07 November 2007

The Global Nexus - Kebangkitan 1908 dan Kemacetan (?) 2008

Suara Pembaruan - 4 Nov 07

9

Christianto Wibisono

Kepala Divisi Kriminal Komersial Polisi Diraja Malaysia Ramli Yusuf sedang menghadapi dakwaan ACA, Anti Corruption Agency, KPK-nya Malaysia. Ramli dituduh menyalahgunakan wewenang memperkaya diri hingga memiliki properti senilai RM 27 juta. Ramli mengeluh bahwa ia dijadikan korban politik dan berseru kepada LSM dan media internet Malaysia kini agar membela hak asasinya. Padahal, ketika berkuasa di Kepolisian Malaysia, Ramli termasuk galak dan arogan terhadap media.

Di Jakarta, Jumat (2/11/07), Laksamana Sukardi, mantan Menteri Negara BUMN selaku Komisaris Utama Pertamina, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pada penjualan kapal tanker raksasa atau very large crude carrier (VLCC) Pertamina.

Pada Senin (29/10), pengacara TIME Mulya Lubis selaku Ketua Chapter mendampingi Huguette Libellle, Presiden Transparency Internasional (TI), mendorong Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar proaktif memimpin kampanye antikorupsi pada tingkat ASEAN. Hari Sabtu ( 27/10) di Washington, Bank Dunia mengumumkan peringkat Indonesia pada nomor 123 dari 178 negara dalam survei Doing Business. Paralel dengan keluhan pengusaha tentang korupsi yang dalam indeks TI berada pada nomor 143 dari 179 negara. Pada Rabu (31/10), WEF (World Economic Forum) mengumumkan peringkat daya saing dunia, dan Indonesia stagnan pada nomor 54. Sementara Tiongkok dari nomor 54 tahun lalu melejit ke nomor 34.

Wartawan senior asal Filipina Eduardo Lachica dalam Seminar Global Nexus Institute, Kamis (1/11), di Washington DC dengan pesimis menanyakan apakah Pemerintah Indonesia dapat mengamankan program REDD yang diajukan untuk Peta Jalan Bali dari ancaman korupsi karena merebaknya kasus illegal logging dan lemahnya penegakan hukum. Korupsi penyalahgunaan wewenang politik sangat sulit dibuktikan secara legal formal, sehingga menurut tajuk The Jakarta Post, Juwono Sudarsono menjadi Defenseless Minister of Defense. Menteri Pertahanan yang tidak mampu bertahan dari tekanan politik, kekuatan unsur legislatif untuk meredam dan meralat ucapan bahwa parlemen terkait dengan konflik kepentingan.

Euforia Demokrasi

Negara berkembang seperti Indonesia memang terjebak dalam euforia demokrasi dan reformasi dengan seolah-olah mengebiri kekuasaan eksekutif presiden. Tapi, membagi porsi kekuasaan kepada legislatif dan judikatif, yang keduanya merasa juga berhak menikmati dan "men-tunai-kan kuasa yang diembannya" sebagai imbalan bahwa mereka telah menunaikan kewajiban sebagai penyelenggara negara yang pantas digaji tinggi.

Sebetulnya kalangan elite Indonesia mirip "Soeharto kecil" yang tidak merasa bersalah dan tidak mempunyai wacana tentang konflik kepentingan. Di Barat pun sampai sekarang masih ada elite yang mempraktekkan tumpang-tindih konflik kepentingan, tapi transparansi dan kekuatan publik opini dan media massa cukup kuat menangkalnya, Sebab supremasi hukum benar-benar ditegakkan terhadap koruptor eselon tinggi sekalipun.

Amerika Serikat adalah induk segala money politics. Tapi, justru karena itu AS juga siap dengan perangkat perundang-undangan yang jelas dan berkepastian hukum untuk mencegah dan menindak terjadinya korupsi penyelenggara negara. Suatu penyalahgunaan kekuasaan publik, untuk kepentingan pribadi, golongan, keluarga, kroni dan jabatan politik. AS sadar benar bahwa manusia pada dasarnya kurang sempurna dan cenderung menyalahgunakan atau ingin menikmati kekuasaan secara berlebihan, dengan alasan telah berjasa dan menang serta dipercaya rakyat untuk memerintah.

Sebaliknya, di negara berkembang elite merasa pasti bermoral dan berdedikasi. Tidak akan korupsi sebab semua sudah tersedia. Juga merasa upeti dari konglomerat bukan korupsi, melainkan sesuatu yang layak, lumrah, dan bahkan wajib. Semuanya campur-aduk, tidak ada pembukuan terpisah atau sengaja menjadi ruwet dan tidak bisa diaudit karena tidak ketahuan mana batasan harta pribadi, sumbangan donator, atau hibah dari penghibah misterius yang tidak bisa ditelusuri apa dan siapanya. Akibatnya terjadi korupsi model dana non-bujeter, di mana kalangan birokrat memeras pengusaha dan masyarakat untuk dibagi dan dinikmati secara arisan dan kolektif sesama politisi. Dengan harapan "demokratisasi korupsi" itu diampuni. Atau paling sedikit tidak ada yang berani menindak, karena yang harus ditangkap banyak orang penting dan penguasa bisa terlibat. Inilah yang menjadikan pemberantasan korupsi di Indonesia dan Malaysia sekarang ini dianggap hanya berani kepada pihak pecundang, mantan elite politik atau lawan politik yang harus disingkirkan, dilemahkan atau dikorbankan. Ini akan menghasilkan siklus politik balas dendam, takut mundur, ngotot berkuasa karena hanya kursi jabatan yang bisa menjamin impunitas para kleptokrat (penguasa korup).

Hidup Mewah

Indonesia dan Dunia Ketiga hanya menjiplak money politics AS tanpa menerapkan batasan undang-undang yang tegas mengendalikan money politics dan konflik kepentingan. Di AS seorang presiden harus segera me-masrahkan aset bisnis dan pribadi keluarganya kepada blind trust management independent. Sehingga jelas berapa kekayaan dan penghasilan pribadi Bill Clinton, George W Bush, atau Barack Obama. Kekayaan mereka mungkin hanya beberapa atau belasan juta dolar. Sedang dana kampanye politik bisa puluhan, bahkan ratusan juta dolar, tapi semua transparan. Bila kebetulan pelobi atau calo politik menyumbang dan ternyata terlibat kriminal maka tim pengelola dana kampanye Clinton atau Bush atau Obama, tinggal menyisihkan dana tersebut untuk dihibahkan kepada lembaga sosial. Masalah dana kampanye partai dan Senator serta anggota Kongres juga ditata ketat dan transparan untuk menghindari "pemerasan politik" oleh jajaran legislatif terhadap masyarakat dan pengusaha.

Di Indonesia selama Soeharto berkuasa praktek simbiose parasitis antara pengusaha, masyarakat, dan pejabat merupakan rahasia umum. Sebab tidak seorang pun pegawai negeri atau penyelenggara negara yang bisa hidup bergelimang aset mewah hanya dari gaji yang nilainya kecil. Tapi, tidak ada yang merasa bersalah atau korupsi. Semua merasa

wajar karena sudah berjasa menjadi penyelenggara negara dan memberikan kemudahan kepada dunia bisnis dan masyarakat. Maka wajar, afdol, dan sah untuk kaya- raya.

Korupsi pada tingkat jajaran elite politik Orde Baru masih diteruskan pada masa transisi ini. KPK sudah berani menggebrak bahkan sampai ke tingkat pejabat Deputy Gubernur BI. Malah Ketua BPK pun akan didengar keterangannya. Orde Baru memang telah diganti Orde Reformasi. Tapi, sekarang kalangan elite Orde Reformasi telah memeratakan gaya Orde Baru, money politics tanpa kontrol dan kritik, di mana seorang Menhan tidak berdaya dan harus menyerah kepada "demokratisasi korupsi" . Sistem korupsi bersama akan tetap menggerogoti bangsa ini. Hasilnya, dalam semua peringkat kita tetap terpuruk, walaupun kita sudah "berdemokrasi" 10 tahun, tapi tanpa efektivitas pengendalian korupsi politik. Perlu suatu transformasi institusional dan penegakan supremasi hukum yang berani merambah pelaku money politics. Hingga merupakan pamungkas perubahan watak klektopkrat menjadi meritokrat. Tanpa transformasi institusional itu maka gebrakan Komite Bangkit Indonesia juga hanya ibarat jalan-jalan di tempat, seperti kata Wiranto. Jauh dari kinerja para perintis Kebangkitan Nasional 99 tahun yang lalu, pada 20 Mei 1908.

Penulis adalah pengamat masalah nasional dan internasional