06 April 2010

The March of Folly: From Troy to Vietnam by Barbara W. Tuchman

The March of Folly: From Troy to Vietnam My rating: 4 of 5 stars Barbara Tuchman was the greatest popular history writer of the late 20th century, and this is her finest book: a work of history for those who don't read history. Unlike the typical history which tackles a period and/or region, this book examines, in quite of bit of detail, four instances of folly in human history. This turns out to be a remarkably useful device for learning about the kinds of events that drive human organizations to places they don't often go -- and in these four cases, shouldn't have gone.

The book defines folly by examining the first case, letting the Trojan Horse into Troy. To qualify as folly for this book, Tuchman explains, acts have to be clearly contrary to the self-interest of the organization or group pursuing them; conducted over a period of time, not just in a single burst of irrational behavior; conducted by a number of individuals, not just one deranged maniac; and, importantly, there have to be people alive at the time who pointed out correctly why the act in question was folly (no 20/20 hindsight allowed).

In the case of the Trojan Horse, the latter role is played by Laocoon, a blind priest, who chastises Trojan leadership the moment the wooden equine is found. "You can't bring that thing in here," he says, "it might be full of Greek soldiers!" Later, as it becomes evident the will to bring it in is strong, he suggests helpfully, "Well, if you're going to bring it in, at least poke it with a spear and see if anybody yelps."

The Laocoons of this book are destined to be ignored, providing a key reminder of the value of dissent. Tuchman moves on to examine the Renaissance Popes, showing them to be pretty much as corrupt and venal a group as has ever been nominated as a symbol of religious purity. Her time period here is the reign of ten consecutive popes, which covers parties in the Vatican with one prostitute per guest, the reign of the infamous Borgia pope, and ends during the year when an unknown cleric named Martin Luther tacks ten resolutions for the reform of the church on a door in Germany.

The third section of the book is entitled The British Loss of North America and treats the American revolution from a rarely-seen perspective: that of an avoidable and silly loss of valuable colonies occurring primarily due to stiff British necks (upper lips being of no service). The extent to which the war was unpopular in Britain is covered, as well as the many Laocoons decrying the idiocy of antagonizing the colonists, including some viewed in the American version of events as villians.

The last section of the book is no less powerful for being more familiar -- it is the Amercian involvement in Vietnam. Tuchman's objectivity slips a bit here (she was an anti-war protestor) but the quality of her research and writing decrying our support of the most blatant of puppet regimes is impeccable. If you think history books are dull drudgery with no real point, this is a book to read. By examining cases where the system was unable to work in its own self-interest, Tuchman gets at the heart of human folly on small as well as large scales. View all my reviews >>

01 March 2010

Menghargai Kreativitas

L Wilardjo | Opini | Kompas Cetak | 1 Maret 2010

Setelah penjiplakan (plagiarism) yang dilakukan guru besar Unpar diberitakan media massa, bermunculanlah artikel tentang penjiplakan. Semuanya mengutuk tindakan itu, yang dinilai sebagai tidak menghargai kreativitas.

Armada Riyanto (Kompas, 24/2/2010) tidak hanya ikut mengutuk penjiplakan, tetapi juga pemberangusan publikasi hasil penelitian yang tidak memenuhi patokan kepuasan penguasa. Apabila penjiplakan merupakan tiadanya penghargaan terhadap kreativitas, terlebih-lebih lagi pemberangusan publikasi hasil telaah ilmiah.

”Penelitian - - - harus bebas dari (campur tangan) para penguasa politik dan ekonomi, yang (justru) harus bekerja sama demi pengembangannya, tanpa menghambat kreativitasnya atau memberangusnya demi tujuan mereka sendiri,” kata mendiang Paus Yohanes Paulus II dalam amanatnya di depan Pontifical Academy of Sciences di Roma, 10 November 1979.

Mengutip bukan menjiplak

Mengutip pernyataan dalam karya orang lain sah-sah saja. Itu bukan penjiplakan, tetapi justru wujud penghargaan atas pandangan yang terkandung dalam pernyataan itu. Karya ilmiah bahkan dinilai, antara lain, berdasarkan seberapa banyak dan seringnya sebagian atau bagian- bagian tertentu dari karya itu dikutip. Makin banyak karya baru yang diilhami suatu gagasan, berarti gagasan itu makin membenih (seminal). Pemanfaatan gagasan atau karya asli itu sesuai dengan ”asas manfaat” yang dianjurkan dalam agama Islam dan dalam utilitarianisme.

Begitu suatu karya dipublikasikan di jurnal ilmiah atau di media massa, ia sudah menjadi bagian dari ranah publik. Siapa saja boleh mengecamnya apabila karya itu tidak benar, atau menerima dan memakainya bila karya itu benar dan baik bagi kehidupan bersama. Karya itu sudah menjadi milik publik. Seperti fasilitas umum mandi, cuci, dan kakus (MCK), siapa pun boleh memakainya.

Itulah imperatif komunalisme, yang merupakan bagian dari paradigma (Robert K) Merton. Bersama dengan ketiga imperatif lainnya, komunalisme merupakan kode etik di bidang pengembangan ilmu.

Penerbitan karya ilmiah, atau pembicaraannya dalam seminar dan simposium, selaras dengan imperatif lain dalam paradigma Merton, yakni organized skepticism. Skeptisisme yang tertib sangat perlu dalam pengembangan ilmu. Tanpa sikap skeptis yang membuahkan kritik, cacat, atau kesalahan yang ada dalam karya ilmiah tidak terungkap. Polemik, berupa serangkaian sorotan (reviews) terhadap suatu karya ilmiah dan tangkisan (rebuttals)-nya, secara dialektis akan menghasilkan karya yang lebih bermutu. Bukan komentar apresiatif saja yang merupakan penghargaan atas kreativitas. Sorotan kritis juga! Yang tidak menghargai kreativitas pencipta karya ilmiah atau seni adalah mereka yang tidak menggubris karya itu.

Jadi, silakan mengutip atau memakai karya orang lain. Hanya saja, jangan mendaku (meng-claim)-nya sebagai karya Anda sendiri. Itulah tata krama yang berlaku di dunia akademik. Menerapkan sopan santun ini berarti mengugemi (berpegang teguh pada) nilai konstitutif yang terpenting, yakni kejujuran.

Harus ada acuan?

Dalam talk-show tentang Gurita Cikeas-nya George J Aditjondro, ada guru besar yang suka menonjolkan kegurubesarannya. Ia menilai karya Aditjondro tersebut tidak ilmiah sebab tidak ada acuannya.

Menonjolkan ego dan predikat itu bukan sikap ilmuwan sejati. Yang ditekankan seharusnya kekuatan logika dan koherensi uraiannya dan korespondensi pernyataannya dengan fakta dan empiria yang ada di ”lapangan”. Tiadanya referensi tidak serta-merta membuat suatu karya menjadi tidak ilmiah. Kalau yang ditulis pemakalah itu temuan eksperimental atau gagasan aslinya sendiri, tentulah tidak ada acuannya.

Apabila orang menyatakan E > mc (kesetaraan antara massa dan tenaga), tidak perlu ia mengacu ke karya Einstein Zur Elektrodynamik bewegter Koerper di Annalen der Physik, 17, 891(1905) sebab semua tokoh sudah tahu bahwa ”rumus” tersebut didapatkan oleh Einstein. Makalah Einstein tersebut berupa tinjauan dari aspek elektrodinamis atas benda yang bergerak, dan melahirkan teori relativitas khusus. Mengatakan: ”Apalah arti sebuah nama. Mawar sekuntum, mau disebut apa pun, ya tetap harum”, tidak perlu disertai dengan pengakuan bahwa itu dikutip dari karya Shakespeare. Saben irung wis ngerti, kata orang Jawa. Setiap ”hidung” (maksudnya, orang) sudah tahu!

Dalam karya yang insinuatif seperti Gurita Cikeas-nya Aditjondro, tiadanya acuan ke sumber datanya barangkali merupakan kesengajaan, demi melindungi informan yang bersangkutan. Sumber itu baru diungkapkan di pengadilan apabila ada pihak yang merasa difitnah dan menuntut pertanggungjawaban Aditjondro secara hukum.

Liek Wilardjo Guru Besar Fisika UK Satya Wacana Salatiga
(c) 2008 - 2009 KOMPAS.com - All rights reserved

No Way To Run An Economy

by Graham Turner | New Internationalist | January 2010

No Way To Run An Economy

Pluto Press, ISBN 9780745329765

Oh what a tangled web it weaves, when first it practises to deceive. Anyone with blind faith in the self-correcting nature of markets is invariably left dumbfounded by their serial misbehaviour. So it takes someone with the penetrating gaze of Graham Turner to untangle the web, reveal the thing for what it is, explain what ails it, where it’s been, where it’s liable to head next – and sometimes to be proved right, as he famously was by his previous book, The Credit Crunch.

Anyone taking comfort from the soothing notes currently issuing from the very policy-makers that landed us in this mess should hasten to the pages of Turner’s new book No Way To Run An Economy before it’s too late – again. Among other things, the ‘zero bound’ of interest rates that’s now been reached means that there is nothing left in the policy locker. Corporate globalization has wrecked itself, and the earth with it, by unduly favouring capital over labour, money over people, reason and nature. That’s untamed capitalism for you.

Turner deploys a subtle mix of Marx and Keynes to reach conclusions of his own. The one policy most likely to work in the end, he suggests, entails a change no less profound than the blood-soaked war economy that was the eventual escape route from the Great Depression of the 1930s. This time around it has to tackle environmental collapse as well. It can only do so with the engagement of the public whose interests any economy is supposed to serve, thereby bringing an end to the venal ‘shareholder model’ of ownership and control.

DR
Except where otherwise noted, content on this site is licensed under a Creative Commons Attribution-Noncommercial-No Derivative Works 3.0 License

24 February 2010

Kutuk Plagiarisme, Lalu?

Oleh Armada Riyanto | Opini | Kompas Cetak | 24 Februari 2010

Tentang plagiarisme, kiranya tidak berguna lagi aneka kutukan. Yang lebih penting adalah apa kelanjutan sesudah tragedi plagiarisme.

Bandung, Jakarta, Aceh, Malang, Yogyakarta, Surabaya, Solo, Bogor, Semarang, dan Medan, apakah mereka emblem kota-kota intelektual? Dengan menjamurnya pabrikan skripsi, tesis, disertasi, juga paper di kota-kota itu dan lainnya yang belum disebut, mendung kelabu menyelimuti dunia intelektualitas kita. Masih adakah kota intelektual di tanah kita? Sebuah pertanyaan hati nurani.

Tak usah mengutuk Bandung sebab Yogyakarta atau kota Anda mungkin lebih parah. Tak perlu mengkritik institusi yang kecolongan sebab institusi sekaliber UGM, UI, atau MIT di AS, Cambridge di Inggris, atau Alberta di Kanada pun tidak imun terhadap kasus plagiarisme dalam sejarah akademisnya. Di Yogyakarta, dugaan perkara plagiarisme disertasi oleh seorang doktor dari MIT tidak diapa-apakan, malah pernah memegang jabatan penting di dunia pendidikan kita. Institusi paling bersih dipersilakan untuk ”melempar batu pertama” pemberantasan plagiarisme, dan adakah yang berani?

Sepuluh tahun lalu, dalam sebuah penelitian oleh pusat integritas akademik Duke University atas mahasiswa-mahasiswi Amerika diperoleh data 68 hingga 70 persen mengaku pernah melakukan penjiplakan (Cf. http://guides.library.ualberta.ca18 Feb. 2010). Andai hal yang sama dikerjakan terhadap mahasiswa-mahasiswi Indonesia, kita mungkin akan memperoleh angka yang lebih mengejutkan.

Setelah ini apa?

Perketat sistem pengurusan jenjang profesorat? Menggiatkan pendidikan karakter? Penciptaan plagiarism detection software? Mempromosikan pendidikan kebenaran, budi pekerti, dan integritas?

Menteri Pendidikan Nasional pernah berkata, pada 2009 jumlah pemohon guru besar dari perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta sebanyak 986 orang, yang lolos 286 orang. Sudah ketatkah sistemnya? Barangkali soal paling mendasar adalah rumusan-rumusan ilmiah apa saja yang telah diproduksi oleh para ilmuwan kita. Mengapa sepintas masih tampak sepi dan tiada yang baru.

Di samping sebagai emblem merosotnya kejujuran, plagiarisme dapat berasal dari lemahnya pemahaman tentang esensi sebuah ilmu. Ketika putra-putri kita masuk sekolah, orangtua dan pendidik sangat bangga dengan anak didiknya memiliki nilai tinggi. Namun, siapa peduli memerhatikan integritas dan proses pendewasaan serta perkembangan tanggung jawabnya?

Plagiarisme akan tetap menjadi sebuah serial aktivitas sehari- hari bila skema perspektif pendidikan kita tidak berubah. Ketika sebuah kemajuan disempitkan dalam ranah formal berupa angka, dengan sedikit perhatian pada proses pencapaiannya, pendidikan mengalami sebuah kemandekan. Pendidikan integritas tersisihkan.

Plagiarisme adalah tindakan pencurian kreativitas intelektual. Sebagai sebuah tindakan mencuri, plagiarisme memiliki konsekuensi etis-deontologis sebagai perbuatan cela. Namun, mencela pun juga tidak cukup. Apalagi hidup sehari-hari bangsa kita dekat dan lekat dengan aneka kemerosotan tercela berupa ”mencuri” hak-hak kebebasan orang lain atau uang rakyat dalam wujud korupsi.

Di sini, memberantas plagiarisme di tengah suasana keseharian yang berlepotan koruptif semacam ini hampir merupakan mission impossible. Pemberantasan plagiarisme jadi sebuah tautologi belaka, sebuah aktivitas repetitif formalistis yang kehilangan makna.

Menghargai ilmu

Plagiarisme juga terjadi karena redupnya kesadaran menghargai ilmu. Ketika jabatan, tunjangan, dan segala konsekuensi kemudahan ditawarkan, sudah semestinya dikerjakan sebuah sistem pendidikan yang menghargai ilmu.

Thomas Kuhn, dalam The Scientific Revolutions (1964), berkata, ilmu pertama-tama adalah paradigma. Terminologi ”paradigma” memaksudkan kompleksitas teori bagaimana suatu ilmu mengelola atau menggumuli obyeknya: cara-cara mempersepsi, mengobservasi, menganalisis, melakukan eksperimentasi dan verifikasi, menarik kesimpulan, mengevaluasi, mempresentasikan, dan mengomunikasikannya. Kuhn membuka mata kita. Dengan prinsip Khunian ini, kita diberi tahu, ilmu bukanlah informasi. Ilmu pengetahuan identik dengan proses pengenalan sekaligus pergumulan paradigmatik.

Kebijakan-kebijakan totaliter dari pemerintah yang memberangus buku produk penelitian mengindikasikan sebuah kenyataan bahwa ilmu pun kini harus lolos kriteria kepuasan dari penguasa. Ini bukan hanya merupakan pengerdilan sains dan riset, melainkan juga penyetopan berkembangnya humanisme kehidupan dan tata nilai etis-filosofis-saintifik, sebuah introduksi kebobrokan societas yang memprihatinkan. Kebijakan semacam ini menyetop hormat terhadap ilmu sebagai sebuah pergumulan paradigmatik.

Dunia pendidikan nasional akan memberantas plagiarisme? Selama pemerintah tidak mengevaluasi mentalitas totaliter, plagiarisme tidak akan pernah habis sebab plagiarisme adalah bentuk lain dari usaha untuk mengelabui pemenuhan aneka formalisme sistem yang dikelola oleh dunia pendidikan kita. Maraknya plagiarisme adalah emblem redupnya cita rasa kreatif, ilmiah, dan miskinnya pergumulan paradigmatik, di samping rusaknya bangunan nurani kejujuran dan cinta kebenaran bangsa ini.

Armada Riyanto
Guru Besar Filsafat Etika Politik STFT Widya Sasana, Malang
(c) 2008 - 2009 KOMPAS.com - All rights reserved

17 January 2010

Senja Kala Sekularisme

KOMARUDDIN HIDAYAT | Opini | Kompas | Jumat, 15 Januari 2010

Anda tidak perlu Tuhan untuk berperang. You don’t need God for a war, demikian John Micklethwait, pemimpin redaksi majalah The Economist, bersama Adrian Wooldridge seorang kolumnis, dalam karyanya God is Back. Buku setebal 405 halaman ini menyajikan fakta sosial seputar kebangkitan keyakinan agama yang meramaikan panggung politik global di awal abad ini.

Jika Anda naik pesawat terbang dan mendarat di Bandar Udara Nashville, Tennessee, Amerika Serikat, Anda akan disambut tulisan selamat datang: Music City, USA. Menurut Micklethwait, mestinya ditambah lagi dengan papan nama: Faith City, atau Jesus City, bahkan lebih mengena: Southern Baptist City, mengingat di kota ini terdapat sedikitnya 700 gereja, 65 persen penduduknya mengaku religius. Nashville juga dikenal sebagai kota produsen buku-buku dan kaset keagamaan yang diekspor ke seluruh dunia. Banyak penyanyi papan atas melakukan rekaman lagu-lagu keagamaan di kota ini, sebut saja Hank Williams, Johnny Cash, atau Carrie Underwood.

Penggemar lagu-lagu gereja tak akan sulit mencari kaset semisal Jesus Remembered Me, Jesus Dies for Me, How Can You Refuse Him Now?, I Talk to Jesus Everyday, dan lainnya. Suasana batin ini jauh berbeda dengan akhir abad ke-19 ketika seluruh universitas papan atas AS menggusur ke pinggir posisi agama. Now God is returning to intellectual life, tulisnya. Dulu orang belajar agama dianggap aneh atau semacam hobi bagi sekelompok orang, tetapi sekarang belajar agama merupakan hal yang lumrah, bahkan suatu kebutuhan.

Rapuhnya institusi keluarga dan berkembangnya demoralisasi sosial telah ikut mendorong pertumbuhan agama yang sangat mengesankan. Dikatakan, Islam and Pentecostalism today occupy a ”social space” analogous to early twentieth century socialism. Marx has reemerged in the guise of radical imams and Pentecostal preachers.

Pisau bermata dua

Janji-janji surga dunia ideologi besar marxisme dan kapitalisme yang tidak kunjung tiba telah ikut mendorong agama untuk tampil kembali. Ada kerinduan dan harapan masyarakat modern terhadap agama. Namun, agama yang berkembang dalam masyarakat yang kian mengglobal ini tampil semakin warna-warni, beragam paham dan keyakinan. Keragaman agama ini sekaligus juga potensial menimbulkan konflik. Oleh karena itu, kehadiran kembali agama ini dalam waktu yang sama juga menimbulkan ketakutan, dikhawatirkan akan semakin mengintensifkan konflik dan perang atas nama Tuhan. Ketakutan ini cukup beralasan mengingat perang atas nama Tuhan memang memiliki sejarah panjang.

Konflik agama bisa dibedakan menjadi dua, yaitu konflik internal antarsekte dan konflik eksternal, yaitu melawan agama lain. Konflik antara Protestan dan Katolik dan antara Sunni dan Syiah, misalnya, telah menelan korban ribuan nyawa dan menyisakan luka di antara mereka. Dalam ranah global, dua agama yang selalu menyimpan konflik adalah antara Kristen dan Islam. Agama Yahudi terbatas hanya untuk keturunan Israel, Hindu lebih berpusat pada rakyat India, Tao dan Konghucu untuk orang-orang China Daratan dan perantauan, dan Shinto lebih banyak bagi masyarakat Jepang.

Namun, konflik internal antarsekte juga sangat fenomenal. Di kawasan Timur Tengah, terutama Irak dan Lebanon, konflik berdarah-darah antara kelompok Sunni dan Syiah diperkirakan masih akan berlanjut terus. Contoh ini bisa ditambah dengan menyajikan kasus Ahmadiyah di Indonesia yang dihujat dan diserang oleh mayoritas Sunni. Bukanlah mustahil, kalau suatu saat Syiah membesar sangat mungkin akan muncul konflik seperti di Irak.

Jadi, meskipun gerakan agama kembali bangkit, masih ada pertanyaan besar, apa jaminannya bahwa kebangkitan agama akan memberikan kehidupan lebih baik di masa depan? Di sini muncul keraguan di balik God is Back. Tanpa melibatkan Tuhan saja berbagai peperangan yang sadis dan brutal terjadi di mana-mana. Terlebih lagi jika emosi agama ikut hadir menambah amunisi peperangan. Micklethwait mengatakan, kebangkitan agama akan melipatgandakan jumlah orang yang siap untuk saling berbunuhan dengan alasan agama. Konfrontasi antara nuklir Iran di satu pihak dan Israel serta Amerika di pihak lain pasti akan menggema ke seluruh dunia dan orang pun akan segera menafsirkan sebagai perseteruan agama.

Perseteruan antara India dan Pakistan soal Kashmir pasti akan melibatkan emosi keagamaan meskipun pada dasarnya merupakan persengketaan wilayah. Belum lagi di Filipina dan Indonesia, hubungan antara minoritas dan mayoritas Islam-Kristen juga selalu menyimpan bara konflik. Namun, tanpa melibatkan Tuhan dan agama sesungguhnya manusia telah mengukir sejarah konflik berdarah-darah dan berkesinambungan. Abad dua puluh adalah abad paling sekuler dan sekaligus paling berdarah-darah. Apa yang disebut ”the Godless religions of Nazism and Communism” telah membunuh puluhan juta manusia. Begitu juga pembantaian di Kamboja, Kongo, dan Rwanda, kesemuanya sama sekali tidak melibatkan nama Tuhan. Lalu terorisme yang terjadi di Sri Lanka dan Eropa juga bersifat sekuler.

Dengan kata lain, akar terorisme tidak selalu dimotivasi oleh agama. Bahkan, dalam berbagai kasus agama dijadikan jubah dan penambah amunisi, padahal akarnya bisa jadi adanya dominasi mayoritas terhadap minoritas atau kekuatan asing yang akan menguasai atau menjarah wilayah bangsa lain.

Politik identitas

Di tengah maraknya gelombang demokratisasi di berbagai belahan dunia, salah satu konsekuensi yang kurang diperhitungkan sebelumnya adalah munculnya gerakan politik identitas. Proses demokratisasi yang tidak disertai penegakan hukum, partsipasi pendidikan dan kesejahteraan sosial yang merata, maka politik identitas untuk memperjuangkan kelompok etnis dan agama akan semakin menguat. Fenomena ini mesti dicermati dan diantisipasi di Indonesia.

Agenda kelompok berdasarkan kepentingan etnis, daerah, agama, dan parpol mendapatkan ruang manuver secara leluasa dengan dalih hak asasi dan demokrasi. Indonesia sebagai negara bangsa yang masih amat muda, sementara korupsi masih akut, lalu pemerintah yang tengah berkuasa sangat diwarnai politik balas budi dan perkoncoan, sangat rawan untuk menghadapi menguatnya politik identitas yang jika kebablasan akan memperlemah demokrasi dan kohesi bangsa. Terlebih lagi jika ideologi transnasional yang tidak setia pada semangat kemerdekaan RI dan Pancasila ikut bermain.

Jadi, tanpa melibatkan Tuhan saja potensi konflik antardaerah dan etnis cukup rawan. Dan itu sudah terjadi. Terlebih lagi jika memperoleh amunisi tambahan berupa ketidakadilan ekonomi dan pendidikan serta sentimen agama, maka proses demokratisasi yang kita perjuangkan akan digerogoti oleh konflik antarkelompok kepentingan yang tidak rasional. Slogan Bhinneka Tungal Ika, keragaman dalam kesatuan, beralih menjadi perseteruan dalam keragaman yang tidak kunjung reda.

Komaruddin Hidayat Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Hikmah Pembangunan Masa Lalu untuk Masa Kini

Emil Salim | Opini | Kompas | Jumat, 15 Januari 2010

Hari Kamis (14/1), Penerbit Buku Kompas meluncurkan buku Pengalaman Pembangunan Indonesia- Kumpulan Tulisan dan Uraian Widjojo Nitisastro dari tahun 1963 hingga 1996 menggambarkan pengalamannya dalam membangun Indonesia di masa Orde Baru. Jika masa ini sudah lewat, timbul pertanyaan masih relevankah isi buku ini bagi generasi masa kini dan nanti? Hikmah apakah yang bisa ditarik dari buku ini?

Buku ini ditulis oleh seorang profesor ekonomi sehingga segera tampak betapa inner logic ekonomi memengaruhi cara pandang dan berpikir sang penulis. Ilmu ekonomi bertumpu pada logika bahwa harga keseimbangan terbentuk bila penawaran bertemu dengan permintaan. Sifat pasar bisa berbeda, serbaliberal, monopoli, berencana atau lain- lain. Namun, akhirnya yang dituju adalah harga keseimbangan antara penawaran dan permintaan.

Ketika pada tahun 1972 meledak krisis pangan yang parah dan harga melonjak tinggi, terdapat laporan produksi beras yang cukup tinggi dari pejabat pertanian daerah, sedangkan Biro Pusat Statistik mengungkapkan produksi beras lebih rendah daripada tahun-tahun sebelumnya. Selaku Ketua Bappenas, Widjojo Nitisastro menginstruksikan agar yang dijadikan patokan adalah ”harga beras pada musim panen” dan bukan perkiraan jumlah produksi yang simpang siur. Inner logic ekonomi berkata, pada musim panen pasokan beras naik sehingga harga beras mestinya tidak naik. Bila ada kenaikan, produksi pada musim panen lebih rendah dengan sebelumnya.

Asas efisiensi

Pelajaran kedua yang bisa ditarik adalah penerapan asas efisiensi yang secara sederhana terungkap dalam lima pertanyaan Menteri Sekretaris Negara Sudharmono ketika berhadapan dengan tuntutan departemen mengajukan anggaran proyek, yakni: pertama ”apakah perlu membangun proyek itu?” Kalau ini dijawab positif, pertanyaan berikut adalah ”apakah perlu sebesar itu ukuran proyeknya?” Kemudian, menyusul pertanyaan ”apa perlu sekarang, apa betul urgen mendesak?” Lalu ”apakah biaya bisa diturunkan?” Akhirnya masih menyusul permintaan untuk mengajukan studi kelayakan untuk dikaji oleh para ahli.

Tersimpul dalam pertanyaan sederhana Sudharmono ini prinsip efisiensi kegunaan, pertimbangan ukuran besar, faktor urgensi waktu dan faktor biaya. Untuk dicek dengan studi kelayakan proyek. Setelah terjawab ini semua barulah proyek ini bisa lolos.

Hikmah ketiga, diterapkannya dalil ”berpegang teguh pada sasaran yang ditetapkan” dalam bahasa manajemen maintenance of the objectives. Ketika pada Januari 1986 Presiden Soeharto menyatakan tidak akan mendevaluasi rupiah, maka komitmen pemerintah ini harus dilaksanakan. Akan tetapi, harga minyak bumi kemudian jatuh sehingga penerimaan devisa berkurang dengan tajam dan nilai tukar rupiah merosot turun. Dan orang menukar rupiah yang overvalued dengan mata uang asing.

Tujuan kebijakan pembangunan adalah mengusahakan stabilisasi ekonomi dan ini memerlukan nilai tukar yang stabil pada tingkat keseimbangan yang bisa dipikul anggaran. Jika nilai tukar rupiah overvalued, maka devisa akan dikuras sehingga membahayakan stabilitas rupiah. Maka, demi maintenance of the objective mencapai ekonomi stabil, Presiden ”menarik janjinya” dan mendevaluasi rupiah pada tahun 1986.

Kerja ”all-out”

Pelajaran keempat adalah semangat kerja habis-habisan, all out to get things done. Untuk mencapai sasaran swasembada pangan, segala keperluan petani harus sampai ke tangan di lapangan. Bibit unggul PB-5, pupuk, dan saluran irigasi harus tersedia pada waktunya. Dan peranan Bulog membeli padi pada waktu harga turun dan menjual pada waktu harga naik. Jalan kabupaten, jalan provinsi, dan jalan nasional direhabilitasi untuk kelancaran arus pasokan input ke petani dan pembelian output dari petani. Untuk potong lajur birokrasi, jalan pintas diambil untuk menurunkan anggaran langsung dari pusat ke lapangan dengan pola ”Proyek Inpres, Instruksi Presiden”. Irigasi sekunder dan primer perlu semen, maka pabrik semen dibangun. Pupuk dibutuhkan banyak, maka pabrik pupuk dibangun. Tak banyak seminar di masa itu, pertemuan lebih banyak dengan petani di tingkat desa. All out to get things done adalah suasana yang hidup mengejar sasaran swasembada pangan yang dicapai pada tahun 1984.

Pelajaran kelima adalah posisi seorang intelektual yang dibedakan dengan ”pekerja intelek” (intellectual worker). Seorang ”pekerja intelek” adalah seorang ”tukang intelek” yang ”menjual otaknya” kepada pembeli tanpa memedulikan ”untuk apa hasil otaknya dipakai”. Seorang ”pekerja intelek” semata-mata mengembangkan ilmu dan menghasilkan karya hasil otaknya dengan imbalan, titik. Sesudah itu, tanggung jawab pembeli hasil otak.

Berbeda halnya dengan seorang ”intelektual” yang pada asasnya adalah seorang ”pengkritik sosial” (social critic) dan bekerja mengidentifikasi, menganalisis, dan memecahkan masalah untuk mencapai masyarakat yang lebih baik, lebih berperikemanusiaan, dan lebih rasional. Dengan demikian, intelektual itu tumbuh menjadi hati nurani masyarakat, the conscience of the society, yang mendambakan perubahan ke arah perbaikan untuk kemaslahatan masyarakat.

Demikianlah lima hikmah yang bisa dipetik dari buku yang ditulis oleh Widjojo Nitisastro yang telah mencurahkan bagian besar hidupnya bagi pembangunan Indonesia.

Semangat zaman telah berubah kini. Tantangan pembangunan masa kini dan nanti telah berbeda. Sungguhpun diperlukan pola pembangunan yang berlainan agar lebih sesuai dengan tuntutan masa, tetapi kelima-lima pokok hikmah di atas tetap bisa digunakan untuk mengisi tuntutan masa baru dan mengisyaratkan tetap perlunya kerja pembangunan dengan inner logic ekonomi, prinsip efisiensi, maintenance of the objectives, all out to get things done, dan sikap jiwa seorang intelektual pembawa hati nurani masyarakat.

Emil Salim Ekonom Senior

Ekodamai

BS Mardiatmadja | Opini | Kompas | Jumat, 15 Januari 2010

Perang Dunia III tak jadi pecah. Konfrontasi blok Timur dan Barat batal. Namun, Afganistan tidak kunjung damai. Di Iran dan Irak, kekerasan berkecamuk. Deutsche Welle mengutip ucapan: ”Kalau ada neraka di dunia ini, tentulah di tengah Afrika: di sana pembantaian terjadi di mana-mana oleh siapa pun.”

Film Avatar mungkin sarat dengan fiksi, tetapi nada dasarnya seperti menggemakan film The Mission dan perjuangan sekelompok orang di sejumlah bagian Papua sejak beberapa puluh tahun terakhir: konflik bersenjata yang dijiwai oleh kekerasan ideologis. (Sekelompok) orang dengan ideologi tertentu menggagahi orang (-orang) yang memiliki keyakinan lain. Tindak menggagahi itu kerap dikemas dengan kosmetik modern, seperti demokrasi, kebebasan berpendapat, dan persaingan sah. Terjadilah apa yang dulu sering disebut ”perang yang dapat dipertanggungjawabkan”. Terlalu cepat untuk mengatakan ada ”damai di atas bumi”. Di balik itu tersembunyi nafsu penghancuran semesta.

Maka, Paus Benediktus XVI mengubah slogan lama tentang damai dengan yang baru. Dulu orang bilang ”si vis pacem, para bellum” (bila mau damai, siap-siaplah perang). Benediktus XVI menawarkan ungkapan baru ”si vis pacem, protege creaturam" (bila mau damai, lindungilah ciptaan). Dengan ungkapan itu, seruan damai tradisional Paus di tanggal 1 Januari menangkap gerak dunia akhir-akhir ini: pelestarian ciptaan bukanlah sekadar alternatif; mencintai dan melestarikan ciptaan adalah suatu keharusan kalau kita mau damai.

Nyatanya, sejak akhir abad ke- 20 banyak pertempuran mengambil berbagai dalih yang bunyinya saja demokratis, tetapi pada intinya dasar perang akhir-akhir ini adalah perebutan sumber alam untuk memeras habis madu alam: pemiskinan ciptaan. Ekologi mutlak agar dunia jadi oikos kita bersama, rumah kita bersama: damai di Bumi.

Teringat kita bahwa Yohannes Paulus II sudah 20 tahun yang lalu mengingatkan dunia akan gawatnya masalah lingkungan. Bahkan, sesungguhnya Paulus VI pada tahun 1971 mengajak orang yang mau maju untuk mencintai alam semesta. Benediktus XVI, yang dahulu bernama Joseph Ratzinger, mempunyai pendahulu yang memandang ciptaan dan alam semesta dalam kaitan erat dengan hidup manusia; bahkan dengan panggilan rohani manusia. Teolog Jerman itu bernapas serupa dengan seorang Perancis, Pierre Teilhard de Chardin.

Kekudusan alam ciptaan

Pemikir yang lama menjadi peneliti di Tiongkok itu meninggal tahun 1966: seorang paleontologis, filsuf, teolog: menangkap gerak-gerak ilahi dalam seluruh pertumbuhan ciptaan. Kuburannya di Hyde Park menjadi tempat ziarah bagi banyak pencinta ekologi. Pada tahun 1981, pada ulang tahunnya yang ke-100, pendapat Teilhard diakui sebagai tepat, yakni bahwa ciptaan adalah hal kudus yang akan berkembang terus dan harus dilindungi. Teilhard menguraikan kekudusan alam ciptaan itu tidak dengan kutipan panjang dari Alkitab, melainkan dengan rentetan analisis ilmiah modern: lengkap dengan kupasan paleontologis, kimia, dan seterusnya.

Kudusnya alam ciptaan tampak dalam pandangan banyak bangsa di mana pun. Tentu saja film Avatar menghidangkannya dengan kecanggihan elektronik dan koreografi baru serta nada-nada New Age. Namun, paparan Avatar sudah lama dapat kita temukan dalam Kisah Penciptaan; ketika kepada manusia diserahkan tidak hanya alam semesta untuk dipergunakan, tetapi juga untuk dipelihara.

Dari pikiran Teilhard de Chardin terdapat sekurang-kurangnya sepuluh butir yang dapat dikembangkan dalam pelestarian lingkungan: bahwa ekologi mengupayakan alam sebagai arena demi kesejahteraan bersama; bahwa melindungi hutan adalah mutlak demi kesejahteraan seluruh dunia; bahwa menjaga keanekaragaman hayati merupakan prasyarat untuk kelestarian manusia; bahwa menjaga hidup binatang langka merupakan latihan rohani untuk pelestarian lingkungan; bahwa penghormatan suku terasing menjadi bentuk antropologi yang ekologis; bahwa keadilan ekonomis hanya dapat berjalan dengan keadilan ekologis; bahwa komunitas manusiawi terbentuk hanya dalam lingkungan alami yang sehat; bahwa tanggung jawab sosial dan ekologis adalah prasyarat industri lestari; bahwa manusia hanya akan terus hidup kalau menjaga energi dan mencari cara baru membangun energi; bahwa masyarakat hanya berkembang kalau diciptakan rekreasi dan transportasi yang ekologis; bahwa ekologi hanya dapat berkembang kalau manusia menghormati budaya asli dan kesatuan manusia dengan alam. Hanya dalam semua itu damai dapat diusahakan.

”The Mission”

Pada abad ke-17-18 orang Iguarani di Paraguay disodori dua macam perkembangan: yang satu adalah pembangunan yang mulai dengan pendidikan menyeluruh, seperti yang dilakukan Gabriel dan komunitasnya. Mereka mengajari orang Indian itu bercocok tanam dan memiliki pertanian serta perkebunan sendiri; bahkan mereka mendidik anak-anak sehingga menjadi cerdas dan memiliki selera seni yang semakin indah.

Model pembangunan masyarakat lainnya menjadikan orang Guarani sebagai alat untuk mencari keuntungan bagi orang Eropa. Mereka adalah tenaga murah yang dapat menolong mengambil hasil bumi sebanyak mungkin demi kepentingan pendatang. Perbedaan cara pembangunan itu menyeret juga perselisihan antara para pemuka agama dan politisi di Eropa. Tidak perlu menunggu lama: terjadilah perang. Itulah yang ditayangkan oleh film The Mission, yang mendapat banyak penghargaan di beberapa pusat seni dan menjadi pangkal studi banyak seminar.

Rebutan sumber daya alam seperti itu bukan hanya tidak berhenti pada abad ke-18, tetapi bahkan semakin meluas dan semakin brutal pada abad ke-19 dan ke-20; abad ke-21 belum terbebaskan dari pertikaian ekonomi dan politis dengan pangkal rebutan sumber daya alam dan dengan akibat perusakan alam yang semakin lama semakin parah.

Kata Iguarani dapat diganti dengan pelbagai nama suku di banyak tempat di seluruh dunia. Paraguay dapat saja pindah ke sembarang tempat di pulau subur di setiap benua, termasuk Indonesia. Banyak suku bangsa memandang alam sebagai ibu, seperti kita dulu sering menyebutnya Ibu Pertiwi. Tidak sedikit yang memandang pelindung kesuburan tanah, seperti Dewi Sri, pantas dihormati sebagai sebuah sikap batin untuk menghormati alam.

Hal serupa berlaku di Jawa, Amungme, Na’vi, dan seterusnya. Semua merujuk pada sikap sama: menghormati alam semesta. Orang yang mencintai kemajuan bangsa manusia secara menyeluruh, dengan segala analisis ekologisnya, memiliki sikap hormat pada alam secara sama: amat berbeda dengan mereka yang melihat bumi sebagai tempat yang harus diisap habis madunya demi keuntungan finansial jangka pendek. Rebutan sumber daya alam itu sejak beberapa abad dan semakin lama semakin ganas menyebabkan terjadinya konflik tersembunyi atau terbuka di PBB dan seluruh dunia.

”Si vis pacem, protege creaturam”, ”bila mau damai, lindungilah ciptaan” adalah seruan yang pantas mendapat perhatian kita, yang mencintai Pertiwi, menyayangi perdamaian, dan menghendaki kemajuan yang lestari. Itulah juga harapan yang layak dikemukakan pada awal tahun 2010.

BS Mardiatmadja, SJ Rohaniwan

Inkongruensi Bangsa Ini

Limas Sutanto | Opini | Kompas | 16 Januari 2010

Kalau kita tega (atau berani tegas) mengatakan bahwa bangsa Indonesia sakit, pertanyaan mendasar yang niscaya dijawab adalah: apakah penyakit bangsa ini?

Hal itu terasa makin pantas dikemukakan karena akhir-akhir ini kian terhayati betapa keindahan, citra yang baik, kesantunan, ketenangan, dan ketertiban yang begitu tampak dan sengaja ditampakkan di permukaan kehidupan bangsa ini terasa tidak memiliki landasan substansi yang congruent (sejalan dan serasi) dengan semua penampilan hebat di permukaan itu.

Penampilan hebat para pemimpin, yang terkesan lebih bersih dibandingkan dengan penguasa yang lampau, tidak kongruen dengan kemewahan mobil dinas yang dijatahkan melalui prosedur yang ”bersih”, dalam arti diwujudkan tanpa melanggar peraturan atau undang-undang apa pun. Peraturan atau undang-undang disiasati dan dijadikan siasat untuk melakukan sesuatu yang menguntungkan diri sendiri.

Kemenangan gemilang dalam pemilihan umum begitu mengesankan dan pada awalnya sangat membanggakan. Namun, George Junus Aditjondro dalam bukunya, Membongkar Gurita Cikeas, dapat meredupkan kegemilangan, kesan hebat, dan kebanggaan yang sebelumnya begitu mencuat. Bisa saja orang mengatakan, benang-benang gagasan George Aditjondro tentang jejaring korupsi itu ngawur atau bersifat memfitnah, tetapi jika pikiran bening digunakan untuk membaca buku itu, dan reputasi serta rekam jejak sang penulis buku dipertimbangkan, dapat dirasakan betapa setidaknya sebagian kandungan buku George Aditjondro dapat dijadikan masukan dan kritik bagi para penguasa untuk mawas diri.

Namun, yang terlihat dalam kenyataan justru sikap defensif yang intinya adalah aksi asal membela diri. Pidato dan bantahan didengungkan, bahkan kegiatan membantah mencapai tingkat begitu sengit. Salah satu pembantah cerdik memainkan strategi playing victim dan mengadu ke polisi karena merasa dirinya dizalimi sang penulis, bukan saja secara tertulis, tetapi juga secara fisik.

Memalukan

Panitia Khusus DPR tentang Hak Angket Bank Century yang sedang berusaha memberikan penampilan mengesankan bagi rakyat di sana-sini dibercaki beberapa serpihan peristiwa memalukan, seperti pertengkaran antaranggota Pansus seputar ihwal yang sama sekali tidak penting jika ditinjau pada perspektif penyelidikan kasus Bank Century. Dalam pertengkaran terlontar kata-kata kasar, seperti ”bangsat”, dan terluapkan emosi keras penuh amarah.

Ini sungguh incongruent (berlawanan) dengan kesan santun, segalanya serba terukur, tenang, baik, necis, dan tertib yang sela- ma ini begitu diandalkan di permukaan. Tanya-jawab dalam sidang-sidang Pansus pun mengguratkan kesan bahwa tokoh-tokoh yang tampil, apa pun jabatannya, seperti apa pun reputasinya selama ini, ternyata suka berkelit dengan kerap bilang ”tidak tahu” untuk membela dirinya sendiri. Ini tentu incongruent dengan kewajiban mereka sebagai pejabat berintegritas.

Mungkin penyakit bangsa ini adalah inkongruensi (incongruence). Inti inkongruensi adalah ketidakjujuran dan ketidaktulusan. Di balik inkongruensi bersarang kepentingan diri sendiri. Manusia mengejawantahkan inkongruensi karena dia mementingkan dirinya sendiri, berbuat untuk dirinya sendiri, bukan berbuat untuk kepentingan orang lain. Memang tidak ada manusia yang dapat melarang seseorang untuk bersikap inkongruen. Namun, di tengah masyarakat dan bangsa selalu ada orang-orang tertentu yang dipilih oleh hamparan luas warga untuk menjalankan suatu jabatan publik atau untuk jadi pemimpin. Orang-orang tertentu itu disebut pejabat publik dan pemimpin. Tugas mereka adalah melayani kepentingan orang-orang di luar diri mereka sendiri, bukan melayani kepentingan diri sendiri. Mereka seyogianya kongruen dan konsisten.

Kini bangsa ini masih kurang memiliki pejabat publik dan pemimpin yang kongruen. Mudah-mudahan para pejabat publik dan pemimpin itu mau bermawas diri dan menjadi makin kongruen. Namun, sungguhkah bangsa ini suka dengan pemimpin yang kongruen?

Anda mungkin masih ingat betapa Gus Dur adalah pemimpin yang selalu menomorsatukan kepentingan orang-orang lain dan berani mengorbankan kepentingan dirinya sendiri. Gus Dur adalah pemimpin yang kongruen. Namun, Gus Dur tampil begitu saja dengan celana pendek dan baju seadanya di teras Istana, melambaikan tangan buat hamparan rakyat di hadapannya. Dan, apa yang terjadi kemudian? Orang-orang mengecam perbuatan Gus Dur itu.

Mungkin bangsa ini memang lebih suka pada inkongruensi yang dibungkus penampilan bagus ketimbang kongruensi yang tidak terlalu peduli penampilan di permukaan. Seluruh warga bangsa pun perlu mawas diri.

Limas Sutanto Psikiater Konsultan Psikoterapi; Wakil Presiden Asia Pacific Association of Psychotherapists; Tinggal di Malang

Belajar dari India

Ivan A Hadar | Opini | Kompas | 16 Januari 2010

Menjelang tahun 2010, setiap pejabat negara setingkat menteri serta pemimpin lembaga tinggi negara diberi mobil mewah Toyota Crown Royal Saloon 3.000 cc. Terasa ironis sebab waktu pemberian mobil bertenaga besar dan boros BBM itu nyaris bersamaan dengan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa Indonesia bertekad mereduksi emisi karbon hingga 26 persen pada 2020. Juga ironis mengingat tekad pemerintah untuk berhemat.

Menurut Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, penggantian mobil dinas seharga 1,3 miliar rupiah per unit itu dianggarkan dalam APBN 2009 sesuai dengan program pemerintah yang telah disetujui DPR periode lalu. Ada dugaan, anggaran mobil dinas itu mungkin diambil dari subsidi pemerintah bagi rakyat miskin. Ya, semacam pelimpahan anggaran, berupa pengurangan subsidi untuk dianggarkan menjadi fasilitas pejabat negara (Kompas, 30/12/2009).

Banyak yang menyesali dan merasa ”kado akhir tahun” untuk para menteri dan pejabat tinggi negara ini melukai rasa keadilan, terutama bagi mereka yang selama ini berkubang dalam kemiskinan. Kenyataannya, masih lebih dari 35 juta rakyat negeri ini tergolong miskin. Penganggur pun masih sangat banyak. Kesenjangan melebar pula, terlihat dari kemerosotan indeks pembangunan manusia (IPM), dari posisi ke-109 (dari 179 negara) pada 2008 menjadi ke-111 pada 2009. Anjloknya IPM menunjukkan bahwa kualitas kesehatan, pendidikan, dan pendapatan per kapita sebuah negara memburuk.

Berbarengan dengan berita itu, wartawan Kompas dalam ”Laporan dari India” menulis keteladanan pemimpin India yang menjadi perekat harmoni sosial. Para pemimpin negeri Mahatma Ghandi ini, termasuk presidennya, tetap menggunakan mobil buatan dalam negeri. Juga tak ada kemegahan kantor-kantor pemerintahan karena yang dipentingkan adalah fungsi (Kompas, 29/12/2009).

Kelompok miskin pedesaan

Pada Pemilu 2009, Partai Kongres India meraih suara terbanyak berkat sebuah program jaminan pekerjaan bagi kelompok miskin pedesaan. Program yang dimulai pada tahun 2005 dengan nama National Rural Employment Guarantee Act 2005 (NREGA) ini memberikan jamin pekerjaan (fisik) kepada semua rumah tangga di daerah pedesaan selama 100 hari per tahun.

Di mancanegara memang terdapat cukup banyak contoh program sejenis. Bedanya, NREGA berangkat dari tingginya kemauan politik pemerintah—berupa jaminan hukum—serta didasari pada kebutuhan riil masyarakat. Panchayat, lembaga pedesaan yang anggotanya dipilih secara demokratis, mengembangkan kerangka pengadaan kerja sehingga dananya tidak jatuh ke tangan pengusaha. Gaji pun diberikan dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan rata-rata tingkat gaji di pasar tenaga kerja.

Manfaat program ini sangat dirasakan rakyat miskin pedesaan, yang biasanya terpaksa menerima pekerjaan apa saja dengan tingkat gaji di bawah standar. Dampak positif lain: perbaikan mendasar infrastruktur pedesaan dan berkurangnya arus urbanisasi. Di Negara Bagian Bihar, NREGA berhasil memobilisasi sekitar 44 persen penduduknya (3 juta jiwa) yang berasal dari 7.500 desa untuk menanam lebih dari satu miliar pohon dalam waktu tiga tahun. Sebuah pencapaian puncak yang menjadi rekor dunia.

Program ini mendahulukan mereka yang berada pada strata terbawah orang miskin, terutama lansia, mereka yang cacat, dan janda. Satu kelompok terdiri atas empat keluarga; mereka diwajibkan menanam 200 pohon, termasuk pohon buah-buahan, dan merawatnya selama tiga tahun. Mereka memperoleh gaji ketika pada akhir tahun ketiga 90 persen pohon bertahan hidup. Dalam aturan NREGA, setiap pekerja dibayar 2 dollar AS per hari selama 100 hari dalam satu tahun.

Keberhasilan NREGA adalah membuat Komnas Pengusaha Informal India melakukan penelitian dan mengajukan rekomendasi kepada pemerintah federal untuk menerapkan program sejenis di daerah perkotaan.

Permulaan

Harus diakui, NREGA barulah sebuah permulaan dalam upaya memberantas kemiskinan. Bagi sebuah negara besar seperti India, dan juga Indonesia, persoalan yang dihadapi terbilang kompleks. Namun, arah kebijakan yang jelas adalah sebuah keharusan. Beberapa dasawarsa lalu pembagian pemilikan tanah secara merata menjadi salah satu pekerjaan rumah besar dalam upaya memberantas kemiskinan di pedesaan. Kini persoalannya semakin menjelimet mencakup penerapan jaring pengaman sosial, pemberian akses ke pendidikan, kesehatan, dan perumahan.

Pendidikan dan keterampilan menjadi sangat penting untuk membuka akses bagi penghasilan orang miskin. Menurut Amartya Sen, daripada memacu pertumbuhan makroekonomi, pemerintah sebaiknya memerhatikan persyaratan yang lebih adil terkait pembukaan lapangan kerja dan gaji bagi orang miskin yang dijamin oleh undang-undang.

Seruan penanaman satu miliar pohon per tahun yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono baru-baru ini ditanggapi skeptis oleh banyak kalangan. Pengalaman selama ini: imbauan sejenis kurang mangkus. Pemerintah memang selalu mengaku berhasil menanam jutaan pohon, tetapi tidak jelas di mana lokasinya, jenis tanamannya, luas, hingga proses secara keseluruhan.

Sejarah tanam pohon di Indonesia sejak puluhan tahun lalu dianggap sebagai cerita kegagalan. Logikanya, kalau berbagai jenis program tanam pohon berhasil, semestinya tahun ini merupakan waktu panen hasil tanam pohon tahun 2003. Pada waktu itu, sebagian gerakan rehabilitasi hutan dan lahan fokus pada penanaman pohon berumur pendek, seperti sengon.

Seruan penanaman satu miliar pohon juga dituding sebagai politik kamuflase atas kebijakan sektor kehutanan yang eksploitatif. Di satu sisi, Indonesia ingin dicap sebagai negara ramah lingkungan, di sisi lain hutan alam terus dibuka untuk kepentingan industri dan perkebunan.

Menurut data Walhi, berdasarkan rencana tata ruang daerah terakhir, sekitar 17,91 juta hektar hutan sekunder dan primer akan dibuka untuk pembangunan di luar sektor kehutanan. Sementara itu izin pemanfaatan 44 juta hektar kawasan hutan produksi disiapkan dalam tahun 2010-2014.

Tak heran, aktivis lingkungan lebih menyarankan melakukan moratorium penebangan hutan. Idealnya, selain moratorium, tak ada salahnya kita belajar dan menerapkan pengalaman India menggabungkan upaya berantas kemiskinan dan benah infrastruktur pedesaan serta perbaikan lingkungan lewat penanaman satu miliar pohon. Semoga!

IVAN A HADAR Ko-Pemimpin Redaksi Jurnal Sosial Demokrasi Indonesia dan Asia

14 January 2010

Bolshevism and Stalinism

An avalanche of books has recently been published to discredit Lenin, Trotsky and the Russian Revolution. First and foremost of these writers is Professor Robert Service. The aim of his latest book on Trotsky is to prove that Bolshevism leads to Stalinism and totalitarianism. Here Rob Sewell sets the record straight and explains the huge gulf that divided genuine Bolshevism from the monster of Stalinism that was built on the physical destruction of the Bolshevik party

by Rob Sewell | In Defense of Marxism | 13 January 2010

The history of the Russian Revolution is intimately associated with the names of Lenin and Trotsky, its two great leaders. They attracted all the praise and they bore all the hatred. The reason for this is not difficult to understand. The October Russian Revolution, led by the Bolshevik Party, was the greatest event in history. For the first time, the workers and peasant took power into their hands, swept aside the landlords and capitalists, and proceeded to organise a democratic workers’ Soviet Republic. The authority of the new Soviet government rested upon a congress of soviets (workers’ committees) elected from factories and barracks.

Leon Trotsky

Leon TrotskyLeon Trotsky, who was a political giant, built and led the Red Army from scratch. After Lenin’s death, it was Trotsky who led the struggle against Stalinism, for which he paid the ultimate price by his murder in 1940 at the hands of a Stalinist agent.

Over the recent period there has been an avalanche of books published to discredit Lenin, Trotsky and the Russian Revolution. First and foremost of these writers is Professor Robert Service, the author of several books, including one on Lenin and another on Stalin.

His latest book is a biography of Trotsky, which is an attempt to link all three figures and bind them to the crimes of Stalin. This amalgam is not a new method. Its aim is to prove that Bolshevism leads to Stalinism and totalitarianism and must be condemned in equal measure.

Anti-Communism

Professor Service comes from that breed of historians and intellectuals whose stock in trade is anti-communism. The task of these well-paid academics is to discredit Marxism, communism and revolution in general. Despite all the talk of “objectivity”, Service’s latest book contains nothing that is original, and is a rehash of all the old slanders and gossip against Leon Trotsky, one of the greatest revolutionary figures in history.

Robert Service dismisses Trotsky’s own autobiography, ‘My Life’, as well as the sympathetic and highly acclaimed biographies written by Isaac Deutscher and Pierre Broué, which contain, according to him, “highly disputable judgements”. Service wishes to “correct” these judgements with his own twisted conclusions.

Service is incapable of understanding history through the interaction of leaders, parties, classes and groups. He superficially reduces the historic struggle between Trotsky and Stalin as a personal or even psychological struggle, devoid of any class content or interests. “Stalin outplayed him. Trotsky did not go down to defeat at the hands of ‘the bureaucracy’: he lost to a man and a clique with a superior understanding of Soviet public life.” (p.4). This is to reduce historical events to trivia. Trotsky’s defeat is explained simply by personal failings and not by objective forces.

Liberal dilettantes, such as our learned professor, have never been able to understand revolutions or counter-revolutions. For them, such episodes are “excesses” or “accidents” that have deviated from the “normal” course of history. However, a revolution does not simply fall from the skies. Liberal bourgeois thought is incapable of understanding the movement of the masses and those who put themselves on the standpoint of the working class, as in the case of Lenin and Trotsky. Service could never understand Trotsky or what motivated him, his strengths and weaknesses. His motivation is simply to discredit Trotsky and the ideas he represents.

We are forced to leave aside every calumny thrown against Lenin and Trotsky, as these would require a book to answer. We have chosen to concentrate on the key questions raised by Service. According to the Professor, “Without Lenin, furthermore, Stalinism in the Soviet Union would have been impossible...” (Lenin: A Political Life, vol.3, p.xix). This is the crux of the matter. Were Lenin’s and Trotsky’s methods in essence no different from those of Stalin? Does Bolshevism lead to Stalinism? What was the struggle between Trotsky and Stalin all about?

The answers to these questions cannot be found in individual traits or personal combinations, although they play a certain role, but in the complex relationships between classes and different social layers and the objective conditions that predominate at the time.

Lenin’s and Trotsky’s lives were bound up with the revolutionary struggles of their age: the fight against tsarism, the development of Russian Marxism, the 1905 Revolution, exile, the war years, the revolutions of 1917, the conquest of power, and the founding of the Communist International. Trotsky lived on in the fight against Stalinism and the preparation for a new revolutionary international.

Revolutionary Struggle

In his outstanding autobiography, ‘My Life’, Trotsky explained “Thus I know well enough, from my own experience, the historical ebb and flow. They are governed by their own laws. Mere impatience will not expedite their change. I have grown accustomed to viewing the historical perspective not from the standpoint of my personal fate. To understand the causal sequence of events and to find somewhere in the sequence one’s own place – that is the first duty of a revolutionary. And at the same time it is the greatest personal satisfaction possible for a man who does not limit his tasks to the present day.”

Trotsky’s fall from power after Lenin’s death did not represent personal ineptitude but the changed relation of class forces in Russia and internationally. The victory of Stalin reflected the isolation of the revolution in a backward country, surrounded by hostile forces.

In Robert Service’s account of October, which he typically regards as a “coup”, there is one essential ingredient missing – the role of the masses on which the revolution is based. In the aftermath of the revolution, Service concludes “Most people in Russia and the rest of the world regarded the Bolshevik leadership as a gang of wild incompetents who could never sustain themselves in power.” (Service, Trotsky, A Biography, p.189). This is the view of the ruling classes, which Service takes as representing “most people”, but certainly not of the international working class which rallied to the cause of the Russian Revolution.

“Bolshevism,” explained Victor Serge, “is the unity of word and deed. Lenin’s entire merit consists in his will to carry out his programme... Land to the peasants, factories to the working class, power to those who toil. These words have often been spoken, but no one has ever thought seriously of passing from theory to practice.” (From Lenin to Stalin)

This was the essence of the revolution. In the civil war and imperialist intervention, the main aim of the imperialists was the violent overthrow of the revolutionary government and the murder of its leaders. In August 1918, a Social Revolutionary (member of the peasant party) shot and nearly fatally wounded Lenin. Trotsky was also the target of repeated assassination attempts by the White generals.

The first Soviet Constitution guaranteed every freedom for the workers. There was no thought whatsoever of a totalitarian state. All political parties, including the capitalist parties, were free to operate, accept for the fascist Black Hundreds. There was complete freedom of discussion and debate within the Communist Party. On the issue of the Brest-Litovsk proposals to sign a predatory peace treaty with Germany in 1918, for instance, Lenin was in a minority. He put forward the proposal that every group of citizens supported by 10,000 – 15,000 workers should have to right to issue their own paper if they wanted, the only way to democratise the press.

The October Revolution was largely a peaceful affair. “Hardly anyone was arrested”, noted Serge, “and those who were, were soon released. Among these were Krasnov, Ataman of the Cossacks, who took advantage of our leniency to start a civil war in the Don country – and Purishkievich, the anti-Semite leader.” (Ibid) The revolution was still very naive. As soon as these reactionaries were released they immediately took up arms against the workers’ state.

The first Soviet government was a coalition between Bolsheviks and Left Social Revolutionaries, a left wing split off from the Social Revolutionaries. This only came to an end when the Left SRs joined the Mensheviks and other counter-revolutionaries, and took up arms against the government. Only after the summer of 1918 did the revolution hit back in self-defence. Trotsky organised the Red Army in order to defend the revolution.

Leon Trotsky addresses Red Army troops during the Civil War, 1918

Leon Trotsky addresses Red Army troops during the Civil War, 1918“Lenin and Trotsky had become the Siamese twins of Russian politics”, states Service, “being joined at the hip in their determination to use ruthless measures including state terror against enemies.” (Trotsky, a biography, p.190). However, in a situation of civil war and imperialist intervention to overthrow the Soviet government, what were they to do, simply fold their arms and pray the counter-revolution would go away?

The counter-revolutionary White forces, backed by 21 foreign armies, took most of the country and carried out wide-scale atrocities against the workers and peasants. At one stage, the Soviet government only controlled Moscow and the surrounding area. The fate of the revolution was hanging by a thread. Trotsky succeeded in turning the situation around, but at enormous cost. War production and famine necessitated rationing in the cities and requisitioning in the countryside. This is the period of “war communism”, where everything was directed unavoidably to the war effort and military defence of the Soviet Republic.

Kronstadt Mutiny

This served to stretch things to the absolute limit. Relations between the peasants and the workers, the cornerstone of the revolution, reached breaking point. Peasant uprisings broke out in 1920 and early 1921. At this time the Soviet government was faced with a naval mutiny in Kronstadt. They had no alternative after negotiations broke down but to crush the rebellion. Failure to do so would have opened the door to military intervention against Petrograd. These Kronstadt sailors were not the same revolutionary sailors of October 1917, but new peasant conscripts under the influence of the counter-revolution. With the end of the civil war, the New Economic Policy was introduced to placate the peasants, allowing them to sell their surplus produce, which succeeded in bringing stability to the countryside.

In this life or death situation, the Bolsheviks had no alternative but to take emergency defensive measures. Incidentally, the same was true of Cromwell’s actions in defence of the English revolution against the Royalist reaction, or Robespierre’s defence of the French revolution against the feudal regime, or the measures of the Northern states against the slave-owning owners in the American civil war. “A party which had seemed doomed to defeat in mid-1918 triumphed by dint of determination, organisation and leadership”, admits Service. (Trotsky, a biography, p.245). But then goes on to attack such measures as “ruthless” and “terror against its enemies”.

The overthrow of the Soviet government would not have brought with it liberal democracy, but the military fascist dictatorship of the White generals. That was the alternative to Soviet power that the imperialists desired.

The Bolsheviks, while defending the revolution at all costs, never believed the revolution could be sustained for any length of time in a backward country like Russia. The fate of the Soviet regime depended upon the world revolution. Lenin believed that if the isolation was not broken, the Russian revolution would be doomed. He was prepared to sacrifice everything for a successful revolution in Germany. The only thing they could do was to hold on as long as possible until help arrived from the west. As we saw, the revolution did not collapse as Lenin had feared, but suffered a bureaucratic degeneration in the form of Stalinism.

Stalinism – the opposite of Bolshevism – grew precisely out of these objective conditions of isolation and terrible backwardness. After the civil war, the economy was completely shattered. The country was ruined and subject to famine and disease. The working class had become atomised. “The terrible crises and the closing down of factories have compelled people to flee from starvation”, wrote Lenin. “The workers have simply abandoned their factories; they have had to settle down in the country and have ceased to be workers.” (Collected Works, vol.32, p.199)

The introduction of the New Economic Policy in 1921 was a retreat, which gave concessions to the market. It saw the revival of capitalism in Russia, together with the merchant, petty employer, rich peasant and black marketer. This went hand in hand with the growth of bureaucratism in industry, the state and even the Bolshevik Party. Stalin, who was a secondary figure in the revolution, became the spokesman for this new social layer that was elbowing aside the working class.

State Apparatus

“Our state apparatus is so deplorable, not to say wretched, that we must think very carefully how to combat its defects”, complained Lenin. (Collected Works, vol.33, p.487). Things became so bad that Lenin and Trotsky formed a bloc in 1922 to fight the menace of bureaucracy. This struggle led to Lenin breaking off all personal relations with Stalin. Lenin stated he was preparing a “bomb” against Stalin. Finally, in his last ‘Testament’ Lenin recommended the Stalin be removed as General Secretary of the Communist Party and recommended Trotsky “as the most able man on the Central Committee”.

The wishes of Lenin’s Testament were not carried out due to the personal intrigues of both Kamenev and Zinoviev, who had made a rotten pact with Stalin to keep Trotsky out of power. Here we see the pernicious role of spite in politics and its unforeseen consequences.

Lenin’s death in January 1924 coincided with the defeat of the German revolution, which provided a double blow to the morale of the Russian workers. At this time, only one percent of the members of the Bolshevik Party had held a party card before March 1917. Many of the advance workers and communists had perished in the civil war. After these blows, through the agency of Stalin, the bureaucracy took control of the party and state apparatus. The weight of the Nepmen (petty capitalists created by the New Economic Policy) and kulaks (rich peasants) grew exponentially. The pressure of these hostile class forces fed into the party through the rising bureaucracy.

In late 1924, Stalin came forward with his anti-Marxist theory of ‘Socialism in one country’, which reflected the conservative outlook of the bureaucracy. This represented a complete break with the perspective of world revolution as put forward by Lenin. It also coincided with a campaign to discredit Trotsky who had established a Left Opposition in 1923 to restore party democracy.

Trotsky defended the position of revolutionary Marxism against the growing revisionism of Stalin. While Trotsky’s support rested upon the revolutionary workers, Stalin’s was based upon the bureaucratic reaction, the millions of petty officials, former tsarist functionaries, tsarist officers, bourgeois intellectuals, and so forth, who made their living in the apparatus of state, industry and party. Stalin became the “chief” of this caste, which now had its own material interests to defend. In 1926, when Lenin’s widow Krupskaya was close to the Opposition, she stated “If Lenin were alive today he would now be in prison.”

“Whoever understands history even slightly knows that every revolution has provoked a subsequent counter-revolution which, to be sure, has never completely thrown the nation all the way back to its starting point in the sphere of the economy but has always taken from the people a considerable part, sometimes the lion’s share, of its political conquests”, explained Trotsky. “And the first victim of the reactionary wave as a general rule is that layer of revolutionaries which stood at the head of the masses in the first period of the revolution, the period of the offensive, the ‘heroic’ period. This general historical observation should lead us to the idea that the matter is not simply one of the skill, the cunning, or the art of two or a few individuals, but of incomparably more profound causes.” (Trotsky - Writings 1935-36, p.171)

Stalin’s Revisionism

The years of hardship and defeat had borne down heavily upon the Russian masses. As the bureaucrats grew in power and insolence, the voice of the revolutionary workers became weaker. While the Bolshevik-Leninists around Trotsky drew to their banner tens of thousands of the best revolutionary fighters, and gathered sympathy from the advanced workers, this sympathy remained passive. They were exhausted and only a victory internationally could have stirred them into life. Meanwhile, the Stalinist bureaucracy railed against “permanent revolution” internationally and unnecessary upheaval at home. “We will build the socialist society in Russia!” they proclaimed. This found an echo in the weary and backward masses, which served to isolate the Bolshevik vanguard. “Therein lies the secret of the victory of the bureaucracy”, explained Trotsky. “Power is not a prize which the most ‘skilful’ win. Power is a relationship between individuals, in the last analysis between classes.” (Ibid, pp.176-77).

Dominant Position

Stalin used his dominant position to expel and exile Trotsky from the Soviet Union. By the mid-1930s, despite all the capitulations of former oppositionists around Zinoviev and Kamenev, Stalin decided to eliminate physically all those connected with the October revolution. The developing revolution in Spain was threatening to rekindle the enthusiasm of the Russian masses. This would have sounded the death-knell of the bureaucracy. As a result, Stalin waged a one-sided civil war against the Old Bolsheviks. This culminated in the purge trials of 1936-8, where those associated with October were physically eliminated. Millions perished in the camps and cellars of the secret police. For those who say, as Service does, that Bolshevism leads to Stalinism, we say that on the contrary, a river of blood separated Stalinism and Bolshevism.

The only way Stalinism could consolidate its rule was over the corpses of those communists and Trotskyists who remained true to the ideals of October. Trotsky fought Stalinism to the death. He refused to capitulate, as this would only serve to discredit the ideas of Marxism. Trotsky paid for this with his life.

Clean Banner

Despite all the terrible odds, and the murder of his close family and collaborators, Trotsky continued to defend the clean banner of Marx and Lenin against the horrors of Stalinism right up to the bitter end. The likes of Professor Service are repelled by this. Even Deutscher failed to understand the real Trotsky, believing he should simply concentrate on writing and not bother himself with organising the forces of a new revolutionary international. However, Trotsky regarded this task as the most important work of his entire life.

Despite the death of Trotsky, his ideas live on. The collapse of Stalinism, which he predicted, and the global crisis of capitalism, will once again make these ideas the most attractive ideas in the world.

“Time was when Trotsky was a frequent topic of public discussion at least outside the USSR. Those days are gone”, states Service. However, in today’s crisis, things are changing. There is a renewed interest in Lenin, Trotsky and their ideas. It is for this reason that Service has published his books. But they will have little effect.

We should study Trotsky’s writings, alongside other great teachers of Marxism, which are a treasure house of experience and theory. With these, the new generation can find the way forward in the eventual overthrow of capitalism and the establishment of world socialism. As for the likes of Professor Service, in the words of the Bible, let the dead bury the dead.

13 January 2010

Demokrasi dan Suara Belalang

KOMPAS cetak - Demokrasi dan Suara Belalang

Senin, 11 Januari 2010 | 03:23 WIB

Antonius Cahyadi

”So, is there life after democracy? & hellip; The question here, really, is what have we done to democracy? What have we turned it into? What happens once democracy has been used up? When it has been hollowed out and emptied of meaning?”

(Arundhati Roy, Listening to Grasshoppers, Field Notes on Democracy).

Di hampir pengujung akhir tahun 2009, Arundhati Roy menerbitkan buku yang merupakan kumpulan esainya tentang demokrasi. Judul bukunya, Listening to Grasshoppers, Field Notes on Democracy. Salah satu esai dalam buku itu yang berjudul sama dibawakan di Istanbul, 18 Januari 2008, untuk memperingati kematian Hrant Dink, jurnalis Armenia yang dibunuh di Istanbul, Januari 2007, karena mencoba mengungkap tragedi yang dialami orang-orang Kristen Armenia pada masa kekaisaran Ottoman tahun 1915.

Di bagian lain bukunya, Roy menggambarkan bagaimana perjuangan orang-orang Kashmir, tergambar lewat civil disobedience pada tahun 2008, memperoleh tekanan yang begitu berat dan sistematik. India berhadapan dengan Muslim Kashmir.

Dalam catatan Roy, demokrasi seperti kehabisan dayanya ketika berhadapan dengan fakta pluralitas masyarakat negara yang diformanya, lebih-lebih ketika demokrasi berhadapan dengan agama. Pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat dan kepala pemerintahan menjadi tolok ukur yang banal atas demokrasi. Demokrasi justru menjadi alat untuk mematikan suara rakyat (vox populi). Suara demokrasi justru menjadi suara kerumunan belalang yang menandakan akan adanya bencana. Persis ketika setelah ibunda Hrant Dink yang di tahun 1915 berusia 10 tahun mendengar suara kerumunan belalang di desanya, Dubne, tragedi pembantaian di Armenia itu terjadi. Maka, Roy bertanya dengan memetaforakan suara belalang dan bencana. Adakah kehidupan setelah democracy (yang bagi Roy telah menjadi demon-crazy)?

Kecemasan

Demokrasi memberikan harapan kepada masyarakat manusia yang terbentuk dalam sebuah negara karena pemerintahan negara dijamin dilakukan oleh rakyat. Makna rakyat yang pada zaman pencerahan kemudian diidealisasi sebagai individu yang memiliki otonomitas dan kedirian, atau manusia sebagai subyek, dikawal oleh hukum. Hukum menjamin warga negara berpartisipasi dalam pengelolaan negara. Warga negara oleh demokrasi dan hukum dipandang sebagai subyek yang bermartabat.

Namun, cita dari demokrasi semacam itu yang tidak ditemukan oleh Roy dalam demokrasi riil. Demokrasi dengan hukum formalnya menjadi demokrasi performatif yang sekadar mementingkan penampilan fisik semata dalam pemilu yang seakan-akan ”jurdil” dan pers yang seolah-olah merdeka. Hukum yang memang pada dirinya berorientasi ketertiban menjadi alat untuk melegitimasi adanya demokrasi performatif.

Demokrasi dan hukum zaman pencerahan yang diadopsi oleh negara memiliki persoalan. Bagaimana meletakkan kemanusiaan (manusia sebagai subyek yang otonom) yang baru saja lahir berhadapan dengan negara? Trauma Revolusi Perancis membuat ruang publik sebagai domain keberadaan negara disterilkan dan dinetralkan dari agama (berikut religiositas yang ikut membentuk kemanusiaan kita). Dalam perjalanan waktu, negara melalui demokrasi dan hukum menyingkirkan kemanusiaan. Negara tidak dapat hidup berdampingan dengan kemanusiaan dalam ruang publik yang seharusnya dijaga oleh demokrasi dan hukum.

Apabila Roy menyaksikan negara India lewat demokrasi dan hukum yang diisi oleh nasionalisme Hindu dan developmentalism yang pro-pasar sehingga menyingkirkan kaum Muslim, Kristen, Sikh, dan Dalits, kita melihat bahwa di masa Orde Baru demokrasi Pancasila menyingkirkan orang-orang kiri, kaum penghayat, dan orang-orang kritis. Ironisnya, negara Orde Baru melakukan itu seperti seolah-olah menjawab tantangan pencerahan dengan menyakralkan ruang publik. Pancasila yang maknanya begitu dipersempit menjadi kanal untuk meletakkan kemanusiaan bersandingan dengan negara.

Harapan

Runtuhnya sosialisme sebagai ideologi negara, tragedi 11 September, serangan di Mumbai, dan—untuk kita—reformasi, sebenarnya menjadi momen-momen untuk kembali mempertemukan negara dan kemanusiaan dalam ruang publik yang dijaga oleh demokrasi dan hukum. Momen-momen itu juga sekaligus menandakan bahwa negara tidak lagi bisa dibayangkan sebagai sebuah entitas yang absolut. Negara oleh masyarakat manusia yang menjadi rahim kelahirannya ditantang untuk melihat manusia sebagai subyek yang menghidupinya dalam peristiwa sehari-hari yang begitu sederhana.

Skandal Bank Century yang terungkap, koin untuk Prita, dan banyak fenomena people power lainnya merupakan manifestasi gugatan terhadap kekuasaan absolut negara. Di sisi lain, kasus bunuh diri yang beberapa kali kita saksikan merupakan tanda bahwa ruang publik kita tidaklah semanusiawi yang kita bayangkan selama ini. Negara dengan mekanisme pasarnya telah begitu beringas mengonsumsi kemanusiaan kita sebagai subyek otonom yang dicita-citakan.

Lewat peristiwa dalam hidup keseharian kita, misalnya yang termanifestasi dalam jejaring sosial virtual yang kita miliki, negara diingatkan untuk kembali mendengarkan vox populi sebagai suara rakyat. Dalam suara rakyat terkandung suara kemanusiaan yang mencari jalannya untuk didengarkan. Seperti suara kerumunan belalang, suara rakyat ingin memberitahukan sesuatu kepada negara tentang kemanusiaan di ruang publik yang seharusnya dijaga oleh negara dengan demokrasi dan hukum.

Antonius Cahyadi Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia; Kandidat Doktor dalam Bidang Socio Legal Studies di Van Vollenhoven Institute, Faculteit der Rechtgeleerdheid, Universitas Leiden, Belanda