17 October 2007

In Memoriam Marianne Katoppo: Kepergian "Yang Lain" Itu

Oleh Aryawirawan Simauw

Sabtu siang tanggal 13 Oktober 2007, di tengah keriangan Idul Fitri, angin sepoi-sepoi terasa sendu di Krematorium Oasis Lestari, Tangerang. Pada sebuah oven, jasad Marianne Katoppo dalam dua jam telah menjadi abu berwarna putih. Kesenduan dan keheningan bersatu menghantar Marianne berpulang menuju Sang Khalik. Tak ada suara kucing-kucing yang mengantarnya, mahluk hidup yang selama bertahun-tahun menjadi teman setianya. Tak ada isak-tangis yang berkepanjangan. Suasana sunyi dan teduh, sesunyi dan seteduh hidupnya. Kepergiannya begitu lain. Sepi, sunyi, damai, dan indah.

Sejumlah kalangan yang mendengar kabar berpulangnya Marianne seakan tak percaya. Bagi saya, kepergiannya sangat mengagetkan dan menyesakkan dada. Sebab, seminggu sebelum Marianne berpulang, ia meminta saya datang menengoknya di Bogor, tapi saya tak bisa. Ironisnya, sesungguhnya sejak minggu lalu Marianne sudah setuju untuk menjadi penasihat penulisan cerita dalam film layar lebar yang sedang saya persiapkan, "Ashram Shanti". Sebuah film yang direncanakan diputar 8 Maret 2008, pada Hari Perempuan Internasional, dan sekaligus bagian dari hadiah HUT ke-65 Marianne.

Perempuan yang dilahirkan di Tomohon pada 9 Juni 1943 itu, memiliki sejumlah sahabat. Sejak 1989, saya membangun persahabatan dengannya, melanjutkan persahabatan ayah dan ibu saya. Bersamaan dengan menguatnya tekanan rezim Orde Baru, Marianne adalah sosok pemberani yang luar biasa.

Mungkin tidak banyak yang tahu, bahwa dalam fase perubahan dari 1990 hingga 1998, Marianne memberikan kontribusi bagi percepatan reformasi secara tak langsung. Tulisan-tulisannya di Suara Pembaruan dalam fase itu dan kehadiran di berbagai forum internasional serta kenekatannya mendirikan Forum Demokrasi (1991) bersama Gus Dur dkk adalah kontribusinya yang cerdas.

Marianne yang menulis buku Compassionate and Free pada 1979 dan telah memberi pencerahan di mana-mana, memilih teologi perempuan sebagai teologi pembebasannya. Gelar Sarjana Teologi dari STT Jakarta tidak membuatnya sungkan untuk beradu pandangan dengan teman-teman teolog Indonesia lainnya yang Strata II dan Strata III.

Sebab, dengan kemampuan lebih dari 10 bahasa, penguasaan pengetahuan filsafat, sejarah, politik, sosial, dan ekonomi, Marianne dikenal kalangan luas. Ia juga terlibat berbagai organisasi, mulai dari sebagai anggota Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (1962-1964, 1976-1978), pendiri Kelompok Hapus Hukuman Mati (1980), anggota Pendiri Ecumenical Association of Third World Theologian in Indonesia (1982), anggota United Borad for Christian Education in Asia (1982-1986), anggota Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (1984-1989), dan anggota International Council of World Conference for Religion and Peace (1989-1994).

Teman-temannya bukan saja dari kalangan Protestan, tetapi Katolik dan Ortodoks. Demikian pula dari kalangan Islam, Hindu, Buddha, Khonghucu, Sikh, Brahmana Kumaris, dan Bahai. Keterlibatannya pada pergumulan pluralisme, multikulturalisme dan theologiae religionum tetap pada pilihannya pada teologia perempuan sebagai paradigma berteologia.

 

Realitas Kemanusiaan

Dalam buku peringatan 50 Tahun Sekolah Tinggi Teologia Jakarta tahun 1984, dengan jelas Marianne mengatakan bahwa diperlukan paradigma baru dalam berteologi, yaitu realitas kemanusiaan dan bukan lagi sekadar pewahyuan dari Allah. Marianne sangat yakin harusnya realitas kemanusiaan yang terpecah sekarang ini dan menghasilkan kemiskinan, ketidakadilan, ketidakdamaian, kerusakan lingkungan menjadi titik-tolak berteologia agama-agama dalam menyelesaikan persoalan kekinian kita.

Teriakannya yang keras tentang konsep Imago Dei dalam memperjuangkan kesetaraan, persamaan, pemulihan kemanusiaan, dan hubungan yang hancur dimampatkan dalam konsepnya tentang Liberation Theology Toward Full Humanity. Dan baginya, tugas ini bukan melulu pada satu agama tertentu, tetapi pada agama-agama. Oleh karena itu, selain dikenal sebagai perintis pikiran teologi perempuan di Asia, Marianne juga menggunakan teologia perempuan sebagai karya-karya pembebasan bagi agama-agama menemukan kembali fungsinya sebagai pembebas.

Dalam ranah yang lain, Marianne juga dikenal sebagai seorang novelis dengan kekayaan tema perempuan yang menyentuh. Sebutlah "Dunia Tak Bermusim" (1976), "Raumanen" (1977), dan "Rumah Di Atas Jembatan" (1981). Bahkan novelnya "Raumanen" diganjar Hadiah Yayasan Buku Utama (1978) dan SEA Write Award (1982). Konon, latar kisah dalam novel-novelnya banyak diambil dari pengalaman hidupnya dan teman-temannya. Selain itu, Marianne menerjemahkan karya sastra dari bahasa aslinya ke bahasa Indonesia. Misalnya "Lapar" (Knut Hamsun, Norwegia), "Malam dan Fajar" (Elie Wiesel, Prancis) dan antologi cerpen India dan Thailand.

Namun, karya terbesarnya adalah buku Compassionate and Free. Buku ini ditulis Mei 1979, selama satu bulan dalam bahasa Inggris untuk kepentingan Dewan Gereja-gereja se Dunia. Buku ini telah membawa banyak pencerahan di kalangan perempuan, komunitas dan lembaga di dunia. Seorang teman saya bercerita bahwa ketika mengikuti sebuah workshop teologi feminis, oleh banyak perempuan Marianne dianggap sebagai inspirasi mereka. Juga bagi beberapa peserta dari negara-negara Timur Tengah.

Setelah 28 tahun buku ini ditulis, diterjemahkan ke berbagai bahasa, dipakai sebagai text book mata kuliah teologi feminis, baru pada tahun ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, diterbitkan oleh sejumlah sahabat perempuannya. Dalam perjalanan pulang kami semua berujar, bahwa setelah 28 tahun bukunya dibungkam di Indonesia dan raga Marianne telah tiada, buku ini menjadi momentum kebangkitan teologi perempuan Indonesia.

Saat ini, Marianne telah tiada. Marianne tahu masih banyak perempuan yang acap dianggap tak ada, tak perlu ada, dan tak lagi ada. Dianggap "yang lain" itu. Tetapi Marianne telah berhasil menyatakan: "Saya mengklaim hak perempuan untuk dibebaskan dari yang Lain yang mengancam itu. Saya menuntut hak perempuan menjadi Yang Lain dalam seluruh kepenuhannya dan dengan berbagai karunianya–Yang Lain, yang bukan merupakan lawan, deviasi, subordinat dari Diri, melainkan dia yang memberikan makna pada Diri". Perempuan "Yang Lain" itu telah tiada, dengan kematian "Yang Lain", tapi kini perjuangan menjadi Diri "pasti lain" jadinya! Marianne, kami akan lanjutkan perjuanganmu!

Penulis adalah pekerja seni, hiburan, media dan penyiaran; pendamping orang dengan HIV/AIDS; pendamping perempuan korban kekerasan

No comments: