15 October 2007

Kontroversi Kebrutalan Kaum Padri

Iqra

Tempo - Edisi. 34/XXXVI/15 - 21 Oktober 2007

Gerakan Padri selama ini diidentikkan dengan kepahlawanan Imam Bonjol dan kelom­pok­nya melawan Belanda. Tapi belakangan se­buah buku lama yang kontroversial dan me­nunjukkan sisi gelap Padri, Tuanku Rao, diterbitkan kembali. Lalu muncul buku baru dengan judul Greget Tuanku Rao sebagai reaksi.

Kedua buku ini memperlihatkan bahwa gerakan Padri sesungguhnya adalah gerakan Wahabi—gerakan pemurnian Islam yang dilakukan secara keras terhadap Islam kultural di Minang dan Batak. Dan itulah gerakan yang membuat puluhan ribu nyawa jadi korban. Imam Bonjol dianggap dengan sadar melakukan itu, sehingga ada usul gelar pahlawan nasional dicabut darinya. Be­tulkah demikian? Ikuti pembahasan Tempo.

… Petisi ini mendesak Pemerintah Indonesia untuk membatalkan pengangkatan Tuanku Imam Bonjol sebagai Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan…. Imam Bonjol adalah pimpinan Gerakan Wahabi Paderi…. Gerakan ini memiliki aliran yang sama dengan Taliban dan Al Qaeda…. Invasi Paderi ke Tanah Batak menewaskan jutaan orang….

Petisi online itu tersebar di banyak mailing list seminggu lalu. Seorang anak muda, Mudy Situmorang—lulusan Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh Nopember, kelahiran Simanindo, Pulau Samosir—telah mengirimnya. Dalam petisi itu, ia membeberkan dosa-dosa gerakan Padri, antara lain pembantaian massal keluarga Kerajaan Minangkabau Pagaruyung dan penyerbuan Padri ke Batak yang menewaskan Sisingamangaraja X.

Ia mengatakan petisi itu atas nama pribadi, bukan organisasi, dan semata-semata untuk pelurusan sejarah. "Kita tunggu sampai 500 pendukung. Hasilnya dikirim ke pemerintah," katanya saat dihubungi Tempo. Sampai sekarang, petisi itu memang belum "berbunyi".

Namun petisi ini mengingatkan orang akan dua buah buku bertema sama yang baru-baru ini terbit. Yang satu adalah buku lama karya Mangaradja Onggang Parlindungan berjudul Tuanku Rao. Buku itu pertama kali dicetak penerbit Tanjung Pengharapan, 1964, dan diluncurkan kembali oleh penerbit LKiS Yogya, Juni lalu, tanpa suntingan apa pun, bahkan tetap dalam ejaan lama.

Itulah buku yang pada 1964 menghebohkan. Buku itu tidak bercerita langsung tentang Imam Bonjol, tapi berisi kronologi penyerangan komandan-komandan Padri. Parlindungan sendiri menyusun buku itu berdasarkan data sejarah Batak yang dimiliki ayahnya, Sutan Martua Radja. Pada 1918, ayahnya adalah guru sejarah di Normaalschool Pematangsiantar. Ayahnya memiliki warisan dokumen sejarah Batak turun-temurun dari tiga generasi sepanjang 1851-1955.

Di samping itu, Parlindungan memakai bahan-bahan milik Residen Poortman. Posisi Poortman sama dengan Snouck Hurgronje. Snouck adalah seorang ahli Aceh, yang informasinya diminta oleh pemerintah Belanda. Sedangkan Poortman adalah seorang ahli Batak. Poortman pensiun pada 1930 dan kembali ke Belanda. Di Leiden, Belanda, Poortman lalu menemukan laporan-laporan para perwira Padri sepanjang 1816-1820 untuk Tuanku Imam Bonjol. Parlindungan mengenal Poortman secara pribadi dan pernah bertemu di Belanda. Poortman mengirimkan bahan-bahan laporan itu saat Parlindungan menulis bukunya.

Parlindungan bukan sejarawan profesional. Caranya menulis pun serampangan. Data yang diramunya itu sering ditampilkan cut and glue atau dinarasikan kembali dengan bahasa campuran: bahasa Indonesia lisan, kadang disisipi kalimat-kalimat Inggris yang panjang. Di sana-sini, ia memberikan komentar yang cara penulisannya seperti seorang ayah yang menerangkan kisah kepada anaknya. Kata ganti yang dipakai untuk dirinya adalah "Daddy". Sedangkan anak laki-lakinya di situ disebut "Sonny Boy". Ketika polemik menghangat, buku itu ditarik dari peredaran. Buku itu pun jadi buku langka. Di sebuah pameran buku di Jakarta, buku itu beberapa tahun lalu bahkan sempat dihargai Rp 1,5 juta.

Buku kedua, Greget Tuanku Rao, ditulis Basyral Hamidy Harahap, terbit September lalu. Basyral adalah Ketua Jurusan Perpustakaan Universitas Indonesia 1965-1967 dan pensiunan pustakawan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV). Ia ingin mengoreksi beberapa info tentang Tuanku Rao yang dianggapnya kurang tepat. Tapi, pada garis besarnya, ia sepakat dan bahkan menambahkan data kekerasan yang dilakukan Padri. "Buku Parlindungan banyak salahnya, tapi buku itu ada di jalan yang benar."

l l l

Siapakah Parlindungan? Tak banyak yang tahu sosok pengarang ini. Basyral sendiri pada 1974 pernah bertemu dengannya di dekat rumah Hamka di Jakarta. Ia langsung menanyakan kabar polemik antara Parlindungan dan Buya Hamka. Agaknya Parlindungan tak suka. "Saat itu ia langsung mengarahkan tongkatnya yang berkepala gading ke arah dahi saya. Saya kaget, mengelak," kenang Basyral.

Hal ini sedikit terkuak ketika anaknya, Dorpi Parlindungan Siregar, kini 59 tahun, mau bercerita kepada Tempo—dialah anak yang dipanggil Sonny Boy dalam bukunya.

"Ayah saya seorang perwira KNIL. Perjalanan karier ayah saya dimulai ketika pada 1 Oktober 1945, Jenderal Mayor Oerip Soemohardjo mendirikan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Beliau mengumpulkan 17 anak muda di Yogyakarta, di antaranya Soeharto, Ibnu Sutowo, dan ayah saya."

Pada usia 27 tahun, menurut Dorpi, ayahnya memperoleh pangkat letnan kolonel. Sebagai insinyur kimia lulusan Jerman dan Belanda, ayahnya menjadi bawahan dr Willer Hutagalung, dulu dokter pribadi Jenderal Soedirman. Mereka kemudian mengambil bekas pabrik mesiu dan peralatan senjata Belanda, yang lalu menjadi Pindad.

Pada 1960, ayahnya ditahan rezim Soekarno karena dianggap pro-Masyumi. Tempat tahanan ayahnya berpindah-pindah, dan akhirnya menjalani tahanan rumah. Di sanalah, dengan data milik kakeknya dan Residen Poortman, ayahnya menulis buku Tuanku Rao.

Dan yang mengejutkan, bagian terbesar halaman buku ayahnya menceritakan kisah kejahatan algojo Padri bernama Tuanku Lelo, sosok yang tak lain menurut Parlindungan adalah kakek dari kakeknya sendiri. "Jadi ia seperti menceritakan aib keluarga sendiri. Tak banyak penulis yang berani seperti itu," kata Ahmad Fikri dari LKiS. Buku itu awalnya, menurut Dorpi, tidak diperuntukkan bagi umum, tapi bagi anak-anaknya saja. "Sehabis membaca Al-Quran setiap hari, Ayah membacakan cerita ini untuk saya dan adik," kenang Dorpi akan ayahnya yang meninggal pada 1975 itu. Atas desakan teman-temannya, buku itu akhirnya diterbitkan.

Buku itu intinya berisi informasi bagaimana gerakan Wahabi masuk Minang. Waktu itu, tahun 1803, Haji Piobang, Haji Sumanik, dan Haji Miskin kembali ke Minang setelah bermukim di Mekkah lebih dari 12 tahun. Mereka adalah bekas perwira tentara Turki. Mereka mencoba menanamkan mazhab Hambali di Sumatera, menekankan pemurnian Islam.

Gerakan pembersihan agama Islam ini menarik hati seorang mubalig besar bernama Tuanku Nan Rentjeh, yang tengah gundah lantaran di Minang berkembang Islam Syiah. Mereka bersama-sama kemudian mencita-citakan suatu Darul Islam. Piobang membentuk pasukan Padri yang sangat profesional. Pakaian mereka serba putih. Persenjataannya cukup kuat. Mereka, misalnya, menurut Parlindungan, memiliki meriam 88 milimeter bekas milik tentara Napoleon yang dibeli "second hand" di Penang. Dua belas perwira Padri dikirim belajar di Turki. Tuanku Rao, yang aslinya seorang Batak bernama Pongkinangolngolan Sinambela, dikirim untuk belajar taktik kavaleri; Tuanku Tambusai, aslinya bernama Hamonangan Harahap, belajar soal perbentengan. Pasukan Padri juga memiliki pendidikan kemiliteran di Batusangkar.

Sasaran pertama "gerakan kaum putih" ini adalah Istana Pagaruyung, karena istana itu dianggap sebagai boneka Belanda yang merintangi Darul Islam. Pada 1804, ribuan rumah dibakar dan keluarga Istana Pagaruyung dibantai. Untuk cita-cita Darul Islam, pasukan Padri ingin meluaskan agresinya ke luar alam Minangkabau—ke tanah Batak.

Salah satu tamatan pendidikan militer Batusangkar, bernama Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin, oleh Tuanku Nan Rentjeh diperintah mencari lokasi yang bakal digunakan sebagai benteng—basis tentara Padri menyerang Tanah Batak. Peto menemukan bekas sarang perampok di rute Minangkabau-Batak bernama Bonjol. Ia mengislamkan kawasan Bonjol, membangun benteng di sana, serta melatih kekuatan 10 ribu tentara. Sejak itu, ia dijuluki Imam Bonjol.

Buku Tuanku Rao ini menjelaskan cukup detail bagaimana persiapan dan kronologi invasi Padri ke Batak Selatan (1816) dan Toba (1818- 1820). Dari etape-etape dan serangan kilat (blitzkrieg), siasat-siasat, sampai notula rapat-rapat para panglima dideskripsikan. Pendiri Padri, Haji Piobang dan Tuanku Imam Bonjol, mengkoordinasi penyebaran pasukan di bawah pimpinan Tuanku Rao, Tuanku Tambusai, Tuanku Lelo, Tuanku Asahan, Tuanku Maga, dan Tuanku Kotapinang.

Toba dikepung dari empat penjuru. Tuanku Asahan dengan kavaleri berkekuatan 11 ribu tentara menyerang dari samping kanan; Kolonel Djagorga Harahap dengan kekuatan 4.000 anggota pasukan dari sayap kiri; Tuanku Maga menusuk dari sisi tengah atas dengan 5.000 anggota pasukan; Tuanku Lelo bersama 9.000 tentaranya merangsek dari sisi tengah bawah. Pada 1820, Sisingamangaraja X, yang bertahan di Benteng Bakkara, akhirnya tewas. Kepala Sisingamangaraja X ditusuk di atas tombak, dipancang di tanah.

Penyerbuan yang paling bengis dilakukan oleh Tuanku Lelo. Parlindungan sendiri menganggap "eyangnya" itu "kriminal perang". Tuanku Lelo bernama asli Idris Nasution. Sosoknya besar, berjanggut hitam, berambut panjang, berombak-ombak. Ia mengenakan baju jubah dan serban yang seluruhnya putih serta suka memakai selempang dan ikat pinggang berwarna merah bertaburan emas—yang dirampasnya di Pagaruyung. Ia dikenal sebagai algojo pembantai, juga maniak seks.

Parlindungan bahkan sampai menyebut eyangnya itu seorang big scoundrel yang memiliki kelakuan binatang. Di tiap kawasan, sang eyang mengumpulkan ratusan wanita, lalu memerkosanya. Di Toba, 14 malam berturut-berturut pasukannya dibiarkan melakukan pesta seks besar-besaran.

Ketika pasukan bergerak meninggalkan Toba, Tuanku Lelo memerintahkan ribuan wanita dikumpulkan di Red Light District di Sigumpar Toba. Dari Sigumpar, mereka digiring berjalan kaki melalui Siborong-borong, Pangaribuan, Silantom, Simangambat, Sipirok, menuju Natal Mandailing. Sesampai di Mandailing, hanya 300 wanita selamat; 900 mati. Yang capek dipenggal.

Kemudian Belanda memutuskan menyerang Padri. Pertempuran pada 1820, menurut Parlindungan, meletus di Benteng Air Bengis. Imam Bonjol turun sendiri. Tuanku Rao tewas di situ. Nah, di pertempuran Air Bengis ini, secara licik Tuanku Lelo melakukan desersi. Melihat Imam Bonjol terdesak, ia lalu memimpin kavalerinya sendiri menuju Angkola dan Sipirok. Ia melanjutkan petualangannya, menjarah, membunuh, melampiaskan nafsu seksualnya. Ia lalu menjadi warlord di Angkola dan Sipirok selama 1822-1833. Ia di sana mendirikan sebuah harem di bentengnya di Padang Sidempuan.

Buku Tuanku Rao hanya sedikit menyinggung peran Tuanku Tambusai. Namun, menurut Basyral, Tuanku Tambusai tak kalah kejam dibanding Tuanku Lelo. "Kebrutalan Tuanku Tambusai terjadi di daerah Padang Lawas, Dolok, dan Barumun. Salah satu kawasan yang paling parah terkena adalah daerah nenek moyang saya, Simanabun," tutur Basyral (lihat "Tambusai dan Pasukan Putih-putih").

l l l

Para sejarawan berbeda pendapat soal kebrutalan ini. "Sebetulnya masuknya Padri ke Batak bukan ekspansi. Kelompok-kelompok musuh Padri saat itu dapat dipukul mundur hingga ke Tapanuli Selatan. Karena itu, mereka bertempur sampai ke daerah tersebut," tutur Dr Mestika Zed, sejarawan dari Universitas Negeri Padang.

"Sebagai sebuah buku sejarah, buku Parlindungan sumbernya sangat lemah. Dokumen Poortman sendiri diragukan. Banyak yang tidak faktual," kata Dr Asvi Warman Adam dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Hamka bahkan pernah menganggap Tuanku Lelo hanyalah karangan Parlindungan belaka (lihat "Mengenang Sanggahan Hamka"). Memang, sekarang mustahil untuk mengecek semua sumber yang digunakan Parlindungan, karena semua data itu dimusnahkan oleh Parlindungan sendiri.

Dalam bukunya itu, Parlindungan menyebutkan data yang diwariskan ayahnya kepadanya hanya meliputi 20 persen dari yang dimiliki ayahnya. Ia menyaksikan sendiri, pada 1941, ayahnya membakar sisanya sambil bercucuran air mata di tepi Sungai Bah Bolon.

"Daddy tidak mau risiko," katanya kepada anaknya. "Our family secrets yang ketahuan pada outsiders cukup yang terbatas dalam buku ini. No more." "Saya menduga, itu adalah alibi dia, yang sebenarnya tak cukup memiliki data otentik, atau bisa juga ia tak mau sejarawan lain menelitinya," kata J.J. Rizal dari Yayasan Bambu, yang menerbitkan Greget Tuanku Rao.

Akan halnya Dr Gusti Asnan, pengajar Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang, menganggap tidak semua sumber Belanda yang digunakan Parlindungan mengandung bias. Dari 100 laporan, ada 20-50 persen data yang benar. Menurut dia, historiografi Perang Padri sendiri dimulai pada 1950-an. "Saat itu terjadi dekolonialisasi historiografi Indonesia, termasuk Perang Padri. Demi persatuan dan kesatuan, bagian-bagian miring dari data yang ada, seperti kebrutalan Perang Padri, sengaja tidak disiarkan."

Ia juga melihat gerakan pasukan Padri tak semata-mata bermotif agama, tapi juga ekonomi. Sejak akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19, perkembangan ekonomi di Sumatera Barat memang luar biasa karena booming kopi.

Dr Gusti pernah membaca sebuah kisah tentang saudagar bernama Peto Magik di Pasaman. Ia dikenal sebagai saudagar Padri—bisa dianggap konglomerat. Seorang Belanda bernama Bulhawer yang melakukan kerja sama dengan Peto mengaku tidak melihat sedikit pun gambaran islami padanya. "Kesan yang dilihat Bulhawer, Peto Magik adalah seorang kapitalis. Dan gambaran ini saya rasa juga menggambarkan sebagian besar kaum Padri," ujar Gusti.

Maka, menurut Gusti, ketika daerah kekuasaan di Tanah Datar dan Agam mulai direbut Belanda, kaum Padri pun meluaskan ekspansi ke utara: Bonjol, Pasaman, dan Tapanuli Selatan. Mengapa ke utara? Karena daerah utara memiliki basis kekayaan yang sangat tinggi. Apalagi, dengan menguasai area tersebut, Padri masih dapat melakukan hubungan dengan kaum lain, seperti Aceh, melalui jalur sungai.

Sekalipun mengakui kekerasan yang dilakukan Padri, sebagian orang memandang dari sudut berbeda. "Soalnya saat itu kan tidak ada HAM," kata sejarawan Taufik Abdullah.

Basyral sendiri melihat Imam Bonjol mengetahui segala perampokan, pemerkosaan, dan mutilasi yang dilakukan perwira-perwiranya. "Mustahil Imam Bonjol tak tahu. Ia kan komandan," kata Basyral.

Tapi Taufik Abdullah tak sependapat. Menurut dia, kekerasan di awal gerakan Padri bukan tanggung jawab Tuanku Imam Bonjol. Saat gerakan Padri masih radikal di awal, Tuanku Imam Bonjol masih muda dan baru menjabat sebagai asisten Tuanku Bandaro, salah satu pemimpin gerakan Padri saat itu.

"Buat saya, pencabutan gelar pahlawan itu nonsens. Justru di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol pasukan Padri lebih menitikberatkan serangan pada pihak Belanda," kata Taufik.

Menurut Taufik, keliru jika melihat sosok Imam Bonjol dalam Padri disamakan dengan Diponegoro. "Diponegoro merupakan pemimpin tunggal, sementara gerakan Padri merupakan gerakan sosial kolektif, dengan banyak pemimpin," katanya.

Taufik mengatakan, bahkan, Tuanku Imam Bonjol sempat mengirim empat anak buahnya ke Mekkah untuk naik haji, termasuk Tuanku Tambusai. Tujuannya untuk melihat kondisi Islam di Mekkah. Ternyata Islam saat itu jauh lebih moderat. Sehingga, ketika kembali ke Minang, Tuanku Tambusai pun menjadi lebih moderat. Sekembali dari Mekkah, seperti disebut dalam Tuanku Rao, ia pun menyesal melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana wanita-wanita ditawan oleh pasukan Tuanku Lelo.

Menurut Taufik, adat basandi syarak justru mengemuka di bawah kepemimpinan Tuanku Imam Bonjol. Imam Bonjol wafat pada usia 93 tahun di Manado, pada 1864. Tak banyak orang yang tahu, ia meninggalkan sebuah "catatan harian" (lihat "Dari Catatan Harian Bonjol").

Seno Joko Suyono, Sita Planasari

No comments: