11 January 2006

Geliat Penerbit di Saat Sulit

Pertama kali dimuat di Kompas, Sabtu, 17 Desember 2005

Tidak dapat dimungkiri bahwa situasi ekonomi yang tidak menentu dengan meningkatnya biaya hidup dan disusul harga BBM melambung berdampak pada sektor ekonomi masyarakat. Salah satunya adalah menurunnya daya beli masyarakat, maka jika mereka harus membelanjakan uangnya sudah barang tentu diprioritaskan pada kebutuhan hidup yang primer. Bagi masyarakat Indonesia buku belumlah menjadi kebutuhan primer hingga belanja buku tidaklah semudah membeli makan siang, misalnya.

Industri penerbitan kini dihadang persoalan naiknya ongkos percetakan dan menurunnya daya beli masyarakat. Dua hal yang membuat penerbit kini berpikir ulang jika ingin melempar satu produk buku ke masyarakat. Seperti diungkapkan oleh Nung Atasana, General Manajer Marketing GPU, bahwa memilih topik buku yang tepat untuk situasi sulit saat ini harus dipikirkan secara matang. Penerbit pun tidak lagi harus berteguh pada tujuan awal mereka karena kini strategi yang lebih fleksibel harus dipikirkan dan dilakukan sedini mungkin karena mau tidak mau kebutuhan dan daya beli masyarakat harus menjadi pertimbangan utama.

Salah satunya adalah Mizan, yang kini mengkaji ulang tema buku yang akan mereka terbitkan. Jika sebelumnya Mizan cenderung menerbitkan buku-buku pemikiran, filsafat, dengan tujuan dapat memberi kontribusi dan membangun kemampuan serta cara berpikir masyarakat, kini penerimaan pasar lebih diutamakan. Menurut Novel, Vice Presiden Controller Mizan Publika, situasi sulit saat ini mengharuskan penerbit jeli melihat peluang pasar yang ada. Berkurangnya daya beli masyarakat dan situasi ekonomi yang sulit membuat masyarakat tidak mudah membeli buku. Jika pun tertarik pada suatu buku biasanya adalah buku yang membimbingnya melewati masa sulit seperti saat ini. Kami melihat buku yang terlalu serius, seperti filsafat dan pemikiran, akan sulit terjual. Tetapi, kalau buku panduan menghadapi situasi krisis saat ini akan lebih menarik masyarakat, lanjut Novel.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika penerbit memilih menerbitkan buku yang digemari masyarakat saat ini. Kisah remaja yang dikemas dengan bahasa populer, misalnya, menjadi pilihan penerbit buku Islam, seperti Gema Insani Press. Seperti diakui oleh General Manajer Gema Insani Iwan Setiawan bahwa kisah remaja bernuansa Islam yang mereka terbitkan cukup digemari dan laris di masyarakat.

Selain mempertimbangkan tema buku, penerbit juga menyiasati dengan membuka distribusi di luar jalur konvensional seperti toko buku. Gema Insani Press melakukan pendekatan melalui pengajian, pesantren ataupun sekolah agama Islam. Menurut Iwan Setiawan, penerbit itu berpromosi lewat sekolah dan pengajian serta bazar buku di kota-kota besar dan bahkan kini mereka masuk ke kota-kota kecil. Bagi Iwan, angka penjualan bukanlah tujuan utama ketika melakukan kegiatan promosi, tetapi mencoba agar merasa dekat dengan buku-buku Gema Insani.

Apa yang dilakukan oleh Gema Insani juga dilakukan oleh banyak penerbit lainnya, seperti yang dilakukan oleh 13 penerbit kecil di Yogyakarta dengan membentuk Jog Mart, yaitu suatu asosiasi pemasaran yang sengaja menggarap pasar-pasar yang selama ini tidak tersentuh oleh toko buku. Oleh salah seorang penggagas ide ini, Apri Dian, Kepala Bagian Pemasaran Jalasutra, adalah tidak mungkin jika pemasaran buku selalu bergantung pada toko buku. Maka, asosiasi tersebut melakukan pameran atau bazar buku di lapis kota kedua, yaitu kabupaten, kecamatan, pondok pesantren atau bahkan pemerintah daerah.

Aspek promosi pun menjadi ajang pertaruhan para penerbit. Strategi mempromosikan buku, apalagi yang harganya cukup mahal, menjadi pertimbangan utama ketika melempar buku tersebut di pasaran. Buku Financial Revolution karya Tung Desem Waringin, misalnya, mendapat sambutan luar biasa ketika baru diluncurkan terjual 10.000 eksemplar. Ketika buku itu diluncurkan, pembeli diberi hadiah dua buah CD dan seminar gratis jika membeli buku tersebut. Penerbitnya, GPU, pun mendapatkan penghargaan MURI. Selain itu, mendatangkan penulis buku panduan, seperti Steven Coffey, dalam suatu acara diskusi dilakukan, sedemikian akbar hingga Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pun hadir.

Tidak hanya aspek pemasaran, menghadapi tingginya biaya produksi pun tidak selalu menjadi kendala dalam menerbitkan buku. Biaya produksi membesar memang harus diikuti oleh permodalan yang memadai. Uniknya, bagi Gagas Media, permodalan dapat diatasi dengan ditanggung bersama. Hal itu dilakukan dengan menjual saham penerbitan kepada karyawannya, sebesar 10 persen gaji karyawan selama setahun. Selama ini penerbit ini telah menerbitkan beberapa buku dengan dana patungan bersama para karyawannya. Ternyata, situasi tertekan membuat para penerbit menjadi lebih kreatif dalam mempertahankan usaha.(UMI/WEN/BIP)

No comments: