01 October 2007

Rekonsiliasi Fakta dengan Fiksi

oleh : Savitri Scherer

Kompas, Senin, 20 Agustus 2007

rubrik : Pustakaloka; resensi
judul buku : Kalatidha
Penulis buku : Seno Gumira Ajidarma

 

Meminjam judul puisi Ranggawarsita dari abad ke-19, yakni Kalatidha, Seno, penulis abad ke-21, merangkum cerita yang berkisar tentang peristiwa kekerasan di Indonesia pada sekitar tahun 1965.

Dituturkan melalui pandangan bocah laki-laki berusia tujuh tahun yang mempunyai kebolehan masuk-keluar dunia bayangan yang berkabut.

Kebolehannya mengikuti usianya yang menjadi dewasa, hingga dunia tersebut terkadang bercahaya gemilang, ataupun merupakan samudra dari titik-titik kristal yang berkilauan.

Bocah pengamat pasif, dari suatu kejadian ketika rumah tetangga diserang penduduk setempat dan dibakar. Bocah itu sempat melihat satu dari gadis kembar penghuni rumah lolos dari pengepungan, sedangkan kembarannya tewas.

"Aku tidak mengerti, tetapi kuketahui betapa nasib keduanya sangat berbeda. Yang satu menjelma bayangan yang kadang tampak dan terkadang hilang, yang lain masih berkeliaran di muka bumi dengan diri yang kadang hilang kadang kembali" (hlm 46). Suatu kekayaan imajinasi penulis yang berpotensi untuk dikembangkan ke sana kemari.


Korban dari sistem

Seno memakai kesempatan ini untuk menyinggung berbagai segi spiritual dari dunia istimewa yang diakrabi bocah tadi dengan meramu unsur-unsur budaya spiritual Jawa yang memasuki dunia nyata, dan berbagai dunia kehidupan yang dijatahkan kepada si gadis yang lolos, tetapi terguncang jiwanya.

Ditambah selingan dari dunia Johnny Malin Kundang, pasien di rumah sakit jiwa tempat mereka berdua dirawat dan ditambah lagi dunia yang penuh perkibulan dari pengusaha serong (bocah ketika dewasa?).

Penyiksaan yang sempat di terima gadis, korban politik waktu itu, dan penyiksaan dalam cara merawat-menatar, baik di rumah sakit maupun di kantor polisi dan di penjara untuk semua narapidana, digambarkan untuk menunjukkan situasi yang sejajar bagi semua warga yang telah kehilangan hak untuk hadir dalam peradaban manusia.

Peradaban yang aturan dan kodenya dibuat oleh setiap penguasa zamannya, Neraka dunia ini, penjara dan rumah sakit jiwa sudah dijabarkan ahli filsafat Perancis Foucault (M Foucalt, Naissance de la clinique, Paris, PUF, 1963 dan Surveiller et punir, Paris, Gallimard, 1975) Dalam Kalatidha, gadis simbol yang mewakili korban dari suatu sistem, tanpa rasa dan pikiran. Pengarangnya kemudian mengembangkan tubuh si gadis menjadi sosok yang dititisi arwah kembarannya dan membuat gadis tadi menjadi jawara wanita yang mengacu pada garapan Seno yang terdahulu, Perempuan Preman di Melawai (Dunia Sukab, 2001, hlm 145-155).

Jawara dalam Kalatidha, setelah diisi arwah kembarannya, menghancurkan semua deretan sosok yang pernah menyiksanya, kecuali Johnny yang sempat berambisi untuk menjadi pemain sepak bola. Dia hanya menendang-nendang si gadis, tanpa memperkosanya.

Dalam adegan lain, yang sempat dialami bocah, ia dan kakeknya mengalami suatu peristiwa spiritual yang canggih digambarkan Seno dalam bab 12 berjudul: Perburuan (hlm 93-97).

Bagian ini dirancang seolah menjadi pembuka jalan atas suatu pertanyaan si pengarang: apakah pembalasan selalu lebih kejam? yang dirangkumnya di bab 13. Misteri ini dijawabnya sendiri dengan merangkum bab 19: Sang Mata di Tepi Pantai (hlm 163-171). Jawara preman Melawai itu menyelamatkan dua bocah yang sedang bermain di laut (hlm 171). Hanya saja samudra tadi dengan kekuasaannya selalu mencoba menelan bocah-bocah lain yang bermain di situ yang tidak menggubris pengalaman dua bocah yang sempat terselamatkan.

Seno mencoba mengutarakan harapan bahwa ada kemungkinan gadis yang dititisi kembarannya berubah menjadi jawara penyelamat. Walaupun si pengarang ataupun pembacanya tahu bila pergantian peranan dari jawara preman (pembalas dendam) menjadi jawara Sri Asih (sosok garapan RA Kosasih) tidak otomatis menyelamatkan seluruh bocah di dunia dari bahaya.

 

Berpikir positif

Seno sebagai pengarang, yang telah merancang-rancang dunia bayangannya yang kejam, berdarah-darah di mana hutan bambu digusur menjadi pasar toserba raksasa, tetap membawa suatu harapan positif terhadap semua kemungkinan yang terburuk dari peradaban.

Ia percaya ada warga dunia yang peduli dan berkapasitas memperbaiki nilai kemanusiaan kita semua. Pandangan positif ini dibutuhkan bagi pembaca untuk memperbaiki lingkungannya. Bahwa manusia berkapasitas mempunyai welas asih, suatu unsur terpenting dalam sejarah peradaban dunia.

Seno mengakhiri ceritanya begini, "Miliaran sosok kristal yang mengalir membentuk suatu arus menyilaukan ke balik sebuah lembah yang penuh dengan cahaya di baliknya." (hlm 226). Ada cahaya di balik cahaya. Pilihan Seno untuk berpihak pada cahaya didukung oleh fakta, tanpa matahari seluruh ekosistem jagat kita akan bubar.

Sebagai pengarang yang menggarap suatu insiden dalam sejarah Indonesia yang kontroversial, di mana dia terlalu muda ketika peristiwa 1965 terjadi (dilahirkan 1958), usahanya membawa nilai khusus bagi pembaca Indonesia untuk memikirkan prioritas apa saja yang harus didahulukan dalam memajukan kesejahteraan kehidupan bersama di tengah dunia yang selalu rancu. Keganasan di Rwanda, atau di Kamboja di bawah Pol Pot, di Irak dan Palestina tidak perlu terjadi. Semua terletak pada itikad manusianya sendiri.


Punya rasa sendiri

Rahasia hidup memang membawa pesona khusus. Hal ini digarap Seno dengan dua cara. Pertama, secara faktual dengan memasukkan berbagai dokumen arsip dari periode yang dia bayangkan, yaitu guntingan-guntingan surat kabar. Ini untuk mengingatkan publik pemikiran apa-apa saja sebetulnya dilontarkan di periode itu yang memicu kejadian.

Cara kedua adalah membandingkan kejadian yang sempat mewujud di sekitar tokoh fiksi karangannya itu dengan, misalnya, isi kepala pasien Johnny Malin Kundang. Semakin gombal bayangan dunia Johnny, yang menyangkut peranannya sendiri dalam suatu insiden, semakin rancu pula ramuan di kepalanya antara si pelaku, si pengamat, atau korban yang dipaksakan bertanggung jawab.

Yang masih bisa diandalkan sebagai "fakta" di dalam kepala Johnny hanya sisa-sisa ingatannya yang berbentuk "rasa" dari sederetan makanan, seperti tempe mendoan atau botok teri (hlm 86-90). Gamblangnya, peristiwa yang sudah lewat itu masing-masing mempunyai rasanya sendiri. Tidak semua hambar dan tidak selalu harus sesuai dengan kenyataan perasaan sensasi pada waktu kejadian. Rasa pada waktu kejadian dan rasa dari ingatan mengenai kejadian itu tidak mungkin sama.

Melalui sisipan Johnny ini, Seno seolah ingin membawa pembacanya menerima segala kontradiksi kehidupan sebagai urusan yang tidak akan selesai diuraikan. Fakta atau kebenaran tidak dapat diramu melulu melalui ingatan, apakah itu ingatan seorang gila, seorang korban perkosaan, ataupun seorang pengarang.

Setiap zaman edan dalam setiap era sejarah menghasilkan segepok orang-orang gilanya sendiri yang dengan logika masing-masing, meluruskan versi sejarah kehadiran mereka. Sebaliknya, pelurusan tersebut bukanlah suatu proses acak yang diramu hanya bedasarkan makian yang menyebut berbagai macam makanan Jawa; walau sudah seluruh makanan diucapkan.

Dengan Kalatidha, Seno menawarkan gaya penulisan untuk mengungkapkan bagaimana menyelaraskan sebagian dari bunyi-bunyi sumbang ke dalam rangkuman dunia tanpa melupakan betapa hidup ini sesungguhnya kocak, acak dan edan.

Keputusan itu yang diambil Johnny, "Aku bukan pembunuh. Aku hanya membebaskan jiwa yang terikat kepada tubuh dan otak yang mengharukan, yang diperas seperti apa pun untuk berpikir tidak akan pernah mampu mengenal dunia dalam arti yang sebenar-benarnya. Gulai Otak. Bedakah rasanya otak pintar dan otak bodoh jika di goreng dalam bungkus telor?" (hlm 90).

(Savitri Scherer, Jurnalis Bermukim di Paris)

No comments: