05 February 2006

Identitas yang Terbelah

Resensi oleh Ahmad Sahidah
Pertama kali dimuat di Kompas Minggu 5 Februari 2006

Buku ini adalah hasil suntingan dari sebuah konferensi bertajuk "Islam in Southeast Asia: Political, Social and Strategic Challenges for the 21st Century" yang diselenggarakan oleh Institut Kajian Asia Tenggara Singapura (ISEAS, Institute for Southeast Asian Studies). Namun demikian, ia telah mengalami perubahan dan pembaruan dengan memasukkan perkembangan terbaru yang menjelaskan peran, relevansi, dan tantangan, demikian juga dimensi politik dan strategi Islam di Asia Tenggara masa kini.

Kehadiran kumpulan karangan ini akan membantu memberikan pemahaman lebih luas mengenai dinamika respons gerakan Islam yang tersebar di negara Asia Tenggara. Meskipun, di satu sisi, mereka mempunyai ideologi dan garis perjuangan yang berbeda, namun di sisi lain, dalam beberapa isu, mereka menunjukkan pandangan dan reaksi yang sama. Di Indonesia, misalnya, Muhammadiyah, NU, dan Majelis Mujahidin mengungkapkan pandangan yang serupa terhadap serangan Amerika ke Afganistan dan Irak sebagai barbar dan menyalahi norma-norma kemanusiaan.

Menurut penyunting, perkembangan sosial, ekonomi, dan politik kawasan ini tidak bisa dilepaskan dari proses globalisasi yang menyebabkan kondisi kemanusiaan tidak aman dan berbahaya. Meskipun globalisasi awalnya dijanjikan sebagai kendaraan bagi pembelaan terhadap martabat manusia dan demokrasi, tampaknya hanya makin memusatkan kekayaan dan kekuasaan yang lebih besar bagi Barat.

Tak dapat disangkal bahwa peristiwa 11 September telah menyebabkan apa yang disebut Subroto Roy, "runtuhnya sebuah percakapan global" karena dengan kekuasaannya yang besar negeri Paman Sam telah memaksakan kehendaknya menyerang sebuah negara tanpa persetujuan internasional. Peristiwa ini menandai putusnya percakapan kosmopolitan dengan Islam. Usaha George W Bush untuk meyakinkan umat Islam bahwa perang ini bukan perang agama, tidak menghapuskan sentimen anti-Amerika dengan segala bentuknya. Hal ini, tegas editor, akibat dari sudut pandang negara Islam dan Amerika yang berbeda melihat kebenaran.

Islam Asia Tenggara yang mempunyai peran strategis, berbeda dengan counterpart-nya di Timur Tengah, mewakili wajah lain. Perbedaan ini dapat ditelusuri dalam beberapa makalah yang dibagi ke dalam tiga bagian. Pertama, doktrin, Sejarah, Perkembangan, dan Lembaga-Lembaga Islam di Asia Tenggara. Kedua, Isu Politik, pemerintahan, masyarakat sipil dan jender di dalam Islam. Ketiga, modernisasi, Globalisasi dan perdebatan Negara Islam di Asia Tenggara dan terakhir adalah pengaruh 11 September terhadap pemikiran dan praktik Islam.

Tema-tema di atas dibahas oleh para ahli dari negara Asia Tenggara, termasuk juga melibatkan penulis asing yang menaruh minat pada isu keislaman, seperti Johan H Mueleman dan Bernard Adeney-Risakotta. Sementara itu, penyumbang dari Indonesia adalah Azyumardi Azra, Bachtiar Effendy, Lily Zakiah Munir, dan Noorhaidi Hasan. Beberapa penulis lain dari Asia Tenggara memang dikenal sebagai ilmuwan yang mempunyai kepedulian besar terhadap isu-isu keislaman Asia Tenggara.

Ulasan Azra dan Meuleman tentang sejarah datang dan berkembangnya Islam di Asia Tenggara, baik dalam pengertian teknis dan ideologi, menunjukkan keragaman pendapat, yang satu sama lain mengajukan bukti yang berbeda sehingga makin mengukuhkan bahwa pelbagai mazhab di Indonesia adalah sebuah keniscayaan mengingat sumber pengaruh yang berbeda. Teknik, jelas Meuleman, maksudnya adalah asal daerah, kelompok atau etnik, dan periode penyebaran Islam ke Asia Tenggara, sedangkan ideologi berkaitan dengan keyakinan yang meluas bahwa bentuk Islam yang paling murni adalah yang lahir pada masa awal kelahiran agama ini. Namun, dengan pelbagai perbedaan temuan, pembawa Islam ke Asia tenggara berasal dari bukan Mekkah dan Madinah sebagai tempat lahirnya Islam, tetapi dari Yaman, Mesir, dan Gujarat India.

Sebagaimana kondisi Islam di Indonesia, dua negara tetangga, Malaysia dan Filipina, juga dihadapkan dengan polarisasi aliran, tradisional-modernis, dan konservatif-liberal. Islamisasi di negara tersebut terakhir, tulis Carmen, para misionaris dan pedagang Islam kawin dengan penduduk lokal, para tokoh politik Muslim tiba kemudian dan memperkenalkan lembaga politik dan agama, keluarga berkuasa Muslim Sulu, Maguindanao, Lanau, Borneo, dan Maluku membentuk aliansi yang memperkukuh dan memperdalam kesadaran Islam. Jika demikian, maka sebenarnya proses proselytisasi itu berlangsung secara damai. Lalu, kenapa sekarang terdapat kelompok yang garang menyampaikan kebenaran Islam?

Selanjutnya, bagaimana potret masyarakat Muslim di Asia Tenggara sekarang ini? Jawabnya tentu beragam. Contoh yang sedang aktual adalah tanggapan terhadap peristiwa 11 September beragam karena memang peta masyarakat Muslim di kawasan ini tidak tunggal. Adeney-Risakotta, yang pernah mengajar saya di IAIN menyampaikan secara lisan di kelas bahwa dia antiperang Amerika terhadap Irak, menulis dengan versinya sebagai orang Amerika bahwa usaha apa pun Amerika untuk meyakinkan bahwa Islam tidak menjadi target gagal untuk kebanyakan Muslim di Asia tenggara. Tambahnya lagi, meskipun terdapat simpati terhadap korban peledakan bom WTC, dan kebanyakan Muslim mengutuk tragedi yang menewaskan ribuan orang, tapi serangan ke Afganistan dan Irak lebih jauh mendapat respons emosional (hlm 326).

Carmen memaparkan lebih jauh bahwa 11 September, bagi minoritas Muslim, sebagai bencana karena mereka mulai merasa terjepit dan terkadang menempatkan mereka jadi sasaran permusuhan. Mungkin di Filipina, komunitas Muslim dihadapkan dengan tekanan karena di Selatan mereka menjadi kelompok pemisah yang melakukan pemberontakan bersenjata. Sekarang pemerintah telah menemukan momentum untuk menanggapi sempalan ini dengan stigma perang melawan terorisme.

Berbeda dengan negara-negara tetangganya, Malaysia relatif berhasil menempatkan agama Islam secara harmonis dalam kehidupan masyarakatnya yang relatif majemuk, baik dari segi agama, etnik, dan budaya. Shamsul AB, pemikir utama dari Negeri Jiran ini, dengan baik menyebut Islam politik moderat sebagai alasan keberhasilan mereka menjaga stabilitas, meskipun tidak bisa dilepaskan dari pengaruh birokrasi yang diwariskan oleh kolonialisme Inggris (hlm 114). Dengan mengutip Syed Naquib al-Attas, Inggris telah berhasil melakukan proses sekulerisasi, yang memisahkan praktik agama dan kenegaraan.

Bagi Muslim, Islam dianggap sebagai agama paripurna di mana politik, ekonomi, agama, serta masyarakat berjalin kelindan menjadi satu kesatuan (hlm xv). Berbeda dengan non-Muslim yang terbiasa dengan proses politik ekonomi dan sosial sekuler, maka pemisahan politik dan agama masih asing, meskipun penerapan agama dalam politik di dalam sejarah Islam beragam. Lalu, pertanyaan yang acapkali apakah Islam itu sejalan dengan demokrasi yang berpijak pada agenda masyarakat sipil? Jawaban terhadap persoalan ini juga beragam. Tidak ada kata tunggal untuk memberikan kata akhir.

Di dalam inventarisasi pelbagai pendapat tentang kesesuaian Islam dengan demokrasi atau tidak, sebenarnya persoalan mendasar adalah perdebatan otentisitas tanpa mengabaikan kerusakan yang lebih besar sebab ulasan beberapa penulis telah menunjukkan bahwa militansi telah menjadi hallmark lanskap politik di Indonesia, termasuk negara-negara Asia tenggara yang lain. Tentu saja, peran Indonesia menentukan karena sebagaimana penerbit buku ini (ISEAS) juga telah merumuskan dalam seminar baru-baru ini bertemakan "Listening to the True Voice of Muslims in Indonesia" di Singapura bahwa Indonesia akan menjadi negara terpenting dalam ikut menentukan peradaban dunia karena berada di simpang arus ideologi global, sumber daya alam yang kaya, dan kombinasi unik peradaban Muslim tanpa mengenyampingkan peran negara lain. Semoga.

Ahmad Sahidah,
Kandidat Doktor Peradaban Islam Universitas Sains Malaysia

No comments: