07 October 2006

Mati Ketawa Cara NAZI

andree priyanto - Komunitas Ruang Baca

September ini sebuah buku kumpulan lelucon semasa NAZI berkuasa diterbitkan. Penulisnya, Rudolph Herzog, sutradara dan penulis naskah layar lebar Jerman, tak bermaksud mengocok perut pembaca. Ia cuma ingin mendobrak sejarah tabu Jerman seputar kehidupan Fuhrer (Pemimpin) Jerman Adolf Hitler. Sebuah upaya melepas ketegangan.

Hitler mengunjungi sebuah rumah sakit jiwa. Begitu melihat Hitler, serentak para pasien memberinya salam: berdiri tegak seraya mengangkat tangan lurus ke muka. Saat ia melewati barisan seorang pria tak memberinya hormat. “Mengapa kamu tidak memberi hormat seperti yang lain?” Hitler menghardik. “ Mein Fuhrer (Pemimpinku), aku ini perawat, aku tidak gila seperti mereka!” jawab pria itu. Kendati, menurut buku baru ini, orang banyak memakai humor itu secara agak terbuka saat membicarakan Hitler dan kaki tangannya di awal Third Reich berkuasa, tapi tentu saja tak ada yang berani terang-terangan melontarkannya.

Sebuah lelucon bisa membuat orang tewas. Seorang pekerja di Berlin bernama Marianne Elise K. dihukum dan dieksekusi pada 1944 lantaran dituduh meremehkan semangat perang dengan melontarkan lelucon seperti ini:

Hitler dan Goring (Hermann Wilhelm Göring, orang kedua di NAZI) berdiri di puncak menara Radio Berlin. Hitler bilang ia ingin melakukan sesuatu guna menghibur warga Berlin. “Mengapa Anda tak meloncat saja ke bawah?” saran Goring.

Seorang kawan Marianne yang mendengar lawakan itu melaporkan ke pihak berwenang. Dan Marianne pun diringkus.

Penulis buku ini, sutradara film dan penulis naskah layar lebar terkemuka Jerman, Rudolph Herzog, tak bermaksud mengocok perut pembaca. Ia hanya ingin mengupas suatu periode di masa NAZI berkuasa dalam perspektif yang berbeda. Ia melihat lelucon pantas dipakai untuk menggambarkan perasaan rakyat yang sesungguhnya ketika itu.

“Lelucon mencerminkan kemarahan, kepura-puraan, dan kegirangan rakyat yang sesungguhnya,” kata Herzog, yang bukunya Heil Hitler, The Pig is Dead yang dipasarkan bulan ini. “Guyonan politik bukanlah bentuk sebuah perlawanan aktif tetapi katup pelampiasan kemarahan rakyat,” tutur pria 33 tahun ini.

Banyak di antara mereka yang sebal dengan Nazi bekerja sebagai pegawai papan atas di pemerintahan dan industri Jerman. Mereka tidak memberontak. Mereka cuma melontarkan lelucon segar:

“Seorang senior NAZI mengunjungi sebuah pabrik. Ia bertanya pada manajer di sana apakah masih ada di antara para pekerja yang mendukung Sosial Demokrat.

“Ya, 80 persen,” si manajer segera menjawab.

“Apakah ada yang mendukung Partai Pusat Katolik?”

“Ya, 20 persen,” manajer merespons.

“Tak adakah di antara kalian yang pengikut Sosialis Nasional?”

“Ya, kami semua NAZI!” Kesombongan para pembesar NAZI merupakan obyek utama dari segala guyonan:

“Göring menempelkan sebuah panah ke deretan medali di jubahnya. Tertulis di panah itu ‘berlanjut hingga ke belakang.’”

Lawakan seperti itu, kata Herzog, dianggap tak mengancam dan menentang NAZI. Herzog lantas membandingkannya dengan humor kelam seputar tiang gantungan yang beredar di kalangan kaum Yahudi pada 1930-an dan di masa perang:

“Dua orang Yahudi tengah bersiap dieksekusi dengan ditembak. Tiba-tiba datang perintah untuk segera menggantung mereka. Seorang terpidana mati itu membisiki kawannya “Kamu lihat, kan? Mereka kehabisan peluru.”

Di kalangan Yahudi, kata Herzog, lelucon seperti itu merupakan sebuah bentuk ekspresi keinginan untuk tetap hidup. “Saya tertawa maka saya masih tetap hidup,” kata Herzog yang bukunya dibuat berdasar catatan kesusateraan kontemporer, catatan harian, dan wawancara dengan 20 orang yang hidup semasa NAZI berkuasa.

Setelah melalui serangkaian proses pengumpulan data itu, sampailah Herzog pada satu kesimpulan: Sejak awal, rakyat Jerman benar-benar mahfum pemerintahnya kejam. Dan negeri itu tak sedang kerasukan “semangat kebrutalan” atau tersihir propaganda gemilang NAZI. “Rakyat yang terhipnotis tak akan membetas lelucon,” kata Herzog.

Lelucon tentang kamp konsentrasi Dachau­-dibuka pada 1933­-memperlihatkan bahwa rakyat tahu sejak awal mereka bisa masuk bui jika bertingkah mengungkapkan opini mereka:

Dua pria bertemu. “Senang melihatmu kembali bebas. Bagaimana rasanya berada di kamp konsentrasi?” tanya sang kawan. “Hebat! Sarapan diantar ke tempat tidur, bisa memilih kopi atau cokelat, dan untuk makan siang kami dapat sup, daging, dan hidangan pencuci mulut. Siang harinya kami bebas bermain, sehabis itu ngopi dan makan kue. Lalu kami tidur sejenak dan menonton film usai makan malam.”

Teman itu tercengang: “Luar biasa! Tapi ceritamu kok berbeda dengan Meyer yang juga ditahan di sana?”

Sambil manggut-manggut dengan sorot mata menerawang pria satunya bilang: “Ya, itulah sebabnya mengapa Meyer ditangkap lagi.”

Buku Herzog ini boleh jadi isyarat mutakhir sebuah perubahan fundamental di kalangan rakyat Jerman dalam menyikapi sejarah tabu mereka selama beberapa dekade: kekejaman NAZI. Seiring dengan wafatnya generasi perang, anak dan cucu mereka memandang masa suram itu secara lebih obyektif. Mendobrak rambu-rambu yang semula dianggap tabu.

Tengok saja pada 2004, sebuah film berjudul Downfall yang mengisahkan detik-detik kejatuhan Hitler, justru memotret sisi humanisme Kanselir Jerman tersebut. Awal tahun ini, spanduk besar swastika terbentang di Berlin selama pemutaran perdana film komedi pertama tentang Hitler­-sesuatu yang mustahil terjadi beberapa tahun silam.

“Setiap generasi baru di Jerman terpikat dengan masa lalu negerinya,” ujar Herzog. “Karena itu kini tak ada lagi hal tabu.” Menurut Herzog, pada 1933 dan 1934, NAZI mengeluarkan aturan yang melarang warga mengkritisi rezim. Kendati di persidangan hasilnya cuma sebatas peringatan atau denda. Pasalnya alkohol kerap dianggap sebagai faktor peringan.

Tapi itu tak berlaku ketika kedigjayaan Bangsa Aria itu mulai melempem. Saat serdadu Panzer dipukul mundur dari Stalingrad dan bom-bom berjatuhan di seantero Jerman menyusul maraknya kampanye dunia internasional menentang sepak terjang Jerman.

“Humor-humor politik berujung pada tiang gantungan. Lelucon berakhir dengan eksekusi,” ujar Herzog. “Lelucon Yahudi terkenal akan ketajamanannya dan karakternya yang menggigit,” ujarnya. “Aku kini merindukan guyonan macam itu.”

“Apa yang akan kamu lakukan setelah perang berakhir?”

“Ah, akhirnya aku jadi juga pergi berlibur. Dan aku berencana berkeliling Jerman yang maha luas ini!”

“Dan apa yang akan kamu lakukan siang harinya?”

September ini sebuah buku kumpulan lelucon semasa NAZI berkuasa diterbitkan. Penulisnya, Rudolph Herzog, sutradara dan penulis naskah layar lebar Jerman, tak bermaksud mengocok perut pembaca. Ia cuma ingin mendobrak sejarah tabu Jerman seputar kehidupan Fuhrer (Pemimpin) Jerman Adolf Hitler. Sebuah upaya melepas ketegangan.

Hitler mengunjungi sebuah rumah sakit jiwa. Begitu melihat Hitler, serentak para pasien memberinya salam: berdiri tegak seraya mengangkat tangan lurus ke muka. Saat ia melewati barisan seorang pria tak memberinya hormat. “Mengapa kamu tidak memberi hormat seperti yang lain?” Hitler menghardik. “ Mein Fuhrer (Pemimpinku), aku ini perawat, aku tidak gila seperti mereka!” jawab pria itu. Kendati, menurut buku baru ini, orang banyak memakai humor itu secara agak terbuka saat membicarakan Hitler dan kaki tangannya di awal Third Reich berkuasa, tapi tentu saja tak ada yang berani terang-terangan melontarkannya.

Sebuah lelucon bisa membuat orang tewas. Seorang pekerja di Berlin bernama Marianne Elise K. dihukum dan dieksekusi pada 1944 lantaran dituduh meremehkan semangat perang dengan melontarkan lelucon seperti ini:

Hitler dan Goring (Hermann Wilhelm Göring, orang kedua di NAZI) berdiri di puncak menara Radio Berlin. Hitler bilang ia ingin melakukan sesuatu guna menghibur warga Berlin. “Mengapa Anda tak meloncat saja ke bawah?” saran Goring.

Seorang kawan Marianne yang mendengar lawakan itu melaporkan ke pihak berwenang. Dan Marianne pun diringkus.

Penulis buku ini, sutradara film dan penulis naskah layar lebar terkemuka Jerman, Rudolph Herzog, tak bermaksud mengocok perut pembaca. Ia hanya ingin mengupas suatu periode di masa NAZI berkuasa dalam perspektif yang berbeda. Ia melihat lelucon pantas dipakai untuk menggambarkan perasaan rakyat yang sesungguhnya ketika itu.

“Lelucon mencerminkan kemarahan, kepura-puraan, dan kegirangan rakyat yang sesungguhnya,” kata Herzog, yang bukunya Heil Hitler, The Pig is Dead yang dipasarkan bulan ini. “Guyonan politik bukanlah bentuk sebuah perlawanan aktif tetapi katup pelampiasan kemarahan rakyat,” tutur pria 33 tahun ini.

Banyak di antara mereka yang sebal dengan Nazi bekerja sebagai pegawai papan atas di pemerintahan dan industri Jerman. Mereka tidak memberontak. Mereka cuma melontarkan lelucon segar:

“Seorang senior NAZI mengunjungi sebuah pabrik. Ia bertanya pada manajer di sana apakah masih ada di antara para pekerja yang mendukung Sosial Demokrat.

“Ya, 80 persen,” si manajer segera menjawab.

“Apakah ada yang mendukung Partai Pusat Katolik?”

“Ya, 20 persen,” manajer merespons.

“Tak adakah di antara kalian yang pengikut Sosialis Nasional?”

“Ya, kami semua NAZI!” Kesombongan para pembesar NAZI merupakan obyek utama dari segala guyonan:

“Göring menempelkan sebuah panah ke deretan medali di jubahnya. Tertulis di panah itu ‘berlanjut hingga ke belakang.’”

Lawakan seperti itu, kata Herzog, dianggap tak mengancam dan menentang NAZI. Herzog lantas membandingkannya dengan humor kelam seputar tiang gantungan yang beredar di kalangan kaum Yahudi pada 1930-an dan di masa perang:

“Dua orang Yahudi tengah bersiap dieksekusi dengan ditembak. Tiba-tiba datang perintah untuk segera menggantung mereka. Seorang terpidana mati itu membisiki kawannya “Kamu lihat, kan? Mereka kehabisan peluru.”

Di kalangan Yahudi, kata Herzog, lelucon seperti itu merupakan sebuah bentuk ekspresi keinginan untuk tetap hidup. “Saya tertawa maka saya masih tetap hidup,” kata Herzog yang bukunya dibuat berdasar catatan kesusateraan kontemporer, catatan harian, dan wawancara dengan 20 orang yang hidup semasa NAZI berkuasa.

Setelah melalui serangkaian proses pengumpulan data itu, sampailah Herzog pada satu kesimpulan: Sejak awal, rakyat Jerman benar-benar mahfum pemerintahnya kejam. Dan negeri itu tak sedang kerasukan “semangat kebrutalan” atau tersihir propaganda gemilang NAZI. “Rakyat yang terhipnotis tak akan membetas lelucon,” kata Herzog.

Lelucon tentang kamp konsentrasi Dachau­-dibuka pada 1933­-memperlihatkan bahwa rakyat tahu sejak awal mereka bisa masuk bui jika bertingkah mengungkapkan opini mereka:

Dua pria bertemu. “Senang melihatmu kembali bebas. Bagaimana rasanya berada di kamp konsentrasi?” tanya sang kawan. “Hebat! Sarapan diantar ke tempat tidur, bisa memilih kopi atau cokelat, dan untuk makan siang kami dapat sup, daging, dan hidangan pencuci mulut. Siang harinya kami bebas bermain, sehabis itu ngopi dan makan kue. Lalu kami tidur sejenak dan menonton film usai makan malam.”

Teman itu tercengang: “Luar biasa! Tapi ceritamu kok berbeda dengan Meyer yang juga ditahan di sana?”

Sambil manggut-manggut dengan sorot mata menerawang pria satunya bilang: “Ya, itulah sebabnya mengapa Meyer ditangkap lagi.”

Buku Herzog ini boleh jadi isyarat mutakhir sebuah perubahan fundamental di kalangan rakyat Jerman dalam menyikapi sejarah tabu mereka selama beberapa dekade: kekejaman NAZI. Seiring dengan wafatnya generasi perang, anak dan cucu mereka memandang masa suram itu secara lebih obyektif. Mendobrak rambu-rambu yang semula dianggap tabu.

Tengok saja pada 2004, sebuah film berjudul Downfall yang mengisahkan detik-detik kejatuhan Hitler, justru memotret sisi humanisme Kanselir Jerman tersebut. Awal tahun ini, spanduk besar swastika terbentang di Berlin selama pemutaran perdana film komedi pertama tentang Hitler­-sesuatu yang mustahil terjadi beberapa tahun silam.

“Setiap generasi baru di Jerman terpikat dengan masa lalu negerinya,” ujar Herzog. “Karena itu kini tak ada lagi hal tabu.” Menurut Herzog, pada 1933 dan 1934, NAZI mengeluarkan aturan yang melarang warga mengkritisi rezim. Kendati di persidangan hasilnya cuma sebatas peringatan atau denda. Pasalnya alkohol kerap dianggap sebagai faktor peringan.

Tapi itu tak berlaku ketika kedigjayaan Bangsa Aria itu mulai melempem. Saat serdadu Panzer dipukul mundur dari Stalingrad dan bom-bom berjatuhan di seantero Jerman menyusul maraknya kampanye dunia internasional menentang sepak terjang Jerman.

“Humor-humor politik berujung pada tiang gantungan. Lelucon berakhir dengan eksekusi,” ujar Herzog. “Lelucon Yahudi terkenal akan ketajamanannya dan karakternya yang menggigit,” ujarnya. “Aku kini merindukan guyonan macam itu.”

“Apa yang akan kamu lakukan setelah perang berakhir?”

“Ah, akhirnya aku jadi juga pergi berlibur. Dan aku berencana berkeliling Jerman yang maha luas ini!”

“Dan apa yang akan kamu lakukan siang harinya?”

Novel The Last Pope Ungkap Pembunuhan Paus Paulus I

Budi Setyarso - Komunitas Ruang Baca

Paus Johannes Paulus I, yang meninggal hanya 33 hari setelah dilantik menjadi pemimpin tertinggi Katolik pada 1978, diduga dibunuh. Ia yang secara resmi disebutkan terkena serangan hati diduga dibunuh karena berencana mereformasi secara radikal gereja.

Dugaan itu ditulis dalam sebuah novel, yang akan dipublikasikan tahun depan. Menurut penulisnya, Luis Miguel Rocha, 29 tahun, novel berjudul The Last Pope itu dibuat berdasarkan berbagai dokumen yang ia peroleh dari sumber di Vatikan.

Novel itu menguraikan secara rinci teori bahwa Paus Paulus I menjadi ancaman karena mengetahui pencucian uang yang melibatkan Bank Vatikan. Paulus I juga berencana meliberalisasi beberapa aspek doktrin gereja yang telah berusia berabad-abad.

"Ia ingin menjadi paus kaya yang terakhir. Paulus I ingin mendistribusikan kekayaan gereja, membuka gereja bagi perempuan, dan mengesahkan penggunaan alat kontrasepsi," kata Rocha menguraikan.

Novel mendeskripsikan pembunuhan Paulus I, sebagai hasil dari konspirasi yang melibatkan pejabat tinggi keuangan, sejumlah pemerintah negara Eropa, dan kelompok mafia. Mereka merekrut pejabat tinggi Roma, termasuk sekretaris pribadi Paus.

Penulisan novel ini menarik perhatian peserta Frankfurt Book Fair, pameran buku terbesar di dunia. Sedikitnya editor dari 50 negara menyatakan akan membeli hak cipta novel itu, kata penerbit Rocha.

Paus Johannes Paulus I meninggal pada 28 September 1978. Kematian ini menimbulkan berbagai spekulasi, karena perbedaan keterangan resmi dan faktanya. Apalagi, Vatikan menolak untuk melakukan otopsi.

Rocha bukan penulis pertama yang menulis seputar kematian Paus Paulus I. Pada 1984, penulis asal Inggris, David Yallop, menerbitkan In God's Name, yang menghubungkan kematian Paus Paulus I dengan korupsi di Bank Vatikan. Buku ini laku 6 juta kopi.

Namun, Rocha mengklaim, bukunyalah yang pertama ditulis berdasarkan dokumen dari Vatikan. "Ini buku fiksi yang berdasarkan fakta," kata editornya, Luis Corte Real.

Yang jelas, buku ini akan mengikuti jejak The Da Vinci Code karya Dan Brown yang terjual lebih dari 25 juta kopi di seluruh dunia.

08 April 2006

Mulai Bergerak

Awicaks

Setelah pertemuan pertama di Apartemen Cilandak, Tim Studi Jawa mulai bergerak. Saya mengikuti lalu-lintas email diantara anggota tim. Menggembirakan. Meski hubungan tim bersifat maya (virtual) tetapi anthusiasme mereka untuk mempelajari serius latar-sejarah pasang-surut kehidupan di pulau Jawa sangat menggembirakan saya.

Laporan tentang koleksi kliping mulai masuk dari Yogyakarta. Awal yang bagus saya pikir. Koordinator studi, Rini, pun mulai melakukan penelusuran secara intensif situs-situs internet. Beberapa rekomendasi mulai ia lontarkan. Mudah-mudahan anthusiasme ini terus terjaga.

8 April 06

07 March 2006

Bahan-bahan Bacaan Menarik Terbaru

Pengelola

Terimakasih kepada Pak John MacDougall untuk rujukan-rujukannya. Bahan bacaan di bawah ini diekstrak dari mailing list yang dikelola Om John, yakni Indonesian Studies. Untuk mengambil (downloading) bahan bacaan di atas, cukup klik kanan mouse Anda, lalu pilih perintah "Save Target As.." (pada Internet Explorer), atau "Save Link As.." (pada Mozila Firefox). Untuk dapat membacanya komputer Anda harus memiliki piranti-lunak Acrobat Reader. Piranti-lunak itu dapat diambil secara gratis di situs Adobe Acrobat.

Ada pertanyaan? Silakan email saya.

26 February 2006

Bahan-bahan Bacaan Menarik Terbaru

Terimakasih kepada Pak John MacDougall untuk rujukan-rujukannya. Bahan bacaan di bawah ini diekstrak dari mailing list yang dikelola Pak John, yakni Indonesian Studies. Untuk mengambil (downloading) bahan bacaan di atas, cukup klik kanan mouse Anda, lalu pilih perintah "Save Target As.." (pada Internet Explorer), atau "Save Link As.." (pada Mozila Firefox). Untuk dapat membacanya komputer Anda harus memiliki piranti-lunak Acrobat Reader. Piranti-lunak itu dapat diambil secara gratis di situs Adobe Acrobat.

Ada pertanyaan? Silakan email saya.

16 February 2006

Why Men Don't Listen and Women Can't Read Maps: Indahnya Hidup Dalam Perbedaan

Resensi oleh Munawar Kasan (Koordinator Indonesia Readers Society)
Pertama kali dimuat di Bisnis Indonesia, Minggu, 12 Februari 2006

Judul Buku: Why Men Don't Listen and Women Can't Read Maps
Penulis: Allan & Barbara Pease
Penerbit: Penerbit Ufuk
Cetakan: Desember 2005
Tebal: xv + 405 halaman
Harga: Rp 55.000,00


Perselisihan dan perceraian banyak dipicu karena masing-masing tak memahami kekurangan pasangannya. Padahal, sebenarnya itu bukan kekurangan tetapi memang oleh Tuhan diciptakan berbeda.

Dalam buku ini, Allan & Barbara Pease menghadirkan perbedaan-perbedaan ini dalam perspektif ilmiah. Keduanya berkesimpulan bahwa pria menginginkan kekuasaan, pencapaian, dan seks. Sedangkan wanita ingin hubungan, kestabilan, dan cinta.

Meskipun memuat hasil penelitian secara ilmiah, buku ini disajikan dalam bahasa umum yang mudah dicerna. Selain itu, buku ini tidak hanya mengungkapkan perbedaan antara pria dan wanita, tapi juga disertai teknik pemecahannya.

Dijelaskan perbedaan kedua makhluk beda jenis itu berpangkal dari faktor hormon dan otak. Pada anak pria, hormon testosteron menghalangi pertumbuhan otak kiri sehingga otak kanan berkembang lebih cepat. Pada anak perempuan, kedua belahan otak tumbuh seimbang.

Inilah yang membuat pria mempunyai keterampilan ruang yang lebih unggul. Tak heran jika pria lebih mahir dibandingkan wanita dalam hal membaca peta, berburu, mengendarai kendaraan, bermain golf, dan aktifitas lainnya yang berhubungan dengan keterampilan ruang.

Di sisi lain, pria punya kelemahan dalam hal komunikasi, hanya satu pekerjaan dalam satu waktu, dan tak mampu menyimak. Kesemuanya itu justru menjadi keunggulan wanita.

Wanita pandai berbicara karena mempunyai area keterampilan berbicara di otak yang lebih besar dibanding pria. Wanita juga mampu berbicara di telepon sambil memasak dengan resep baru dan nonton televisi secara bersamaan.

Kelemahan pria inilah yang menjadi salah satu pemicu kereta-kan hubungan. Suami enggan berkomunikasi di penghujung hari selepas beraktifitas. Di sisi lain, wanita juga bisa menjadi sumber perselisihan karena sifatnya yang emosional karena titik-titik emosi tersebar di otak kiri dan kanan.

Persepsi tentang pernikahan, cinta, seks, dan romansa ternyata juga memang sangat berbeda antara pria dan wanita. Penulis mengulasnya secara apik disertai dengan bukti-bukti penelitian ilmiah.

Siasati perbedaan

Kegagalan pria dan wanita dalam memahami perbedaan ini sering menjadi masalah. Padahal seharusnya mereka sadar bahwa bukan hanya berbeda secara fisik melainkan dalam banyak hal. Jadi, masing-masing tidak bisa menggunakan parameter dirinya untuk menuntut pasangannya.

Makanya, yang harus dilakukan adalah memahami sepenuhnya perbedaan tersebut sehingga akan meminimalisir potensi konflik.

Selanjutnya, pria dan wanita harus menemukan resep yang tepat untuk menyiasati perbedaan. Ketika resep jitu ditemukan, maka pria dan wanita akan merasakan indahnya hidup dalam perbedaan.

Kalau merujuk pada buku ini, jika wanita diberikan peluang seluas-luasnya untuk profesi yang membutuhkan keterampilan ruang seperti insinyur atau pilot maka bisa dipastikan sepi peminat. Sebaliknya, untuk profesi yang menuntut kemampuan berkomu-nikasi dan sektor pelayanan pasti didominasi wanita.

11 February 2006

Info Buku: Gender, Bahasa dan Kekuasaan

Informasi Buku

Judul buku: Gender, Bahasa dan Kekuasaan
Penulis: Esther Kuntjara, Ph D
Penerbit: Universitas Kristen Petra Surabaya dan penerbit PT BPK Gunung Mulia Jakarta
Tahun terbitan: 2004
Tebal: ix+117 halaman.

Sejak munculnya berbagai gerakan perempuan pada pertengahan abad ke 20 hingga sekarang,para pakar di bidang linguistik, antropologi budaya, sosiologi, psikologi, komunikasi dan banyak disiplin lain mulai mencari hubungan antara bahasa dan seks. Mereka juga melihat bagaimana peranan perempuan dan laki-laki dalam budaya mempengaruhi gaya bicara mereka. Benarkah perempuan lebih banyak bicara [cerewet] dibanding laki-laki? Apakah kosa kata yang kita pakai sehari-hari berbias gender dan sering merugikan perempuan dan membuat keberadaan perempuan tersembunyi? Apakah benar gaya bicara laki-laki lebih bersifat agresif sedang perempuan lebih lembut dan menunjukkan keakraban? Benarkah perempuan lebih sopan dibanding laki-laki sehingga mereka harus menggunakan bahasa yang halus dan sopan, sedangkan laki-laki lebih bebas menggunakan bahasa apa saja? Masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang menjadi menarik untuk disimak dan dipelajari.

Esther Kuntjara, PhD menyelesaikan stud S1 jurusan Bahasa Inggris di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga tahun 1982. Bersama suami dan kedua anaknya,penulis berangkat ke Amerika Serikat tahun 1985. Sambil menyertai suami yang mengambil S3 di California, penulis menyelesaikan studi S2 dibidang TEFL di San Fransisco State University. Program itu diselesaikannya pada tahun 1988. Sekembali ke Indonesia, penulis mengajar bahasa Inggris di Universitas Kristen Petra Surabaya. Pada tahun 1990-1993 penulis dipercayakan mengemban tanggung jawab sebagai Dekan fakultas sastra UK Petra Surabaya.Pertengahan tahun 1993,penulis menerima beasiswa dari United Board ke Amerika Serikat sebagai dosen tamu di Central College, Iowa, selama satu tahun. Tahun 1997 penulis kembali ke Amerika Serikat untuk mengambil S3 di Indiana University of Pensylvania di bidang Rhetoric and Linguistics dengan disertasi" A Sociolinguistic Study of Two Chinese Indonesian Mother-Daughter Pairs in Surabaya". Studi S3 diselesaikan tahun 2003. Selama studi di IUP, penulis memperoleh penghargaan menjadi anggota dari Honor Society of Phi Kappa Phi. Beberapa tulisannya yang banyak berkisar tentang gender dan bahasa sudah dimuat di jurnal-jurnal nasional maupun internasional. Penulis juga sering memberi presentasi ilmiah baik didalam maupun di luar negeri.

Untuk informasi pembelian, kontak Penerbit PT BPK Gunung Mulia, Jl. Kwitang 22-23 Jakarta 10420. Telp 021- 3901208 Fax 021- 3901633. email: publishing@bpkgm.com

05 February 2006

Membaca Pulau Jawa: Catatan Awal dari "Land Use and Environment in Indonesia"

Awicaksono

Buku tua yang ditemukan Torry di Perpustakaan WALHI akhirnya selesai saya baca secara selektif. Saya memfokuskan bacaan saya pada pulau Jawa, serta paparan tentang isu-isu nasional yang terkait dengan pulau Jawa.


Sebagai pulau utama terkecil dibandingkan pulau-pulau utama lain di kepulauan Indonesia, pulau Jawa merupakan yang paling padat penduduknya. Hal ini tidak bisa dipisahkan dari dinamika demografik sejak masa kerajaan Hindu, kerajaan Islam serta masa pendudukan Belanda. Modalitas dari seluruh cerita terkait dengan dinamika demografik pulau Jawa adalah tanah dan kekayaan alam, berikut posisi geopolitiknya terhadap lalu lintas perdagangan baik di masa lalu hingga sekarang. Saat ini total populasi pulau adalah 60% dari populasi Indonesia, dengan tingkat kepadatan 864 jiwa/km2. Pulau Jawa adalah wilayah terpadat penduduknya nomor dua setelah Bangladesh.

Beberapa catatan sejarah yang cukup mengagumkan saya peroleh sebelumnya dari sebuah buku berjudul "Beneath Smoke of the Sugar-Mill," yang merupakan hasil kolaborasi penelitian para akademisi dari Belanda, Jepang dan Indonesia. Dari penelitian kolaboratif tersebut terungkap bahwa bangkrutnya tata-guna lahan asli sudah dimulai sejak introduksi perkebunan besar oleh East Indies Companies atau VOC, lewat perkebunan tebu, teh, kopi dan tembakau. Meski sebelumnya masalah penguasaan tanah sudah terjadi antara rakyat dengan penguasa-penguasa monarkhis pada masa kerajaan Hindu dan Islam, tetapi era perkebunan besar di awal abad 18 sangat berpengaruh kepada rona tata-guna lahan pulau Jawa hingga sekarang.

Dalam buku "Land Use and Environment in Indonesia" (Wolf Donner, 1987) masa itu tidak terlalu rinci diuraikan. Buku ini lebih menyorot persoalan-persoalan yang timbul akibat Revolusi Hijau di awal 70an serta percepatan investasi industri, baik manufaktur, perkayuan, perkebunan maupun pertambangan (mineral dan minyak bumi). Namun benang merah preferensi penanaman modal terhadap pulau Jawa sejak masa pendudukan Belanda hingga sekarang diurai cukup mendalam. Antara lain ketersediaan sarana dan prasarana pendukung investasi, seperti jalan, pelabuhan laut serta ketersediaan buruh.

Meski tak memenuhi harapan saya, paling tidak buku ini memberi beberapa hyperlinks menuju beberapa rujukan lain. Yang sudah antri untuk dilahap adalah "The Ecology of Java and Bali." Buku ini pernah saya baca sebelumnya saat terlibat dalam penyiapan "Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan 2003," tetapi saat itu pendekatan saya terlalu topikal. Agaknya saya harus memulai lagi dari nol...

Jakarta, 5 Februari 2006

Identitas yang Terbelah

Resensi oleh Ahmad Sahidah
Pertama kali dimuat di Kompas Minggu 5 Februari 2006

Buku ini adalah hasil suntingan dari sebuah konferensi bertajuk "Islam in Southeast Asia: Political, Social and Strategic Challenges for the 21st Century" yang diselenggarakan oleh Institut Kajian Asia Tenggara Singapura (ISEAS, Institute for Southeast Asian Studies). Namun demikian, ia telah mengalami perubahan dan pembaruan dengan memasukkan perkembangan terbaru yang menjelaskan peran, relevansi, dan tantangan, demikian juga dimensi politik dan strategi Islam di Asia Tenggara masa kini.

Kehadiran kumpulan karangan ini akan membantu memberikan pemahaman lebih luas mengenai dinamika respons gerakan Islam yang tersebar di negara Asia Tenggara. Meskipun, di satu sisi, mereka mempunyai ideologi dan garis perjuangan yang berbeda, namun di sisi lain, dalam beberapa isu, mereka menunjukkan pandangan dan reaksi yang sama. Di Indonesia, misalnya, Muhammadiyah, NU, dan Majelis Mujahidin mengungkapkan pandangan yang serupa terhadap serangan Amerika ke Afganistan dan Irak sebagai barbar dan menyalahi norma-norma kemanusiaan.

Menurut penyunting, perkembangan sosial, ekonomi, dan politik kawasan ini tidak bisa dilepaskan dari proses globalisasi yang menyebabkan kondisi kemanusiaan tidak aman dan berbahaya. Meskipun globalisasi awalnya dijanjikan sebagai kendaraan bagi pembelaan terhadap martabat manusia dan demokrasi, tampaknya hanya makin memusatkan kekayaan dan kekuasaan yang lebih besar bagi Barat.

Tak dapat disangkal bahwa peristiwa 11 September telah menyebabkan apa yang disebut Subroto Roy, "runtuhnya sebuah percakapan global" karena dengan kekuasaannya yang besar negeri Paman Sam telah memaksakan kehendaknya menyerang sebuah negara tanpa persetujuan internasional. Peristiwa ini menandai putusnya percakapan kosmopolitan dengan Islam. Usaha George W Bush untuk meyakinkan umat Islam bahwa perang ini bukan perang agama, tidak menghapuskan sentimen anti-Amerika dengan segala bentuknya. Hal ini, tegas editor, akibat dari sudut pandang negara Islam dan Amerika yang berbeda melihat kebenaran.

Islam Asia Tenggara yang mempunyai peran strategis, berbeda dengan counterpart-nya di Timur Tengah, mewakili wajah lain. Perbedaan ini dapat ditelusuri dalam beberapa makalah yang dibagi ke dalam tiga bagian. Pertama, doktrin, Sejarah, Perkembangan, dan Lembaga-Lembaga Islam di Asia Tenggara. Kedua, Isu Politik, pemerintahan, masyarakat sipil dan jender di dalam Islam. Ketiga, modernisasi, Globalisasi dan perdebatan Negara Islam di Asia Tenggara dan terakhir adalah pengaruh 11 September terhadap pemikiran dan praktik Islam.

Tema-tema di atas dibahas oleh para ahli dari negara Asia Tenggara, termasuk juga melibatkan penulis asing yang menaruh minat pada isu keislaman, seperti Johan H Mueleman dan Bernard Adeney-Risakotta. Sementara itu, penyumbang dari Indonesia adalah Azyumardi Azra, Bachtiar Effendy, Lily Zakiah Munir, dan Noorhaidi Hasan. Beberapa penulis lain dari Asia Tenggara memang dikenal sebagai ilmuwan yang mempunyai kepedulian besar terhadap isu-isu keislaman Asia Tenggara.

Ulasan Azra dan Meuleman tentang sejarah datang dan berkembangnya Islam di Asia Tenggara, baik dalam pengertian teknis dan ideologi, menunjukkan keragaman pendapat, yang satu sama lain mengajukan bukti yang berbeda sehingga makin mengukuhkan bahwa pelbagai mazhab di Indonesia adalah sebuah keniscayaan mengingat sumber pengaruh yang berbeda. Teknik, jelas Meuleman, maksudnya adalah asal daerah, kelompok atau etnik, dan periode penyebaran Islam ke Asia Tenggara, sedangkan ideologi berkaitan dengan keyakinan yang meluas bahwa bentuk Islam yang paling murni adalah yang lahir pada masa awal kelahiran agama ini. Namun, dengan pelbagai perbedaan temuan, pembawa Islam ke Asia tenggara berasal dari bukan Mekkah dan Madinah sebagai tempat lahirnya Islam, tetapi dari Yaman, Mesir, dan Gujarat India.

Sebagaimana kondisi Islam di Indonesia, dua negara tetangga, Malaysia dan Filipina, juga dihadapkan dengan polarisasi aliran, tradisional-modernis, dan konservatif-liberal. Islamisasi di negara tersebut terakhir, tulis Carmen, para misionaris dan pedagang Islam kawin dengan penduduk lokal, para tokoh politik Muslim tiba kemudian dan memperkenalkan lembaga politik dan agama, keluarga berkuasa Muslim Sulu, Maguindanao, Lanau, Borneo, dan Maluku membentuk aliansi yang memperkukuh dan memperdalam kesadaran Islam. Jika demikian, maka sebenarnya proses proselytisasi itu berlangsung secara damai. Lalu, kenapa sekarang terdapat kelompok yang garang menyampaikan kebenaran Islam?

Selanjutnya, bagaimana potret masyarakat Muslim di Asia Tenggara sekarang ini? Jawabnya tentu beragam. Contoh yang sedang aktual adalah tanggapan terhadap peristiwa 11 September beragam karena memang peta masyarakat Muslim di kawasan ini tidak tunggal. Adeney-Risakotta, yang pernah mengajar saya di IAIN menyampaikan secara lisan di kelas bahwa dia antiperang Amerika terhadap Irak, menulis dengan versinya sebagai orang Amerika bahwa usaha apa pun Amerika untuk meyakinkan bahwa Islam tidak menjadi target gagal untuk kebanyakan Muslim di Asia tenggara. Tambahnya lagi, meskipun terdapat simpati terhadap korban peledakan bom WTC, dan kebanyakan Muslim mengutuk tragedi yang menewaskan ribuan orang, tapi serangan ke Afganistan dan Irak lebih jauh mendapat respons emosional (hlm 326).

Carmen memaparkan lebih jauh bahwa 11 September, bagi minoritas Muslim, sebagai bencana karena mereka mulai merasa terjepit dan terkadang menempatkan mereka jadi sasaran permusuhan. Mungkin di Filipina, komunitas Muslim dihadapkan dengan tekanan karena di Selatan mereka menjadi kelompok pemisah yang melakukan pemberontakan bersenjata. Sekarang pemerintah telah menemukan momentum untuk menanggapi sempalan ini dengan stigma perang melawan terorisme.

Berbeda dengan negara-negara tetangganya, Malaysia relatif berhasil menempatkan agama Islam secara harmonis dalam kehidupan masyarakatnya yang relatif majemuk, baik dari segi agama, etnik, dan budaya. Shamsul AB, pemikir utama dari Negeri Jiran ini, dengan baik menyebut Islam politik moderat sebagai alasan keberhasilan mereka menjaga stabilitas, meskipun tidak bisa dilepaskan dari pengaruh birokrasi yang diwariskan oleh kolonialisme Inggris (hlm 114). Dengan mengutip Syed Naquib al-Attas, Inggris telah berhasil melakukan proses sekulerisasi, yang memisahkan praktik agama dan kenegaraan.

Bagi Muslim, Islam dianggap sebagai agama paripurna di mana politik, ekonomi, agama, serta masyarakat berjalin kelindan menjadi satu kesatuan (hlm xv). Berbeda dengan non-Muslim yang terbiasa dengan proses politik ekonomi dan sosial sekuler, maka pemisahan politik dan agama masih asing, meskipun penerapan agama dalam politik di dalam sejarah Islam beragam. Lalu, pertanyaan yang acapkali apakah Islam itu sejalan dengan demokrasi yang berpijak pada agenda masyarakat sipil? Jawaban terhadap persoalan ini juga beragam. Tidak ada kata tunggal untuk memberikan kata akhir.

Di dalam inventarisasi pelbagai pendapat tentang kesesuaian Islam dengan demokrasi atau tidak, sebenarnya persoalan mendasar adalah perdebatan otentisitas tanpa mengabaikan kerusakan yang lebih besar sebab ulasan beberapa penulis telah menunjukkan bahwa militansi telah menjadi hallmark lanskap politik di Indonesia, termasuk negara-negara Asia tenggara yang lain. Tentu saja, peran Indonesia menentukan karena sebagaimana penerbit buku ini (ISEAS) juga telah merumuskan dalam seminar baru-baru ini bertemakan "Listening to the True Voice of Muslims in Indonesia" di Singapura bahwa Indonesia akan menjadi negara terpenting dalam ikut menentukan peradaban dunia karena berada di simpang arus ideologi global, sumber daya alam yang kaya, dan kombinasi unik peradaban Muslim tanpa mengenyampingkan peran negara lain. Semoga.

Ahmad Sahidah,
Kandidat Doktor Peradaban Islam Universitas Sains Malaysia

03 February 2006

Imagined Communities

Ringkasan buku

Judul: Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism

Penulis: Benedict Anderson
Penerbit: Verso
Tahun terbitan: 1991 (edisi yang direvisi)
ISBN: 0860915468


Nationality, nation-ness, and nationalism are cultural artifacts whose creation toward the end of the 18th C was the spontaneous distillation of a complex "crossing" of discrete historical forces; but that, once created, they became "modular," capable of being transplanted to a great variety of social terrains, to merge and be merged with a variety of political and ideological constellations. Theorists of nationalism have encountered three paradoxes: (1)The objective modernity of nations in the eye of the historian vs. their subjective antiquity in the eye of nationalists. (2) The formal universality of nationality as a socio-cultural concepts vs. the particularity of its concrete manifestations. (3) The political power of nationalism vs. its philosophical poverty.

In order to address some of these problems, Anderson proposes the following definition of nationalism: it is an imagined political community that is imagined as both inherently limited and sovereign. It is imagined because members will never know most of their fellow-members, yet in the minds of each lives the image of their communion. It is limited because it has finite, though elastic boundaries beyond which lies other nations. It is sovereign because it came to maturity at a stage of human history when freedom was a rare and precious ideal. And it is imagined as a community because it is conceived as a deep, horizontal comradeship.

Nationalism has to be understood not in relation to self-consciously held political ideologies, but the the large cultural systems that preceded it. Nationalism arose at a time when three other cultural conceptions were decreasing in importance:
  • there were changes in the religious community. Nationality represented a secular transformation of fatality into continuity, contingency into meaning. The unselfconscious coherence of religion declined after the Middle Ages because of the effects of the explorations of the non-European world and the gradual demotion of the sacred language itself. The older communities lost confidence in the unique sacredness of their languages (the idea that a particular script language offered privileged access to ontological truth), and thus lost confidence in their ideas about admission to membership in the religious community.
  • there were changes in the dynastic realm. In the older imagining, states were defined by centers, borders were porous and indistinct, and sovereignties faded with one another. However, in he 17th C, the automatic legitimacy of the sacral monarchy began its decline and people began to doubt the belief that society was naturally organized around high centers.
  • was a conception of temporality in which cosmology and history were indistinguishable. In the Middle Ages, time was thought to be simultaneous; the modern idea was of homogeneous, empty time. They idea of a sociological organism moving calendrically through homogenous, empty time is a precise analogue of the idea of the nation, which also is conceived as a solid community moving steadily through history. These three changes lead to a search for a new way o linking fraternity, power, and time together.
Capitalism was especially important because the expansion of the book market contributed tot he revolutionary vernacularization of languages. This was given further impetus by three extraneous factors:
  • a change in the character of Latin
  • the impact of the Reformation, which led to the mass production of Bibles
  • the spread of particular vernaculars as instruments of administrative centralization.
Print languages laid the foundation for national consciousness in three ways:
  • they created unified fields of exchange and communication
  • they gave a new fixity to language
  • they created languages-of-power of a kind different from the older administrative vernaculars
However, the concrete formation of contemporary nation-states is not isomorphic with the determinate reach of particular print languages, one must also look at the emergence of political entities on the world stage.

Anderson is concerned with determining why it was Creole communities (those formed and led by people who shared a common language and common descent with those against who they fought) that developed early conceptions of their nation-ness well before most of Europe. There are 6 factors of Creole history that contributed to this:
  • the tightening of Madrid's control on these areas
  • the spread of the liberalizing ideas of the Enlightenment
  • the improvement of trans-Atlantic communication
  • the willingness of the "comfortable classes" to make sacrifices in the name of freedom
  • the ability of the administrative units to create meaning through the religious pilgrimage (refer to Victor Turner) and the internal interchangeability of mean and documents which helped created a unified apparatus of power
  • the rise of the newspaper which implies the refraction of events, even "world events" into a specific imagined world of vernacular readers
The failure of the Spanish-American experience to generate a permanent Spanish-American-wide nationalism reflects both the general level of development of capitalism and technology in the late 18th C and the "local" backwardness of Spanish capitalism and technology in relation to the administrative stretch of the empire. The Protestant, English-speaking people to the north were much more favorably situated for realizing the idea of "America."

The close of the era of successful national liberation movements in the Americas coincided with the onset of the age of nationalism in Europe. These "new nationalisms" were different in two respects: 1.) national print languages were of central ideological and political importance, and 2.) the nation became something capable of being consciously aspired to from early on due to the "models" set forth by the Creole pioneers. Vernacular print capitalism is important to class formation, particularly the rise of the bourgeoisie. Prior to this, solidarities were the products of kinship, clientship, and personal loyalties. The bourgeoisie, however, achieved solidarities on an imaginary basis through print capitalism. That is, they didn't know one another because of marriage or proper transactions, but because they came to visualize others like themselves through print. The nobility then were potential consumers of the philological revolution. As soon as the events of the Americas reached the European nobility through print, the imagined realities of nation-states became models for Europe.

From about the middle of the 19th C there developed "official nationalism" in Europe. they were responses by power groups threatened with exclusion from popular imagined communities (e.g., Russia, England, and Japan). They were a means for combining naturalization with retention of dynastic power. The model of official nationalism was also followed by states with no serious power pretensions, but whose ruling classes felt threatened by the world-wide spread of nationally imagined communities (e.g., Siam, Hungary).

The last wave of nationalism was the transformation of the colonial-state to the national state. This was facilitate by three factors:
  • the increase in physical mobility
  • increasing bureaucratization
  • the spread of modern-style education
It was a response to the new-style global imperialism made possible by the achievements of industrial capitalism. The paradox of official nationalism was that it brought the idea of "national histories" into the consciousness of the colonized. In addition, this last wave arose in a period of world history in which the nation was becoming an international norm and in which it became possible to "model" nationness in a more complex way that before.

Nation-ness is "natural" in the sense that it contains something that is unchosen (much like gender, skin color, and parentage). It has an aura of fatality embedded in history. It is not, however, the source of racism and anti-Semitism. Racism erases nation-ness by reducing the adversary to his/her biological physiognomy. Nationalism thinks in terms of historical destinies, while racism dreams of eternal contaminations whose origins lie outside of history. The dreams of racism actually have their origin in ideologies of class, rather than those of nation.

Revolutions, such as those in Vietnam, Kampuchea, and China, are contemporary exhibits of nationalism, but this nationalism is the heir of two centuries of historic change. Nationalism has undergone a process of modulation and adaptation, according to different eras, political regimes, economies, and social structures. As a result, the "imagined community" has spread out to ever conceivable contemporary
society.

These three institutions of power profoundly shaped the way in which the colonial state imagined its dominion. The census created "identities" imagined by the classifying mind of the colonial state. The fiction of the census is that everyone is in it, and that everyone has one, and only one, extremely clear place. The map also worked on the basis of a totalizing classification. It was designed to demonstrate the antiquity of specific, tightly bounded territorial units. It also served as a logo, instantly recognizable and visible everywhere, that formed a powerful emblem for the anticolonial nationalism being born. The museum allowed the state to appear as the guardian of tradition, and this power was enhanced by the infinite reproducibility of the symbols of tradition.

Awareness of being embedded in secular, serial time, with all its implications of continuity, yet of "forgetting" the experience of this continuity, engenders the need for a narrative of "identity."

02 February 2006

Government in the Future

Informasi buku dari Frontline Book

Judul: Government in the Future
Penulis: Noam Chomsky
Penerbit: Seven Stories Press

Tahun terbitan: ---

ISBN: 1583226850


Pada paparan yang terbilang klasik yang disampaiakn di Poetry Center, New York, pada 16 Februari 1970, Noam Chomsky mengartikulasikan secara jernih, visi tentang perubahan sosial yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Chomsky mengajukan pemikiran yang berlawanan dengan pemikiran liberal klasik, sosialis libertarian, sosialis negara dan kapitalis negara, serta mempertahankan pendapatnya bahwa visi sosialis libertarian sebagai yang “sesuai dan merupakan perpanjangan dari liberalisme klasik menuju era masyarakat industri." Dalam kesimpulannya Chomsky berargumen bahwa penggunaan kekayaan material dan kekuasaan sangat tidak manusiawi dan tidak rasional, dan dia mengusung perubahan yang mengakar.

01 February 2006

Space, Culture and Power: New Identities in Globalizing Cities

Informasi buku dari Zed Books

Judul: Space, Culture and Power: New Identities in Globalizing Cities Penyunting: Ayse Oncu dan Petra Weyland Penerbit: Zed Books Tahun terbitan: 1997 ISBN: 1856495043 Jumlah halaman: 224


Large cities in both North and South are caught in the contradictory logics of globalization and localization. This book looks at how ethnic minorities, tribal groupings and marginalised subcultures in urban areas appropriate contemporary discourses - of consumerism, Islam, human rights - to voice new cultural alternatives. Through a variety of cities, including Beirut, Berlin, Cairo, Istanbul, Manila and Singapore, it explores how social and cultural boundaries are renegotiated as new social networks of global trade and finance create new opportunity spaces. In doing so, the authors demonstrate how the global is translated by different groups of urban actors into practices which transform the physical as well as social and cultural spaces of the city.
‘Fascinating and original studies of cities as diverse as Singapore and Istanbul, prominant poles in the processes of globalizaiton, yet here considered in their particularities and minutiae of communities and neighborhoods, constructing their living and symbolic spaces in the web of powers, constraints and opportunities generated by the interaction of the global, the national and the local. These are refreshing perspectives.’ - Sami Zubaida, School of Oriental and African Studies
‘Rrefreshing and timely... this book enriches current debates with perspectives ‘from below’ drawn from diverse metropolitan contexts ranging from Istanbul, Cairo and Beirut to Manila and Singapore. Alongside offering the reader a wealth of much-needed empirical material, it makes an important analytic contribution by insisting on a sophisticated and dynamic understanding of processes of ‘localization’, not as inert, resistive or residual, but as actively shaping the outcomes of globalization’ - Deniz Kandiyoti, School of Oriental and African Studies
Contents

1. Introduction: Struggles Over ‘Lebensraum’ and Cultural Identity in Globalizing Cities- Ayse Öncü & Petra Weyland

PART I: Global Visions and Changing Discourses of Power
2. Between Economy and Race: Asianization of Singapore - Beng Huat Chua
3. On Two Conceptions of Globalization: the Debate Around the Reconstruction of Beirut - Suzanne Kassab
4. The Myth of the ‘Ideal Home’: Travels Across Cultural Borders to Istanbul - Ayse Öncü

PART II: Symbolism of Space and the Struggle for ‘Lebensraum’
5. Culture Shock and Identity Crisis in German Cities - Ulrich Mai
6. Gendered Lives in Global Spaces - Petra Weyland
7. The Metropolitan Dilemma: Global Society, Localities and the Struggle for Urban Land in Manila - Erhard Berner

PART III: Rediscovering Islam Through the Prism of the Local
8. Re-imagining the Global: Location and Local identities in Cairo - Farha Gannam
9. Formation of a Middle-class Ethos and its Quotidian: Revitalizing Islam in Urban Turkey - Ayse Saktanber
10. Tribesmen in the Global City: The Remolding of a Cultural and Political Identity - Gunter Seufert
11. Travelling Islam: Mosques without Minarets in the Netherlands - Jan Nederveen Pieterse

Bibliography
Index

Decolonizing Methodologies: Research and Indigenous Peoples

Informasi buku dari Zed Books

Judul: Decolonizing Methodologies: Research and Indigenous Peoples
Penulis: Linda Tuhiwai Smith
Penerbit: Zed Books

Tahun terbitan: 1999

ISBN: 1856496244

Jumlah halaman: 244


From the vantage point of the colonized, the term 'research' is inextricably linked with European colonialism; the ways in which scientific research has been implicated in the worst excesses of imperialism remains a powerful remembered history for many of the world's colonized peoples. Here, an indigenous researcher issues a clarion call for the decolonization of research methods.

The book is divided into two parts. In the first, the author critically examines the historical and philosophical base of Western research. Extending the work of Foucault, she explores the intersections of imperialism, knowledge and research, and the different ways in which imperialism is embedded in disciplines of knowledge and methodologies as 'regimes of truth'. Providing a history of knowledge from the Enlightenment to Postcoloniality, she also discusses the fate of concepts such as 'discovery, 'claiming' and 'naming' through which the west has incorporated and continues to incorporate the indigenous world within its own web.

The second part of the book meets the urgent need for people who are carrying out their own research projects, for literature which validates their frustrations in dealing with various western paradigms, academic traditions and methodologies, which continue to position the indigenous as 'Other'. In setting an agenda for planning and implementing indigenous research, the author shows how such programmes are part of the wider project of reclaiming control over indigenous ways of knowing and being.

Exploring the broad range of issues which have confronted, and continue to confront, indigenous peoples, in their encounters with western knowledge, this book also sets a standard for truly emancipatory research. It brilliantly demonstrates that ‘when indigenous peoples become the researchers and not merely the researched, the activity of research is transformed.’
'This book is a counter-story to western ideas about the benefits of the pursuit of knowledge. Looking through the eyes of the colonized, cautionary tales are told from an indigenous perspective, tales designed not just to voice the voiceless but to prevent the dying - of people, of culture, of eco-systems. The book is particularly strong in situating the development of counter practices of research within both western critiques of western knowledge and global indigenous movements. Informed by critical and feminist critiques of positivism, Tuhiwai Smith urges `researching back' and disrupting the rules of the research game toward practices that are `more respectful, ethical, sympathetic and useful' vs racist practices and attitudes, ethnocentric assumptions and exploitative research. Using Kaupapa Maori, a `fledgling approach', toward culturally appropriate research protocols and methodologies, the book is designed primarily to develop indigenous peoples as researchers. In short, Tuhiwai Smith begins to articulate research practices that arise out of the specificities of epistemology and methodology rooted in survival struggles, a kind of research that is something other than a `dirty word' to those on the suffering side of history.' - Patti Lather, Professor of Educational Policy and Leadership, Ohio State University and author of Getting Smart: Feminist Research and Pedagogy With/in the Postmodern (Routledge, 1991) and Troubling the Angels: Women Living With HIV/AIDS, with Chris Smithies (Westview, 1997)
`Finally, a book for researchers working in indigenous researchers. Linda Smith goes far beyond de-colonizing research methodology. Our contextual histories, politics, and cultural considerations are respectfully interwoven together. Our distinctiveness remains distinct, but there are important places where our issues and methodologies intersect. Stories of research experiences, examples of projects, critical examination, and mindful reflection are woven together to make meaningful and practical designs related to indigenous issues and research' - Jo-ann Archibald, Sto:lo Nation and Director of the First Nations House of Learning at the University of British Columbia
'A book like this is long overdue. It will be most useful for both indigenous and non-indigenous researchers in educational and non-educational institutions. It will empower indigenous students to undertake research which uses methods that are culturally sensitive and appropriate instead of those which they have learned about in Research Methods courses in universities which assume that research and research methods are culture-free and that researchers occupy some kind of moral high ground from which they can `observe' their subjects and make judgements about them' - Konai Thaman, Professor of Pacific Education and Culture, and UNESCO Chair of Education, University of the South Pacific
'Linda Tuhiwai Smith is the leading theorist on decolonisation of Maori in New Zealand. This book opts for a dynamic interpretation of power relations of domination, struggle and emancipation. She uses the dual framework the whakapapa of Maori knowledge, and European epistemology, to interpret and capture the world of reality for a `moment in time'. Thus the search for truth in complex human relations is a never ending quest' - Ranginui Walker, Previously Professor of Maori Studies Department and Pro-Vice Chancellor, University of Auckland.
`We have needed this book. Academic research facilitates diverse forms of economic and cultural imperialism by shaping and legitimating policies which entrench existing unjust power relations. Linda Tuhiwai Smith's powerful critique of dominant research methodologies is eloquent, informed and timely. Her distinctive proposals for an indigenous research agenda are especially valuable. Decolonization, she reminds us, cannot be limited to deconstructing the dominant story and revealing underlying texts, for none of that helps people improve their current conditions or prevents them from dying. This careful articulation of a range of research methodologies is vital, welcome and full of promise' - Laurie Anne Whitt, Professor of Philosophy, Michigan Technological University.
`A brilliant, evocative and timely book about an issue that served to both define and create indigenous realities. In recent years, indigenous people, often led by the emerging culturally affirmed and positioned indigenous scholars have intensified the struggle to break free from the chains of colonialism and its oppressive legacy. In writing this boo, Linda Tuhiwai Smith makes a powerful and impassioned contribution to this struggle. No budding researcher should be allowed to leave the academy without reading this book and no teacher should teach without it at their side' - Bob Morgan, Director, Jumbunna CAISER, Centre for Aboriginal and Torres Strait Islanders, University of Technology, Sydney.
Contents

1. Imperialism, History, Writing and Theory
2. Research through Imperial Eyes
3. Colonizing Knowledges
4. Research Adventures on Indigenous Land
5. Notes from Down Under.
6. The Indigenous People's Project: Setting a New Agenda.
7. Articulating an Indigenous Research Agenda
8. Twenty-Five Indigenous Projects
9. Responding the the Imperatives of an Indigenous Agenda: A Case Study of Maori
10. Towards Developing Indigenous Methodologies: Kaupapa Maori Research
Conclusion: A Personal Journey
Notes
Index

Red Azalea

Review dari Socineer

Judul buku: Red Azalea Penulis: Anchee Min Penerbit: Berkley Publishing Group Tahun terbitan: 1995 ISBN: 0425147762


Red Azalea adalah buku memoir pertama yang dihasilkan pengarang Anchee Min dalam bahasa Inggris pada tahun 1994. Ini adalah sebuah prestasi tersendiri, karena Anchee Min baru berimigrasi ke Amerika pada tahun 1984 tanpa pengetahuan bahasa Inggris yang memadai. Dan dalam sepuluh tahun di Amerika, dia bisa menghasilkan karya yang mendapat penghargaan dan dijadikan karangan yang penting untuk dipelajari. Anchee Min berhasil ke Amerika atas bantuan dari sutradara dan artis Joan Chen, artis kelahiran China yang juga sekarang terkenal di Amerika. Joan Chen mulai dikenal luas oleh masyarakat Barat lewat perannya dalam film "The Last Emperor" yang disutradarai oleh Bernardo Bertolucci.

Anchee Min sendiri adalah seorang artis. Debutnya sebagai artis dimulai dengan menjadi finalist dari film politik yang dikoordinir oleh Madame Mao Zedong, Jiang Qing. Pada tahun 1976, Mao Zedong meninggal, dengan meninggalkan pesan terakhir yang meruntuhkan karakter istrinya. Dengan demikian kekuasaan Jiang Qing di China sejak Revolusi Kebudayaan berakhir, dia ditangkap dan diadili. Peristiwa itu jugalah yang merupakan keruntuhan dari karir Anchee Min sebagai artis di China, karena dia dianggap pendukung Madame Mao. Selama enam tahun dia menjadi pekerja di studio sebelum akhirnya artis Joan Chen datang menariknya keluar China.

Kisah Red Azalea ini adalah kisah hidup Anchee Min. Dia dilahirkan di Shanghai tahun 1957 dari keluarga terpelajar yang menjadi bulan-bulanan dalam Revolusi Kebudayaan. Karena kemampuannya dalam bidang bahasa, dia menjadi pimpinan Pengawal Merah dalam usia muda, dimana dia satu saat harus mengkhianati gurunya sendiri dan menuduh gurunya sebagai antek Amerika untuk merusak pikiran generasi muda komunis. Kisah hidup Anchee Min selanjutnya menjadi kisah pergulatan dalam iklim kemunafikan sloganistis komunisme, dimana dia menjadi salah satu pelaku dan korban dalam waktu yang sama.

Pada usia ke tujuh belas, dia dikirim untuk bekerja di pertanian kolektif yang dikelola oleh tentara pembebasan rakyat. Mereka disana bekerja dengan gaya tentara selama bertahun-tahun. Disana dia bertemu dengan Yan, komandan dalam regunya, yang menjadi legenda disana karena keberanian dan kegigihannya dalam menaklukkan lahan. Di bawah Yan, ada lagi pimpinan kelompok yang juga anggota Partai bernama Lu. Persaingan antara Lu dan Yan kemudian melibatkan Anchee Min yang berpihak pada Yan. Kepahitan hidup dan kesepian mempertemukannya dengan Yan, bukan hanya sebagai seorang komandan regu, tetapi juga seorang individu dan wanita yang berperasaan. Dia menemukan diri mencintai Yan. Lu yang tidak menyukai mereka berusaha untuk menghancurkan karir dan masa depan mereka. Di China pada waktu itu, seseorang dengan mudah dihancurkan hanya oleh laporan yang membuat mereka terlihat sebagai reaksioner atau simpatisan kaum liberal.

Beberapa tahun di pertanian kolektif, sebuah tim dari perusahaan film yang dikoordinir oleh Madame Mao mendatangi pertanian-pertanian kolektif untuk mendapatkan pemain-pemain film propoganda yang berjudul Red Azalea. Anchee Min terpilih dari sekian puluhan ribu calon yang diuji menjadi finalist. Disana dia bertemu lagi dengan Lu yang lain, yaitu instrukturnya yang memendam rasa dendam karena dia sendiri tidak lagi mempunyai kesempatan menjadi artis. Instruktur itu menganak-emaskan kandidat lain yang terus menerus menjilatnya, sampai suatu saat Anchee Min disingkirkan untuk menjadi pembantu studio. Anchee Min tidak punya pilihan lain, kecuali harus kembali ke pertanian kolektif, dan menerima kenyataan bahwa dia harus melayani bekas rekan-rekannya sebagai pembantu.

Dalam kekecewaannya dia bertemu dengan Sang Supervisor. Sang Supervisor adalah seorang yang misterius, tidak ada yang mengenal namanya, tetapi diketahui bahwa dia sangat berkuasa, melapor langsung pada Madame Mao. Dia yang paling berkuasa untuk memutuskan program-program Madame Mao dalam bidang produksi dalam bidang kebudayaan ini. Sang Supervisor secara rutin duduk merokok setiap malam di studio, bersama dengan Anchee Min yang juga menghabiskan waktu dalam kegelapan studio merenungi nasibnya. Disana mereka berdialog, dan karena Anchee Min sudah merasa nothing to lose, dia mengeluarkan banyak buah kekecewaannya dan pemikirannya yang lebih bebas. Hubungan mereka berlanjut ke hubungan yang lebih intim.

Sesudah film Red Azalea selesai dibuat, dari Beijing ada kabar bahwa Madame Mao tidak menyukai hasil produksi tersebut, dan film itu harus dibuat ulang. Kali ini peran utama jatuh ke Anchee Min, sudah tentu berkat dukungan Sang Supervisor. Pembuatan film ini tidak terselesaikan karena Ketua Mao keburu meninggal dunia dan meruntuhkan kekuasaan Madame Mao yang merupakan sponsor utama film tersebut.

Novel memoir ini merupakan salah satu dari banyak novel memoir yang ditulis oleh mereka yang mengalami peristiwa Revolusi Kebudayaan. Penulis-penulis kelahiran China ini mendapat kebebasannya di Amerika dan menjadi penulis populer, sambil menciptakan genre baru dalam kesusastraan Amerika, yaitu genre Asia Amerika. Novel ini menarik, karena memperlihatkan sisi lain dari Madame Mao. Umumnya penulis-penulis memoir menceritakan hidup mereka sebagai bagian dari korban Revolusi Kebudayaan, tetapi memoir Anchee Min ini menceritakan dirinya bukan hanya sebagai korban, tetapi juga sebagai bagian dari dialog dari Madame Mao. Madame Mao sudah dihancurkan dan dicerca habis-habisan, dan di buku ini terlihat argumen pembelaan dirinya.

Madame Mao memperlihatkan dirinya yang mengikuti Mao Zedong sejak muda, tetapi tersingkir karena dia seorang wanita yang tak berdaya. Dia disingkirkan ke Soviet, dan bungkam selama puluhan tahun. Dia baru muncul setelah Mao membutuhkan dukungan dirinya karena Mao Zedong merasa ditinggalkan oleh pentolan-pentolan partai ingin melakukan pembaruan. Tokoh misterius dalam novel Anchee Min tidak dikenal identitasnya. Tetapi jika mengikuti ceritanya, bahwa perawakannya seperti wanita, mempunyai gaya seperti wanita, dan perasaan seperti seorang wanita, kita tidak bisa menghindar dari berpikir, bahwa Sang Supervisor itu adalah samaran dari Madame Mao itu sendiri. Tidak mengherankan novel kedua yang ditulis Anchee Min adalah "Becoming Madame Mao".

30 January 2006

Membaca Pulau Jawa: Menelusuri Sejarah Panjang Kolapsnya Sistem Kehidupan

Awicaksono

Mendapat "penugasan" dari seorang kawan untuk merumuskan strategi penanganan bencana di pulau Jawa saya tak ragu untuk menerimanya. Di sela-sela waktu senggang sepanjang dua tahun terakhir saya memang begitu getol membaca dan menelaah sejarah panjang kehancuran sistem kehidupan di pulau Jawa. "Tugas" itu lebih seperti tantangan untuk membuat pemodelan dari dinamika sistem kehidupan pulau Jawa.

Diskusi dengan kawan jauh yang kebetulan sedang berlibur di Indonesia, saya mendapatkan beberapa masukan dan gagasan. Antara lain tentang fakta bahwa kehancuran sistem (system collapse) pulau Jawa sebenarnya sudah berkali-kali nyaris terjadi sepanjang kurun satu abad. Sehingga penting untuk menghindari jebakan linear regression yang tentu saja sangt menguras pikiran dan tenaga.

Saya pun mulai membongkar-bongkar lemari buku. The Ecology of Java yang ditulis bersama oleh Anthony J. Whitten, Suraya Afiff dan Soeriaatmadja, kembali saya buka. Juga buku tua, Land Use and Environment in Indonesia. Buku kompilasi hasil riset bareng peneliti anthropologi Jepang, Belanda dan Indonesia, Beneath the Smoke of Sugar-Mill pun mulai antri di rak buku kerja.

Tidak hanya buku, beberapa situs internet yang sudah saya simpan di bookmarks mulai saya kunjungi lagi satu per satu. Beberapa artikel dan makalah dalam portable document format (PDF) yang saya simpan dalam koleksi e-books pun mulai saya pindahkan ke folder khusus. Ini pekerjaan serius.

Kerangka kerja dan pikir sudah beberapa kali didiskusikan. Tim pun sudah terbentuk. Tugas saya adalah sebagai mentor bagi beberapa orang muda dengan kecakapan yang cukup beragam. Dari lima orang yang saya butuhkan, dua diantaranya tinggal di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Harapan saya, pekerjaan ini akan menghasilkan rumusan pertanyaan-pertanyaan sederhana yang akan dilontarkan kepada masyarakat di beberapa wilayah rawan bencana. Ujungnya, paling tidak ada tiga arena: (1) kemarahan masyarakat; (2) harapan masyarakat; dan, (3) konsep tanding untuk pengurusan kehidupan dan keselamatannya.

Penelitian seperti ini pernah saya kerjakan tiga tahun lalu. Tetapi fokusnya adalah pantai utara Jawa (pantura). Pertanyaan kunci penelitian itu adalah, "Apa yang menyebabkan masyarakat mampu bertahan hidup di kawasan yang secar ekologik dan sosial sudah tidak layak dihuni?" Kesimpula penelitian itu sangat mencengangkan. Satu potret fraktal tentang dinamika demografik yang membuat saya berpikir tentang mutu kehidupan dan mutu lingkungan hidup minimal yang seharusnya ditetapkan negara, dalam memenuhi tanggungjawabnya menjamin rakyat memenuhi kebutuhan dasarnya.

Jakarta, 29 Januari 2006

J.R.R. Tolkien: Penulis The Lord of the Rings

Dirujuk dari Denmas Marto

J.R.R. TolkienTahun 1997, sebuah majalah populer di Inggris mengadakan jajak pendapat tentang buku terbaik abad ke-20. Ribuan orang memberikan tanggapan. Pemenangnya, dengan keunggulan angka sangat mencolok: The Lord of the Rings (LOTR), karya J. R. R. Tolkien, yang terbit pertama kali tahun 1954-1955.

Para pakar sastra kebakaran jenggot. Bagaimana mungkin sebuah cerita fantasi menang? Mereka kembali menggelar jajak pendapat, dan karya Tolkien kembali unggul. Ketika jajak pendapat diulang untuk ketiga kalinya, untuk ketiga kalinya pula publik menegaskan pendapat mereka: Tolkien adalah favorit mereka.

New Line mengangkat buku itu ke layar perak. Desember 2001 lalu, bagian pertama film LOTR, The Fellowship of the Ring, diluncurkan. Dua bagian lanjutannya akan diedarkan berturut-turut pada Natal tahun ini dan tahun depan. Sampai April 2002, The Fellowship telah menduduki peringkat kelima dalam daftar film terlaris sepanjang sejarah untuk peredarannya di seluruh dunia.

Nah, tahukah Anda kalau penulis LOTR adalah seorang Katholik yang saleh?

Cinta Bahasa

John Ronald Reuel Tolkien lahir di Afrika Selatan tahun 1892. Ayahnya meninggal tidak lama setelah adiknya lahir. Beberapa tahun kemudian, setelah mereka pindah ke Birmingham, sang ibu meninggal, dan kakak-beradik itu pun dibesarkan oleh imam Gereja Katholik.

Prestasi belajar Tolkien biasa-biasa saja, namun bakat kebahasaannya sangat menonjol. Berkat didikan dan disiplin ibunya, Tolkien sudah fasih membaca dan menulis sebelum berumur empat tahun. Ia memahami cara kerja bahasa, dan bahkan menyusun suatu bahasa tersendiri. Ia menekuni kecintaan pada bahasa ini dengan belajar di Oxford dan kemudian mengajar filologi di kampus itu. Ia termasuk salah satu profesor yang paling terhormat di Oxford. Dari kecintaannya akan bahasa itulah ia menjelajahi berbagai mitologi dunia. Ia menulis LOTR, katanya, untuk memberi Inggris mitosnya sendiri.

Latar mitos ini adalah Dunia Tengah, sebuah dunia yang direka olehnya, lengkap dengan peta dan bahasanya. LOTR adalah kisah epik tentang cincin bertuah yang diwariskan kepada Frodo Baggins, seorang hobbit muda, dan bagaimana peranannya dalam sejarah Dunia Tengah. (Hobbit adalah makhluk seperti manusia, tingginya sekitar setengah tinggi manusia normal. Mereka biasa tinggal dalam lubang, suka makan, suka berkebun dan suka hadiah.)

Mitos dan Kebenaran


Mengapa menulis mitos? Meskipun kebanyakan orang melihat mitos sebagai kisah tentang sesuatu yang tidak benar atau tidak nyata, Tolkien beranggapan sebaliknya. Menurutnya, ada kebenaran yang melampaui diri kita, kebenaran transenden, tentang keindahan, kebenaran, kasih, dsb. Meskipun kebenaran itu tidak terlihat, bukan berarti ia tidak nyata. Melalui bahasa mitoslah kita dapat mengungkapkan kebenaran ini.

Pandangan Tolkien tentang mitos ini sangat menolong C.S. Lewis untuk kembali mempercayai Kekristenan. Semua mitos lain di dunia, kata Tolkien, adalah campuran antara kebenaran dan kesalahan. Kebenaran – karena mitos itu ditulis oleh orang-orang yang diciptakan oleh dan bagi Allah; kesalahan – karena mitos itu ditulis oleh mereka yang telah kehilangan kemuliaan Allah. Namun, Alkitab adalah satu-satunya mitos yang benar. Alkitablah catatan kebenaran yang sejati, sedangkan semua mitos lain hanya menyalinnya.

Persahabatan

Tolkien juga sangat menghargai persahabatan. Hal ini tampak jelas baik dalam karyanya maupun dalam kehidupannya. Dalam LOTR, kita dapat melihat persahabatan antara Frodo dan Sam serta Frodo dan Aragorn. Dalam kehidupannya, ia bersahabat erat dengan C.S. Lewis.

Persahabatan adalah karunia. Persahabatan berlangsung sewaktu dua orang bertemu dan memiliki perspektif, pengalaman, pengertian, “kekayaan” atau beban yang sama. Dan persahabatan seperti ini patut dihargai.

Tolkien dan Lewis jelas menghargai persahabatan mereka. Tolkien menulis, “Saya banyak mendapatkan berkat dari persahabatan dengan Lewis. Selain mendatangkan kegembiraan dan penghiburan, saya juga dikuatkan karena berhubungan dengan seorang pria yang jujur, berani, cerdas – seorang sarjana, penyair dan sekaligus filsuf – dan yang akhirnya, setelah bergumul sekian lama, menjadi orang yang mengasihi Tuhan kita.”

Seperti Hobbit

Tolkien melihat dirinya seperti hobbit, kecuali tinggi badanya. Ia suka makan, suka berkebun dan berjalan-jalan di desa. Ia juga suka mengisap pipa, suka cerita, suka berteman. Ia mencintai keluarganya, dan lebih senang tinggal di rumah daripada bepergian. Ia suka bercanda, ramah dan murah hati. Ia tidak bertekad untuk mengubah dunia, namun ia bertekad untuk menjalani kehidupan yang telah Tuhan berikan ini dalam ketaatan.

Ia percaya bahwa keluarga, rumah dan pekerjaan adalah jantung kehidupan kita. Pekerjaan berarti semua yang dilakukannya, bukan hanya yang mendatangkan penghasilan. Ia biasa makan tiga kali sehari dan minum teh bersama keluarganya. Baginya, keluarga, rumah dan pekerjaan adalah hal-hal saleh yang lebih menyenangkan hati Allah daripada “perbuatan baik” lainnya.

Menikah dengan Edith Bratt, ia dikaruniai empat anak – John, Michael, Christopher, and Priscilla. Joseph Pearce dalam bukunya, Tolkien: Man and Myth, menulis, "Cukup beralasan untuk menduga bahwa seandainya Tolkien tidak dikaruniai anak, ia tidak akan menulis The Hobbit atau LOTR." Selama menulis LOTR, Tolkien biasa mengirimkan bab-bab yang telah rampung kepada anaknya, Christopher.

LOTR berakhir di rumah hobbit. Sebagian orang menganggapnya sebagai antiklimaks mengingat luasnya cakupan epik tersebut. Namun hal ini hanya menegaskan bahwa, bagi Tolkien, semua peperangan, heroisme dan perbuatan yang penuh keberanian tidaklah seberharga apa yang berlangsung dalam keseharian kita yang bersahaja.
Sesuatu yang Lebih Baik

Hidup Tolkien juga penuh akan visi masa depan. Bukan visi tentang apa yang akan dilakukannya bagi Tuhan, melainkan visi tentang apa yang Tuhan sediakan baginya. Pikirannya terarah pada apa yang oleh Calvin disebut sebagai “meditasi tentang kehidupan yang akan datang”. Ia sadar dan yakin sepenuhnya bahwa “Semua penderitaan yang kita alami sekarang... tidak dapat dibandingkan sama sekali dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.”

Fakta bahwa kita merindukan sesuatu yang lebih baik, menurutnya, membuktikan bahwa memang ada hal yang lebih baik yang disediakan bagi kita. Ia menulis pada seorang teman: “Kita lahir pada zaman kegelapan yang tidak ramah pada kita. Namun inilah penghiburan kita: kalau tidak demikian kita tidak akan tahu... apa yang kita kasihi. Saya bayangkan, ikan yang di luar air adalah satu-satunya ikan yang mendapatkan firasat tentang air.” Orang Kristen adalah ikan yang di luar air, hidup di luar lingkungan yang semestinya bagi dia. Kita adalah pengembara, orang asing, orang buangan, yang akan segera pulang.

Tolkien sendiri pulang ke rumah Bapanya pada 2 September 1973.

29 January 2006

Climate Change Policy: A Survey

Dirujuk dan diterjemahkan dari CESP - Books and Book Chapter

Informasi Buku

Judul buku: Climate Change Policy: A Survey
Penulis: Stephen H. Schneider , Armin Rosencranz, John O. Niles (editor)

Penerbit: Island Press

Tahun terbitan: 2002

ISBN: 1559638818


Pertanyaan-pertanyaan di sekitar isu perubahan iklim tumbuh mulai dari "Apakah ini sungguh terjadi?" hingga "Apa yang dapat kita lakukan?" Kendala utama untuk menangani isu ini pada situasi sekarang bukanlah perkara ilmiah tetapi justru perkara politik dan ekonomi; jelas bahwa jalan keluar yang cepat sangat tidak mungkin.

Ketidaktahuan dan kebingungan menyangkut isu, termasuk kurangnya pemahaman mendasar tentang perubahan iklim, dampaknya terhadap lingkungan hidup dan masyarakat manusia, serta kisaran pilihan-pilihan kebijakan yang tersedia, menyumbang kepada kekacauan-kekacauan politis dalam penanganan perubahan iklim. Kebijakan perubahan iklim mencoba menelaah situasi yang ada dengan mengangkat secara bersama-sama pemikiran-pemikiran baru dari para ahli terkemuka yang mengkaji isu ini dari berbagai dimensi, utamanya dalam membangun pemahaman tentang perubahan iklim dan kebijakan untuk menanganinya. Bab-bab buku ini mempertimbangkan:
  • ilmu iklim dari perspektif sejarahnya
  • kajian-kajian tentang ketidakpastian dalam khasanah ilmiah dan kebijakan iklim
  • sisi ekonomik kebijakan iklim
  • isu-isu keadilan Utara-Selatan dan antargenerasi
  • peran dunia usaha dan industri dalam upaya pencarian jalan keluar isu iklim
  • mekanisme kebijakan, meliputi pelaksanaan bersama (joint implementation), perdagangan emisi (emissions trading), dan apa yang disebut dengan mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism)
Terlepas dari naik-turunnya status Protokol Kyoto, isu-isu yang terus terangkat dalam debat ini akan tetap berlangsung mengingat rejim-rejim perlindungan iklim yang baru terus bermunculan; buku ini mencoba untuk merangkumnya sekaligus. Mengaitkan bab-bab buku ini secara bersama-sama muncullah sebuah kesimpulan bersama bahwa perubahan iklim adalah ancaman yang sungguh-sungguh dan serius, dan bahwa kita sebagai bagian dari masyarakat dunia memiliki kewajiban tidak hanya untuk beradaptasi dengan perubahan tersebut, tetapi juga untuk mengurangi dampak-dampaknya menggunakan cara yang paling cerdas yang dapat dikembangkan. Efektifitas biaya jadi tidak relevan ketika kita bicara tentang prospek kerugian jangka panjang dan masa depan yang luar biasa besar.

Download sebagian bab buku ini, silakan ke sini.

Mengukir 81 Tahun Pramoedya Ananta Toer

Dikirim oleh Bursa Matabaca
Pengumuman lewat milis Apakabar

Pramoedya Ananta Toer adalah sastrawan besar Indonesia. Budayawan dan insan politik yang berpihak pada rakyat yang tertindas. Hidup sebagai orang yang tertindas oleh suatu rezim di negeri yang ia cintai justru membuat adrenalin kreativitasnya terus mengalir dan menghasilkan karya-karya yang sangat bernilai. Sejumlah lembaga pun memberikan penghargaan atas pencapaian karya-karyanya. Bahkan beliau sudah berkali-kali menjadi nominator nobel untuk bidang sastra.

6 Februari 2005, Pramoedya berusia 81 tahun. Eksistensi dan pencapaiannya tentu patut dirayakan dan menjadi catatan penting sejarah bangsa Indonesia. Ikuti perbincangan menarik seputar sosok dan karya Pramoedya di Pustaka-Pustaka Pro 3 FM pada:
Hari/Tanggal: Rabu, 1 Februari 2006
Waktu: Pk. 14.00—16.00 WIB
Tempat: Studio B RRI, Jln. Medan Merdeka Barat 4—5, Jakarta Pusat
Narasumber: Parni Hadi (President Director RRI), Daniel Dhakidae (Kepala Litbang KOMPAS) & Happy Salma (Pembaca Karya Pramoedya)
Host: M. Fadjroel Rahman
Acara ini akan dihadiri oleh Pramoedya.

Terbuka untuk umum. Tempat terbatas! Konfirmasi kehadiran melalui vi_mel99@yahoo.com dan melvi@matabaca.com. Anda juga bisa mendapatkan MATABACA edisi Februari 2006 dan buku-buku karya Pramoedya di lokasi acara.

Acara ini dipersembahkan oleh Radio Republik Indonesia dan Majalah MATABACA dan didukung oleh KOMPAS, Toko Buku Gramedia, dan Kepustakaan Populer Gramedia.

Kiat Mencari Buku-buku Perpustakaan Menggunakan RedLightGreen

Oleh Gary Price, News Editor
Dimuat di Search Engine Watch, 31 Oktober 2005

Google Scholar bukan satu-satunya layanan online yang dapat membantu Anda menelusuri dan memperoleh buku-buku. Sebuah mesin pencari (search engine) dengan nama yang aneh, RedLightGreen, terbukti sangat ampuh dan memiliki beberapa kelebihan yang tak dimiliki mesin pencari lainnya.

RedLightGreen adalah layanan pencari yang dirancang untuk mudah digunakan, membantu Anda mencari dan mengakses perpustakaan-perpustakaan. Mesin pencari ini dikembangkan oleh RLG, sebuah organisasi perpustakaan yang berbasis di California. Database yang dikembangkan, atau yang populer di kalangan pustakawan dengan sebutan "union catalog" dan mengandung informasi bibliografik lebih dari 120 juta buku. Selain itu ia pun menyediakan fitur lain yang sangat mengesankan.

Sebagai contoh, pencarian tentang "Internet History". Hasil pencarian tidak hanya mengandung daftar kunjungan (list of hits) tetapi juga informasi bantuan, yang memudahkan Anda mempersempit dan memfokuskan pencarian. Perhatikan kolom di sisi kiri halaman.

Di sini Anda akan mendapatkan pilihan-pilihan untuk memfokuskan pencarian hingga ke subyek yang sangat spesifik. Darimana links (jejaring informasi) itu diperoleh? Ternyata informasi hasil pencarian tersebut berasal dari daftar subyek utama yang telah dibangun secara manual oleh para penyusun katalog, menggunakan kosakata terkendali yang disebut Library of Congress Subject Headings. Memanfaatkan keuntungan dari penjelasan subyek utama seringkali memudahkan Anda mendapatkan material yang dibutuhkan secara cepat.

Selain itu, Anda pun akan mendapatkan daftar nama pengarang yang dapat di-klik. Dan jika Anda ingin membatasi pencarian untuk bahasa tertentu, itu dapat dilakukan hanya dengan satu klik saja.

Moda layanan pencarian lanjut (advanced) dengan pilihan yang lebih sedikit juga tersedia.

Begitu Anda memiliki sebuah daftar buku, apa yang dapat dilakukan? Anda tinggal mengunjungi halaman-halaman dari setiap judul.

Perhatikan kotak hijau di sisi atas kanan halaman dengan tulisan, "Get it at your library." Jika Anda klik link ini, Anda dapat memeriksa secara cepat perpustakaan yang Anda tuju memiliki koleksi itu atau tidak. Bahkan RLG baru saja menambahkan link langsung ke LEBIH DARI RIBUAN katalog perpustakaan di seluruh dunia. Jika Anda mendaftar (gratis dan cepat), perpustakaan-perpustakaan setempat akan selalu di-link-kan.

Kotak hijau lain di sisi kanan halaman disediakan bagi Anda untuk menyimpan materi-materi yang telah dikumpulkan. Anda dapat mengeset dan memformat daftar tersebut menggunakan format bibliografik. Karena lebih mudah mengirim bibliografi lewat email.

Halaman hasil pencarian juga mengandung link untuk mengecek persediaannya di toko-toko buku melalui database Amazon.com, serta link lain dari Google.

Jika Anda kemudian menggunakan RedLightGreen, jangan lupa, mesin pencari ini pun memiliki plugin untuk Mozilla Firefox.

Saya hanya menyajikan informasi permukaan saja dan berharap dapat menulis lebih banyak tentang proyek ini. RedLightGreen sungguh sangat berharga dan berguna untuk pekerjaan saya. Anda dapat membaca artikel tentang RedLighGreen di sini dan sini.

Terimakasih Pak John MacDougall untuk rujukan artikel ini.

27 January 2006

Bacaan-bacaan Bagus

Awicaksono

Pengelola

Terimakasih kepada Pak John MacDougall untuk rujukan-rujukannya. Bahan bacaan di bawah ini diekstrak dari mailing list yang dikelola Om John, yakni Indonesian Studies.
Untuk mengambil (downloading) bahan bacaan di atas, cukup klik kanan mouse Anda, lalu pilih perintah "Save Target As.." (pada Internet Explorer), atau "Save Link As.." (pada Mozila Firefox). Untuk dapat membacanya komputer Anda harus memiliki piranti-lunak Acrobat Reader. Piranti-lunak itu dapat diambil secara gratis di situs Adobe Acrobat.

Ada pertanyaan? Silakan email saya.

26 January 2006

Refleksi Tulisan-tulisan Advokasi

Awicaksono

Sore tadi sempat berdiskusi lumayan panjang dengan seorang pembuat film dokumenter, Chandra. Sebuah diskusi lanjutan di luar ruang diskusi, setelah saya melempar pertanyaan kepada ketiga narasumber dalam diskusi "Film Sebagai Media Perlawanan," sebagai bagian program "South to South Film Festival." Ada banyak hal yang menarik dari diskusi itu. Dan itu membuat saya merenungkan tentang tulisan-tulisan advokasi yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau organisasi masyarakat sipil (OMS) atau organisasi non-pemerintah (Ornop), entah itu berupa siaran pers (press release) atau kertas posisi.

Saya kira apa yang saya dan Chandra perdebatkan tentang film sebagai medium perlawanan cukup relevan untuk direfleksikan ke tulisan-tulisan LSM, OMS atau Ornop di media-media massa cetak. Beberapa hal yang sempat saya catat:

1. Daya jangka medium: Luas atau spesifik (segmented)? Masing-masing punya keuntungan dan resiko sendiri-sendiri;

2. Dampak: Pengaruh-pengaruh yang secara sederhana dapat diukur akibat penyampaian pesan lewat medium yang dipilih;

3. Tali emosi antara pesan dengan publik: Selain tentang kepada siapa disampaikan pesan bersangkutan, penting pula dipertanyakan, apakah publik punya urusan dengan kandungan pesan?

4. Konsistensi dan kreatifitas taktik penyampaian: Untuk konteks Indonesia, penyampaian yang terus-menerus dan konsisten sangatlah penting. Tetapi kreatifitas untuk secara terus-menerus merumuskan taktik-taktik penyampaian tak kalah penting. Karena publik di Indonesia punya kecenderungan pelupa terhadap kesusahan-kesusahan yang dihadapinya.

Menggunakan keempat kriteria di atas saya coba menengok ulang tulisan-tulisan yang dihasilkan LSM, OMS atau Ornop.

Pertanyaan pertama yang saya ajukan, "Mengapa tulisan itu dimuat media?" Jawabannya bisa sangat beragam. Salah satunya, kedekatan hubungan antara pegiat LSM, OMS atau Ornop dengan "orang dalam." Tetapi bukan tak mungkin karena momentumnya sesuai.

Pertanyaan selanjutnya, "Apakah tulisan itu sudah memikirkan dampak yang ingin dihasilkan jika ia dimuat dan dipublikasikan media?" Meski tak punya data yang valid, tapi saya punya feeling, dampak tidak masuk dalam proses perencanaan penulisan. Itu pun jika memang ada prosesp perencanaan penulisan. Yang lebih sering saya dengar, perumusan tujuan penulisan. Misal, "Menyadarkan masyarakat tentang isu penting yang mengancam keselamatannya," dan sebagainya. Lalu?

Tanpa harus melanjutkan analisis menggunakan kriteria lainnya, saya berhenti bertanya. Saya coba membuka-buka arsip tulisan-tulisan tersebut. Beberapa catatan saya buat. Beberapa diantaranya:

1. Tidak punya fokus: Terlalu banyak "pesan kunci" yang "ingin" disampaikan. Tidak mempertimbangkan bahwa pembaca, siapa pun dia, tidak memiliki skala prioritas dan kepentingan yang sama dengan si penulis pesan.

2. Terlalu sibuk bermain-main dengan data: Berbagai data, yang sebagian besar adalah data sekunder, disajikan tetapi gagal menghidupkan "pesan kunci." Data-data yang disajikan lebih berkesan sebagai ekspresi ego si penulis pesan.

3. Sibuk dengan opini tetapi tak mampu membangun artikulasi yang afirmatif: Keberpihakan memang penting, tetapi tidak harus menjadi dogmatik. Sebagian tulisan-tulisan belum berhasil mengartikulasikan sikap lewat opini. Yang lebih banyak disampaikan adalah opini-opini asal keras yang tidak menunjukkan dimana posisi si penulis pesan berpijak.

Begitu banyak tulisan advokasi yang tersebar di media yang hanya mampu meneriakkan protes dan tuntutan. Namun belum banyak yang berhasil menyentuh "syaraf marah" publik pembaca, sehingga menggerakkan mereka.

Jakarta, 26 Januari 2006