19 October 2007

Memahami Aceh dalam Kerumitan Indonesia

Koran Tempo - Jum'at, 19 Oktober 2007

Opini

Otto Syamsuddin Ishak, peneliti senior pada Imparsial, Jakarta

Sekarang lebih mudah memahami Aceh ketimbang Indonesia. Berbeda dengan dahulu, lebih mudah memahami Indonesia--yang akhirnya berkembang menjadi permakluman politik--daripada memahami Aceh, yang kemudian melahirkan resistansi politik.

Mungkin karena Aceh adalah dunia mikro, dan Indonesia adalah dunia makro, lebih mudahlah memahami Aceh daripada memahami Indonesia. Namun, antropolog Clifford Geertz telah mengingatkan tentang Aceh yang cenderung ekstrover sehingga cenderung bergerak evolutif. Sedangkan Indonesia--akibat dominasi budaya Indonesia Dalam yang agraris dan membatin--cenderung introver dan bergerak involutif.

Seturut itulah, Aceh lebih mudah dipahami karena kemikroannya, sifatnya yang ekstrover, dan geraknya yang evolutif. Indonesia tentunya semakin susah--kalau belum memusingkan--dipahami karena kemakroannya, sifatnya yang introver, dan geraknya yang involutif.

Singkatnya, anatomi Aceh itu sederhana. Anatomi Indonesia itu rumit. Namun, bukankah, pasca-Memorandum of Understanding (MOU) Helsinki, Aceh berada dalam Indonesia? Karena itu, apakah cukup memadai untuk memahami kesederhanaan Aceh tanpa kaitannya dengan kerumitan Indonesia?

Tengoklah laporan International Crisis Group, "Aceh: Komplikasi Pasca-Konflik". Kiranya ini sebuah contoh yang ideal bagaimana memahami kesederhanaan Aceh tanpa kaitannya dengan kerumitan Indonesia. Anatomi Aceh--yang diwakili oleh kajian tentang evolusi Gerakan Aceh Merdeka dan Badan Reintegrasi Aceh (BRA)--demikian lancar diuraikan tanpa mengaitkannya dengan kerumitan Indonesia, serta dengan mudah dapat diramalkan bagaimana jadinya di esok hari.

ICG melaporkan, pasca-MOU Helsinki, ada ketenangan di Jakarta, dan terjadi kegelisahan yang semakin kuat di Aceh perihal masa depan perdamaian yang sedang dilangsungkan. Pasalnya sederhana saja, yakni menyangkut evolusi dalam tubuh GAM dan BRA. Dan kedua kelembagaan ini dikendalikan oleh orang GAM. Meskipun ICG mengakui orang GAM bukan pelaku satu-satunya yang menggelisahkan, anatomi pelaku lain tak juga diuraikan oleh ICG. Mungkin terlalu rumit.

Transformasi politik yang berdampak sosial yang terjadi pasca-pemilihan kepala daerah (pilkada) yang digelar sejak Desember 2006 digambarkan oleh ICG dengan terang-benderang dan sederhana bahwa "para pemilih di Aceh tampaknya telah mengganti elite korup yang satu dengan yang lain". Pejabat baru melahirkan jaringan patronase baru.

Perihal patronase baru bukanlah hal yang unik. Di mana pun dunia politik hidup dan mengalami pembaharuan, baik secara demokratis maupun nondemokratis, pastilah melahirkan jaringan patronase baru yang seturut dengan penguasa baru. Dalam sejarah kesultanan Aceh, setiap muncul sultan dan sultanah baru, apalagi dari wangsa baru, dengan segera terbentuk jaringan patronase baru. Dalam sejarah Indonesia, begitu Soeharto menjatuhkan Soekarno, maka segala jaringan patronase Soekarno dihancurkan dan dibentuk jaringan patronase yang Soeharto-sentris. Sejarawan Ong telah menguraikan keniscayaan sejarah tentang kemunculan kaum orang kaya baru setelah kemunculan penguasa baru.

Hal penting lain yang tak pernah dikaji adalah bahwa pilkada Aceh itu telah memutuskan dominasi oligarki partai nasional yang sudah selaras dengan pelaku birokrasi dan militer sejak masa Orde Baru. Ternyata, klaim politik bahwa hanya partai politik nasional, birokrasi, dan serdadu yang bisa melahirkan pemimpin tidak sepenuhnya benar. Gerakan protes juga bisa melahirkan pemimpin yang bisa terpilih oleh rakyat. Klaim politik hitam bahwa uang adalah modal utama untuk menjadi penguasa politik juga salah. Klaim politik kampanye dengan mobilisasi massa yang sebesar mungkin dengan umbul-umbul politik yang mengepung rakyat--sehingga membutuhkan dana politik yang besar--juga salah. Aliansi antarpartai atau membeli partai sebagai tunggangan politik juga kalah.

Di satu sisi, kita bisa membaca peristiwa itu sebagai sebuah reintegrasi Aceh, dan khususnya GAM, ke dalam sistem politik Indonesia. Lalu, kita bisa berkata-kata: itukah perpolitikan Aceh yang berbeda dengan perpolitikan Indonesia? Di sisi lain, kita pun dapat memahami peristiwa itu sebagai sebentuk revolusi politik. Paling tidak lebih revolusioner daripada capaian politik yang diperoleh dari gerakan Reformasi 1998 secara nasional.

Akibat perubahan politik yang revolusioner itu--sekalipun baru pada tataran pelakunya, belum masuk ke revolusi struktur dan kultur politik di Aceh-- keseluruhan sendi kehidupan di Aceh menjadi goyah. Kaum elite lama khawatir terjungkal. Sebagian besar rakyat yang merasa menang atas dominasi kaum elite lama menggelembungkan harapan hidup barunya pada pemimpin yang baru.

Celakanya, pilkada juga bisa berarti menjebloskan penguasa baru itu ke dalam struktur dan kultur politik, birokrasi, dan keserdaduan yang telah mengakar dengan rumit, yang juga adalah refleksi dari keberhasilan Indonesianisasi di Aceh. Masalahnya, apakah para pelaku politik dari pihak GAM, yang sekarang terintegrasi ke dalam struktur dan kultur politik keindonesiaan itu, mampu mengubah atau justru tenggelam di dalam kerumitan Indonesia.

Dalam perancangan anggaran, penguasa baru belum berhasil merancang sistem anggaran belanja yang sesuai dengan visi dan misinya. Kaum teknokrat dan birokrat yang mendominasi penganggaran masih menyusunnya sesuai dengan mindset yang tak sensitif terhadap kondisi Aceh pascakonflik dan bencana tsunami. Dalam restrukturisasi pemerintahan Aceh, penguasa baru terbentur dengan cara berpikir kaum politikus di parlemen lokal yang tidak melihat Undang-Undang Pemerintahan Aceh sebagai acuan utamanya. Bahkan mereka disekongkoli oleh kaum birokrat yang khawatir terjungkal.

Untuk melihat lebih jauh bagaimana kesederhanaan Aceh didominasi oleh kerumitan Indonesia, Badan Reintegrasi Aceh (BRA) merupakan contoh idealnya. Pada aras politik, penanggung jawab utama seluruh reintegrasi berada di pundak pemerintah RI, baik yang menyangkut GAM maupun korban (rakyat sipil). Hal itu dibunyikan dengan kalimat, "Pemerintah RI dan pemerintah Aceh akan melakukan upaya? Pemerintah RI akan mengalokasikan dana? Pemerintah RI akan mengalokasikan tanah pertanian dan dana?" MOU juga menjelaskan dengan terang benderang apa saja dan siapa saja yang menjadi subyek reintegrasi itu.

Namun, dalam aras implementasinya terjadi dua hal yang merumitkan. Pertama, BRA adalah sebuah lembaga yang dibentuk oleh pemerintah Aceh, bukan oleh pemerintah RI sehingga kewenangannya sulit menjangkau langit-langit kebijakan politik nasional. Beban nasional dilimpahkan menjadi beban daerah, meskipun dengan alokasi dana dari anggaran nasional (APBN). Agenda reintegrasi pun berkelindan dengan agenda dinas sosial.

Kedua, kerumitan semakin menjadi, ketika BRA dibebani hal-hal di luar mandat MOU Helsinki. BRA harus menanggulangi para milisi yang merupakan subyek tak tersebutkan dalam MOU Helsinki. Bahkan BRA menjadi saluran dana bagi Forum Komunikasi dan Koordinasi (FKK), yang merupakan evolusi dari Desk Aceh di masa perang yang berelasi dengan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan. Hal ini terjadi setelah FKK melibatkan keanggotaan pemimpin GAM di dalamnya. BRA pun tak berdaya memperoleh akuntabilitas pemakaian dana itu dari FKK. Lebih rumit lagi bila benar bahwa pembentukan FKK merupakan siasat politik menyabotase pembentukan Komisi Bersama Penyelesaian Klaim, yang diamanatkan MOU Helsinki namun belum juga dibentuk, sedangkan permasalahan semakin rumit.

Hal lain yang semakin merumitkan adalah pemerintah RI tidak berupaya membuat agenda reintegrasi yang terancang dengan baik (blueprint) bagi Aceh-Indonesia pascaperang. Pertarungan politik internal dibiarkan dan ketidakpuasan para subyek BRA terus menggelembung.

Tampaknya, contoh-contoh di atas sudah cukup untuk menjelaskan bagaimana kerumitan-kerumitan Indonesia yang semakin mengepung Aceh, yang merupakan produk dari pengabaian komitmen-komitmen politiknya sebagaimana yang tercantum dalam MOU. Situasi pun semakin rumit manakala tanggung jawab pemerintah RI untuk memfasilitasi transformasi GAM dari gerakan bersenjata menjadi gerakan politik tidak dilakukan. Apalagi para donor yang terlibat dalam memfasilitasi pemerintahan Aceh maupun GAM sama sekali tidak memahami apa dan bagaimana kesederhanaan Aceh dan kerumitan Indonesia itu. Sementara itu, pelaku-pelaku politik baru di Aceh mulai kehilangan kesadaran akan kesederhanaan Aceh dan mulai terseret ke dalam alam kerumitan Indonesia

No comments: