03 January 2006

Mengapresiasi Jihad Ghulam Ahmad

oleh Muhammad Ainun Najib
Mahasiswa Progam Pascasarjan IAIN Sunan Ampel Surabaya

Resensi buku dimuat di Indo Pos, Minggu, 1 Januari 2006


Judul: Ghulam Ahmad: Jihad tanpa Kekerasan
Penulis: Asep Burhanudin
Penerbit: LKiS, Jogjakarta
Cetakan: I, Agustus 2005
Tebal: xvi +210 halaman


Barangkali tidak ada term keagamaan yang menyulut perdebatan panjang, kecuali term jihad. Terlebih lagi dengan jihad, terorisme memperoleh justifikasi, dan ini terjadi hampir dalam seluruh aksi terorisme. Tidak hanya di Amerika dan Eropa, tapi juga termasuk terorisme di Indonesia. VCD pengakuan Bom Bali II dengan gamblang membuktikan hal itu.

Jihad, sebagaimana ditulis Rudolph Peters, guru besar Universitas Amsterdam dalam Jihad in Clasical and Modern Islam (1996), adalah bahasa politik keagamaan yang tumbuh subur dalam dunia Islam dan memainkan peran politik yang signifikan. Jihad juga mampu membangkitkan emosi keagamaan yang didasarkan atas nama ukhuwah (solidaritas). Karena itulah, tidak berlebihan kiranya, jihad dikonotasikan dengan holy war (perang suci). Dari doktrin jihad pula, beberapa orientalis menuduh Islam sebagai agama perang dan pedang lewat ekspansi militer yang menjangkau Jazirah Arab hingga ke daratan Eropa dan benua India.

Menurut Bernard Lewis dalam The Political Language of Islam (1988), jihad diletakkan dalam konteks dar al Islam (negeri damai) dan dar al harb (negeri yang dilanda peperangan). Tapi, jihad hanya berlaku dalam sebuah dar al harb yang ditegakkan atas pertimbangan mempertahankan diri.

Konsep awal jihad merujuk pada perang yang terjadi dalam sejarah Nabi Muhammad, dan terpatrikan dalam Alquran dan Hadits. Peperangan, saat itu adalah sebuah kebiasaan suku Arab, kecuali jika dua atau lebih suku bangsa telah melakukan gencatan senjata. Perang seperti itu adalah sah menurut hukum dan bahkan terhormat, bila dilancarkan sebagai bentuk mempertahankan diri terhadap agresi. Di samping itu, terdapat etika perang yang melarang prajurit membunuh anak-anak, perempuan, dan orang tua. Etika perang ini sebetulnya inheren dalam setiap doktrin jihad.

Buku ini mencoba mengali pemikiran jihad Ghulam Ahmad (1839-1908), pendiri Ahmadiyah. Penting diketahui, Ghulam Ahmad terbilang sebagai mujaddid Islam yang mempunyai produktivitas tinggi dalam menghasilkan berbagai karya intelektual. Paling tidak ada sekitar 80 buku yang dihasilkan Ghulam Ahmad, baik yang berbentuk tulisan maupun kumpulan pidato.

Di tengah silang sengkurat jihad, Ghulam Ahmad seolah menawarkan pemikiran keagamaan alternatif bagi pemaknaan jihad yang lebih humanis. Bagi Ghulam Ahmad, jihad terbagi dalam tiga hal. Pertama, jihad ashghar (jihad kecil). Jihad ini pada umumnya berupa perang. Jihad ini mendapatkan porsi yang besar dan penting bagi kalangan Islam tertentu. Bahkan jihad dalam bentuk perang dipandang sebagai satu-satunya jihad yang sah berdasarkan agama.

Berbeda dengan pemikiran tersebut, Ghulam Ahmad mempunyai konsepsi tersendiri tentang jihad ashghar. Ghulam Ahmad mengakui bahwa jihad melalui peperangan pernah dilakukan Nabi Muhammad dan sahabat. Akan tetapi, hal itu dilakukan hanya dalam rangka mempertahankan diri semata, bukan untuk tujuan memerangi orang yang tidak beriman atau bahkan mendakwahkan Islam (hlm. 109).

Di titik inilah, Ghulam Ahmad menentang fatwa ulama India yang menganjurkan jihad dengan melakukan perlawanan bersenjata terhadap Inggris. Akibatnya, Ghulam Ahmad memperoleh predikat sebagai ulama anti-jihad atau bahkan antek Inggris. Di samping itu, Ghulam Ahmad juga menentang pembajakan jihad untuk kepentingan pribadi, provokasi, dan terorisme, karena hal itu tak ubahnya menodai Islam. Baginya, situasi sosial-politik tidak memenuhi kualifikasi yang mengharuskan jihad dimaknai dalam perang. Karena itu, menurutnya, jihad ashghar sepatutnya "dihapus" (mansukh) dari perbendaharaan term keagamaan.

Kedua, jihad kabir (besar). Jihad kabir tak ubahnya dakwah dalam rangka meninggikan Islam serta menyangkal keberatan dari pihak yang menentang kebenaran Islam (hlm. 117). Jihad ini dapat dilakukan dengan cara jihad ruhani (spiritual) dan jihad bi al-qalam (pena). Dengan pertimbangan bahwa Islam diserang dengan berbagai tulisan yang menyudutkan, maka terlalu berlebihan bila hal itu dibalas dengan menghunuskan pedang dan mengobarkan perang. Tulisan harus dibalas dengan tulisan. Jihad kabir terbukti dengan produktivitas Ghulam dalam menghasilkan banyak buku, di samping menerbitkan majalah.

Ketiga, jihad akbar. Tampaknya, pemikiran jihad akbar Ghulam Ahmad tidak berbeda jauh dengan Hadist Nabi Muhammad yang disabdakan sesudah Perang Badar (2 H), yang menganjurkan umat Islam untuk melawan hawa nafsu dalam rangka mencapai kesempurnaan budi pekerti (hlm. 121). Dengan pendekatan akhlak seperti yang sering diungkapkan al-Ghazali, manusia mempunyai tiga kecenderungan. Yakni nafs al-ammarah, nafs al-lawwamah, dan nafs al-muthmainnah. Pendakian manusia menuju terwujudnya nafs al-mutmainnah bukan persoalan yang gampang seperti membalikkan telapak tangan. Penaklukan terhadap kemurkaan hawa nafsu merupakan jihad terbesar.

Pemikiran jihad Ghulam Ahmad tersebut secara langsung memberikan tuntunan bagi Jamaah Ahmadiyah untuk tidak melakukan tindakan anarkis. Dengan nada memuji, tapi tidak jauh dari nuansa flattering, Dawam Rahardjo, salah satu tokoh Muhammadiyah, menyatakan Ahmadiyah merupakan komunitas yang damai karena doktrinnya mengajarkan perdamaian.

Pada dasarnya tidak ada sesuatu yang baru dalam pemikiran jihad Ghulam Ahmad, selain me-nasakh (hapus) jihad ashghar yang membuatnya dituduh sebagai anti-jihad. Bernard Lewis, sebagaimana dikutip di atas, menyatakan, beberapa kalangan muslim tertentu berargumentasi bahwa jihad harus dipahami dalam perspektif moral dan rohani, tidak dalam ekspansi militer dan senjata. Pandangan semacam ini menjadi anutan Kaum Syi’ah pada masa klasik dan gerakan reformasi Islam pada abad ke-19 dan ke-20.

Akhirnya, buku yang semula tesis penulisnya (Asep Burhanudin) di UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta ini berusaha menebarkan kearifan keagamaan yang lebih menghargai terhadap pluralitas keyakinan. Jamak diketahui, akibat sebelas fatwa (legal opinion) MUI yang dikeluarkan dalam Munas VII 29 Juli lalu, Ahmadiyah menjadi gerakan keagamaan yang terlarang dan dipandang berada di luar Islam. Fatwa ini sebetulnya penegasan kembali fatwa MUI 1984. Lantaran itulah, tidak jarang anarkisme menjadi santapan yang sering menghampiri pengikut Jamaah Ahmadiyah.

Padahal, sejak 1930, Ahamadiyah telah mendapatkan pengakuan berbadan hukum (rechtperson) dari kolonial Belanda, seperti Muhammadiyah dan NU. Di sisi lain, Ahmadiyah juga memberikan kontribusi yang signifikan terhadap gerakan modern Islam, terutama dalam pemikiran, dakwah dan karya-karya keislaman.

Paling tidak, dengan buku ini, dialog antarpemikiran dapat diwujudkan sehingga buruk sangka dan tindakan anarkisme terhadap pluralitas keyakinan tidak menjadi "gaya baru" dalam beragama.

No comments: