03 January 2006

Bulan Madu Perbukuan Mulai Meredup

oleh Anung Wendyartaka
Dimuat di Kompas, Sabtu, 17 Desember 2005


Sinyal meredupnya bulan madu dunia penerbitan belakangan ini mulai tampak. Kesan melambatnya laju pertumbuhan penjualan buku karya para penerbit di dalam negeri mulai terasa dua tahun terakhir ini. Sangat kontras jika dibandingkan dengan luapan gairah penerbitan tahun-tahun sebelumnya, semenjak era reformasi bergulir.

Tak ayal, memasuki hari-hari di penghujung tahun ini target pertumbuhan penjualan per tahun yang dicanangkan sebelumnya oleh sebagian penerbit semakin sulit terkejar. Padahal, menjajaki tahun mendatang awan kelabu dengan mudah tertebak lantaran beban perekonomian yang dialami masyarakat pascakenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) kian menyengat. Dalam kondisi seperti ini, biaya produksi buku jelas membengkak. Parahnya, di sisi lain justru daya beli masyarakat menurun.

Mizan, kelompok penerbit asal Bandung, merasakan tanda-tanda kelesuan ini. Malah, dua tahun terakhir ini telah mengalami penurunan pertumbuhan yang signifikan. Angka pertumbuhan penjualan semenjak awal tahun 2004 hingga akhir tahun 2005 ini hanya mampu meraih sekitar 8 persen. Padahal, dalam kurun waktu lima tahun sebelumnya, kelompok penerbit yang awalnya lebih banyak berkecimpung menerbitkan buku-buku pemikiran agama Islam ini mencatat pertumbuhan tergolong fantastis, yakni 40 persen per tahun. Dua tahun terakhir ini memang omzet kita masih bertumbuh, tetapi pertumbuhannya tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, kata Novel, pimpinan Mizan Publika.

Menurunnya omzet penjualan buku ini ternyata juga menimpa penerbit papan atas lainnya seperti kelompok penerbit Gramedia. Menurut Nung Atasana, General Manajer Gramedia Pustaka Utama (GPU), tahun ini pertumbuhan penjualan GPU sekitar 10 persen. Dibandingkan dengan tahun lalu, tahun ini memang ada pertumbuhan, tetapi sedikit, tidak seperti yang kita bayangkan. Mungkin hanya sekitar 10 persen, bahkan di bawah 10 persen, kata Nung Atasana menjelaskan. Kendati masih mengalami pertumbuhan dalam penjualan, namun kecenderungan penurunan pertumbuhan dalam dua tahun terakhir ini bagaimanapun cukup membuat waswas penerbit. Bagaimana tidak, dengan angka pertumbuhan omzet di bawah 10 persen tahun ini, jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya yang rata-rata bertumbuh 25 persen per tahunnya, tentu mengundang kekhawatiran.

Stagnasi pertumbuhan omzet semacam ini ternyata juga dialami kelompok penerbit Agromedia. Padahal, kelompok penerbit ini dengan dimotori penerbit Gagas Media dan Kawan Pustaka dua tahun ini dikenal cukup menyodok perhatian perbukuan di Indonesia. Berkat produk buku-bukunya yang berselera pasar, keagresifan dalam berpromosi dan memasarkan produk, kelompok penerbit ini mampu mengubah peta penerbitan di Tanah Air. Hasilnya, kendati baru berdiri sejak tahun 2001 kelompok penerbit ini mampu menembus papan atas dunia penerbitan di Indonesia dengan produksi sebesar 50 judul buku per bulan. Namun, kendati perkembangannya cukup spektakuler, yakni rata-rata 100 persen tiap tahunnya, kini Agromedia grup juga terimbas perlambatan pertumbuhan omzet, setidaknya mulai pertengahan tahun 2005 ini. Kira-kira empat bulan terakhir ini pertumbuhan rada-rada mandek. Tumbuh tapi agak melandai, kata Antonius Riyanto pimpinan Agromedia Grup.

Kurang menggembirakan

Situasi kurang menggembirakan di dunia penerbitan buku ini ternyata tidak hanya dialami penerbit dari Jakarta atau Bandung saja, penerbit di Kota Yogyakarta pun mengalami hal yang sama. Salah satu penerbit mapan di Yogyakarta, Kanisius, dalam tiga tahun ini juga mengalami stagnasi dalam omzet. "Ya, dua-tiga tahun ini memang cenderung stagnan. Kami mengalami kenaikan itu hanya karena perubahan harga saja. Tahun 2005 ini lebih turun lagi dibandingkan tahun lalu. Itu yang kami rasakan, kata Sarwanto, Direktur Utama Penerbit-Percetakan Kanisius.

Bagi Kanisius, penurunan penjualan ini terutama terjadi pada buku-buku pertanian, budidaya, teknologi tepat guna, dan teknologi pengolahan pangan. Padahal, buku-buku jenis tersebut dulunya sempat menjadi andalan Kanisius selain buku agama dan buku pelajaran sekolah.

Gambaran adanya stagnasi di dunia penerbitan ini juga dirasakan oleh pengamat perbukuan Mula Harahap. Menurut Harahap, industri perbukuan di Indonesia memang sedang dalam situasi yang tidak menguntungkan. Gambaran penurunan itu karena dua hal. Pertama, daya beli masyarakat turun. Kedua, produksi buku terlalu banyak sementara saluran distribusi terbatas, kata tokoh perbukuan yang cukup lama malang-melintang menjadi pengurus Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi).

Ia mengungkapkan, berdasarkan informasi yang diperolehnya dari sebuah toko buku terkemuka di Jakarta, toko tersebut tiap minggunya paling tidak menerima sekitar 200 contoh judul buku baru. Sementara itu, tempat untuk display atau memajang buku tidak bertambah. Hal ini menyebabkan kesempatan sebuah buku baru dipajang di toko buku semakin kecil dan waktunya juga semakin pendek. Akibatnya, bisa dipastikan peluang sebuah buku bisa terjual juga semakin kecil.

Persoalan distribusi buku yang salah satunya disebabkan terbatasnya jumlah toko buku ini memang dikeluhkan hampir semua penerbit. Sekarang persaingan makin ketat. Banyak penerbit yang tumbuh. Namun, ruang yang tersedia di toko buku pertumbuhannya tidak besar. Jadi, tidak imbang antara pertumbuhan buku yang diterbitkan dengan tempat di toko buku. Hal ini terasa terhadap pembelian buku, kata Nung Atasana.

Minimnya jumlah toko buku memang sangat berpengaruh terhadap perkembangan industri buku di Tanah Air. Persoalan demikian disebabkan karena distribusi buku dari penerbit sebagian besar masih menggantungkan diri pada jaringan toko buku, seperti Gramedia, Gunung Agung, dan Karisma yang jumlah outlet-nya juga masih terbatas. Oleh karena itu, untuk mengurangi ketergantungan terhadap jaringan toko buku yang ada dan memperluas jaringan distribusi perlu dicari saluran-saluran distribusi baru.

Saat ini seharusnya adalah waktu yang pas. Judul buku semakin banyak, tetapi tempatnya tidak ada. Kalau dibiarkan, orang bisa berhenti bikin buku atau orang berhenti beli buku. Maka, saya bilang ke teman-teman penerbit supaya hal itu tidak terjadi, peluang membuka saluran distribusi buku baru harus diambil, kata Harahap menjelaskan. Salah satu alternatif distribusi baru yang diusulkannya adalah dengan membuka toko-toko buku kampus yang dikelola profesional sehingga mahasiswa kalau membeli buku tidak perlu jauh-jauh ke toko buku atau di lapak-lapak, tetapi cukup di lingkungan kampus.

Daya beli turun

Kecenderungan melesunya pemasaran buku tampaknya tidak selalu tertuju pada persoalan ruang pemasaran yang tersedia. Faktor turunnya daya beli masyarakat juga dituding sebagai persoalan penting penyebab turunnya omzet penjualan buku selain faktor distribusi dan produksi buku yang melimpah.

Saya amati di Bandung, biasanya selama bulan Ramadhan penjualan sangat tinggi, tetapi Ramadhan kemarin banyak penurunan, bahkan bulan-bulan sebelumnya juga sudah mulai turun. Ini sudah merupakan penurunan daya beli, kata Andi Yudha Asfandiyar General Manager Divisi Anak dan Remaja Mizan. Pengamatan Andi cukup meyakinkan. Membandingkan data penjualan antara tahun 2004 dan 2005 ini terhadap sebuah toko buku terbesar di Jakarta menguatkan hal ini. Jika di bulan Januari ataupun Juli, sebagai puncak pembelian buku, mampu terjual di atas 38.000 eksemplar, tahun 2005 pada bulan yang sama menjadi sekitar 36.000 eksemplar saja. Melihat data yang dihimpun dari dua jaringan toko buku besar di Indonesia pun menunjukkan adanya tren penurunan semenjak bulan Juli 2005. Informasi demikian menunjukkan kelesuan dari sisi pembaca.

Kelesuan pembelian buku bisa jadi merupakan penurunan daya beli masyarakat. Kondisi demikian diperparah lagi dengan naiknya harga BBM tahun 2005 ini sebanyak dua kali, dengan persentase kenaikan yang sangat tinggi. Barangkali ini memang karena kenaikan harga BBM sehingga daya beli anjlok. Padahal, buku bukan kebutuhan utama sehingga mungkin orang mengurangi jumlah pembelian buku, kata Antonius Riyanto.

Selain menurunkan daya beli, kenaikan harga BBM secara langsung juga memukul industri perbukuan karena pelaku-pelaku di industri ini akan semakin terbebani oleh biaya produksi dan pengeluaran yang semakin tinggi. Ujung- ujungnya, kenaikan biaya produksi membuat penerbit mau tidak mau memaksa menaikkan harga jual buku. Hal ini diperkirakan membuat buku menjadi relatif semakin mahal. (BIP/NCA/UMI)

No comments: