berdasarkan seberapa banyak dan seringnya sebagian atau bagian- bagian tertentu dari karya itu dikutip. Makin banyak karya baru yang diilhami suatu gagasan, berarti gagasan itu makin membenih (seminal). Pemanfaatan gagasan atau karya asli itu sesuai dengan ”asas manfaat” yang dianjurkan dalam agama Islam dan dalam utilitarianisme.

Begitu suatu karya dipublikasikan di jurnal ilmiah atau di media massa, ia sudah menjadi bagian dari ranah publik. Siapa saja boleh mengecamnya apabila karya itu tidak benar, atau menerima dan memakainya bila karya itu benar dan baik bagi kehidupan bersama. Karya itu sudah menjadi milik publik. Seperti fasilitas umum mandi, cuci, dan kakus (MCK), siapa pun boleh memakainya.

Itulah imperatif komunalisme, yang merupakan bagian dari paradigma (Robert K) Merton. Bersama dengan ketiga imperatif lainnya, komunalisme merupakan kode etik di bidang pengembangan ilmu.

Penerbitan karya ilmiah, atau pembicaraannya dalam seminar dan simposium, selaras dengan imperatif lain dalam paradigma Merton, yakni organized skepticism. Skeptisisme yang tertib sangat perlu dalam pengembangan ilmu. Tanpa sikap skeptis yang membuahkan kritik, cacat, atau kesalahan yang ada dalam karya ilmiah tidak terungkap. Polemik, berupa serangkaian sorotan (reviews) terhadap suatu karya ilmiah dan tangkisan (rebuttals)-nya, secara dialektis akan menghasilkan karya yang lebih bermutu. Bukan komentar apresiatif saja yang merupakan penghargaan atas kreativitas. Sorotan kritis juga! Yang tidak menghargai kreativitas pencipta karya ilmiah atau seni adalah mereka yang tidak menggubris karya itu.

Jadi, silakan mengutip atau memakai karya orang lain. Hanya saja, jangan mendaku (meng-claim)-nya sebagai karya Anda sendiri. Itulah tata krama yang berlaku di dunia akademik. Menerapkan sopan santun ini berarti mengugemi (berpegang teguh pada) nilai konstitutif yang terpenting, yakni kejujuran.

Harus ada acuan?

Dalam talk-show tentang Gurita Cikeas-nya George J Aditjondro, ada guru besar yang suka menonjolkan kegurubesarannya. Ia menilai karya Aditjondro tersebut tidak ilmiah sebab tidak ada acuannya.

Menonjolkan ego dan predikat itu bukan sikap ilmuwan sejati. Yang ditekankan seharusnya kekuatan logika dan koherensi uraiannya dan korespondensi pernyataannya dengan fakta dan empiria yang ada di ”lapangan”. Tiadanya referensi tidak serta-merta membuat suatu karya menjadi tidak ilmiah. Kalau yang ditulis pemakalah itu temuan eksperimental atau gagasan aslinya sendiri, tentulah tidak ada acuannya.

Apabila orang menyatakan E > mc (kesetaraan antara massa dan tenaga), tidak perlu ia mengacu ke karya Einstein Zur Elektrodynamik bewegter Koerper di Annalen der Physik, 17, 891(1905) sebab semua tokoh sudah tahu bahwa ”rumus” tersebut didapatkan oleh Einstein. Makalah Einstein tersebut berupa tinjauan dari aspek elektrodinamis atas benda yang bergerak, dan melahirkan teori relativitas khusus. Mengatakan: ”Apalah arti sebuah nama. Mawar sekuntum, mau disebut apa pun, ya tetap harum”, tidak perlu disertai dengan pengakuan bahwa itu dikutip dari karya Shakespeare. Saben irung wis ngerti, kata orang Jawa. Setiap ”hidung” (maksudnya, orang) sudah tahu!

Dalam karya yang insinuatif seperti Gurita Cikeas-nya Aditjondro, tiadanya acuan ke sumber datanya barangkali merupakan kesengajaan, demi melindungi informan yang bersangkutan. Sumber itu baru diungkapkan di pengadilan apabila ada pihak yang merasa difitnah dan menuntut pertanggungjawaban Aditjondro secara hukum.

Liek Wilardjo Guru Besar Fisika UK Satya Wacana Salatiga
(c) 2008 - 2009 KOMPAS.com - All rights reserved

No Way To Run An Economy

by Graham Turner | New Internationalist | January 2010

No Way To Run An Economy

Pluto Press, ISBN 9780745329765

Oh what a tangled web it weaves, when first it practises to deceive. Anyone with blind faith in the self-correcting nature of markets is invariably left dumbfounded by their serial misbehaviour. So it takes someone with the penetrating gaze of Graham Turner to untangle the web, reveal the thing for what it is, explain what ails it, where it’s been, where it’s liable to head next – and sometimes to be proved right, as he famously was by his previous book, The Credit Crunch.

Anyone taking comfort from the soothing notes currently issuing from the very policy-makers that landed us in this mess should hasten to the pages of Turner’s new book No Way To Run An Economy before it’s too late – again. Among other things, the ‘zero bound’ of interest rates that’s now been reached means that there is nothing left in the policy locker. Corporate globalization has wrecked itself, and the earth with it, by unduly favouring capital over labour, money over people, reason and nature. That’s untamed capitalism for you.

Turner deploys a subtle mix of Marx and Keynes to reach conclusions of his own. The one policy most likely to work in the end, he suggests, entails a change no less profound than the blood-soaked war economy that was the eventual escape route from the Great Depression of the 1930s. This time around it has to tackle environmental collapse as well. It can only do so with the engagement of the public whose interests any economy is supposed to serve, thereby bringing an end to the venal ‘shareholder model’ of ownership and control.

DR
Except where otherwise noted, content on this site is licensed under a Creative Commons Attribution-Noncommercial-No Derivative Works 3.0 License