26 January 2006

Refleksi Tulisan-tulisan Advokasi

Awicaksono

Sore tadi sempat berdiskusi lumayan panjang dengan seorang pembuat film dokumenter, Chandra. Sebuah diskusi lanjutan di luar ruang diskusi, setelah saya melempar pertanyaan kepada ketiga narasumber dalam diskusi "Film Sebagai Media Perlawanan," sebagai bagian program "South to South Film Festival." Ada banyak hal yang menarik dari diskusi itu. Dan itu membuat saya merenungkan tentang tulisan-tulisan advokasi yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau organisasi masyarakat sipil (OMS) atau organisasi non-pemerintah (Ornop), entah itu berupa siaran pers (press release) atau kertas posisi.

Saya kira apa yang saya dan Chandra perdebatkan tentang film sebagai medium perlawanan cukup relevan untuk direfleksikan ke tulisan-tulisan LSM, OMS atau Ornop di media-media massa cetak. Beberapa hal yang sempat saya catat:

1. Daya jangka medium: Luas atau spesifik (segmented)? Masing-masing punya keuntungan dan resiko sendiri-sendiri;

2. Dampak: Pengaruh-pengaruh yang secara sederhana dapat diukur akibat penyampaian pesan lewat medium yang dipilih;

3. Tali emosi antara pesan dengan publik: Selain tentang kepada siapa disampaikan pesan bersangkutan, penting pula dipertanyakan, apakah publik punya urusan dengan kandungan pesan?

4. Konsistensi dan kreatifitas taktik penyampaian: Untuk konteks Indonesia, penyampaian yang terus-menerus dan konsisten sangatlah penting. Tetapi kreatifitas untuk secara terus-menerus merumuskan taktik-taktik penyampaian tak kalah penting. Karena publik di Indonesia punya kecenderungan pelupa terhadap kesusahan-kesusahan yang dihadapinya.

Menggunakan keempat kriteria di atas saya coba menengok ulang tulisan-tulisan yang dihasilkan LSM, OMS atau Ornop.

Pertanyaan pertama yang saya ajukan, "Mengapa tulisan itu dimuat media?" Jawabannya bisa sangat beragam. Salah satunya, kedekatan hubungan antara pegiat LSM, OMS atau Ornop dengan "orang dalam." Tetapi bukan tak mungkin karena momentumnya sesuai.

Pertanyaan selanjutnya, "Apakah tulisan itu sudah memikirkan dampak yang ingin dihasilkan jika ia dimuat dan dipublikasikan media?" Meski tak punya data yang valid, tapi saya punya feeling, dampak tidak masuk dalam proses perencanaan penulisan. Itu pun jika memang ada prosesp perencanaan penulisan. Yang lebih sering saya dengar, perumusan tujuan penulisan. Misal, "Menyadarkan masyarakat tentang isu penting yang mengancam keselamatannya," dan sebagainya. Lalu?

Tanpa harus melanjutkan analisis menggunakan kriteria lainnya, saya berhenti bertanya. Saya coba membuka-buka arsip tulisan-tulisan tersebut. Beberapa catatan saya buat. Beberapa diantaranya:

1. Tidak punya fokus: Terlalu banyak "pesan kunci" yang "ingin" disampaikan. Tidak mempertimbangkan bahwa pembaca, siapa pun dia, tidak memiliki skala prioritas dan kepentingan yang sama dengan si penulis pesan.

2. Terlalu sibuk bermain-main dengan data: Berbagai data, yang sebagian besar adalah data sekunder, disajikan tetapi gagal menghidupkan "pesan kunci." Data-data yang disajikan lebih berkesan sebagai ekspresi ego si penulis pesan.

3. Sibuk dengan opini tetapi tak mampu membangun artikulasi yang afirmatif: Keberpihakan memang penting, tetapi tidak harus menjadi dogmatik. Sebagian tulisan-tulisan belum berhasil mengartikulasikan sikap lewat opini. Yang lebih banyak disampaikan adalah opini-opini asal keras yang tidak menunjukkan dimana posisi si penulis pesan berpijak.

Begitu banyak tulisan advokasi yang tersebar di media yang hanya mampu meneriakkan protes dan tuntutan. Namun belum banyak yang berhasil menyentuh "syaraf marah" publik pembaca, sehingga menggerakkan mereka.

Jakarta, 26 Januari 2006

No comments: