22 June 2007

Priayi yang Menikung Jalan

Tempo, 14/XXXIIIIII/28 Mei - 03 Juni 2007

Buku yang memberikan gambaran tentang priayi yang sanggup mempopuliskan kepriayiannya. Biografi Umar Kayam yang cukup kaya.

Manusia Ulang-alik: Biografi Umar Kayam
Penulis: Ahmad Nashih Luthfi
Penerbit: Eja Publisher, Yogyakarta, April 2007
Tebal: xxvii + 186 halaman

Inilah buku yang menarik dibaca. Manusia Ulang-alik: Biografi Umar Kayam tidak kering, juga tidak romantik—sebagaimana umumnya buku biografi di sini. Ia memberikan gambaran umum sekaligus kejutan-kejutan detail dalam pembahasan yang obyektif.

Ya, inilah Umar Kayam. Lewat magnum opus-nya, Sang Priyayi dan Jalan Menikung, ia mengentak jagat budaya Jawa. Tokoh Lantip, yang dalam beberapa hal mirip dengan diri sendiri, melakukan penafsiran kembali terhadap dunia priayi. Dunia kelas menengah Jawa ini dibolak-balik, diaduk dan dibangun kembali dari dalam. "Sejarah keluarga" ini kemudian berlanjut pada buku berikutnya, Jalan Menikung. Dalam buku yang kedua ini, priayi kembali didiskursuskan, kali ini dengan lingkup budaya global yang penuh kontradiksi dan kontestasi, mulai dari Amerika, Islam, dan Yahudi, sebagaimana tampak pada pergulatan batin dua tokoh utamanya, Eko dan Claire.

Lebih jauh ia sendiri pernah menyatakan bahwa kedua bukunya itu ditulis untuk membantah pandangan para sejarawan dan antropolog asing. Sasaran tembaknya jelas dan tidak main-main: Clifford Geertz, yang dalam karya klasiknya, The Religion of Java, membagi masyarakat Jawa secara trikotomis— santri, priayi, dan abangan. Di mata Kayam, seperti disiratkan dalam kedua bukunya, priayi adalah kelompok masyarakat yang kompleks dan memiliki sifat pragmatis. Di balik hedonismenya, mereka masih memiliki kesadaran kultural untuk menciptakan "struktur solidaritas" dengan wong cilik serta pengertian spiritual terhadap hal-hal yang sakral.

Dilahirkan dari keluarga Sastrosoekoetjo yang priayi Mangkunegaran, ia mengalami masa kecil yang menyenangkan. Pendidikan pertamanya adalah voorklas (TK). Setamat dari sana ia melanjutkan ke HIS Siswo Mangkunegaran, sekolah dasar untuk anak priayi, guna menyiapkan priayi-priayi gubernemen pemerintah kolonial Belanda. Di sekolah ini karakter kejawaannya (baca: kepriayiannya) mulai terbentuk, terutama karena sekolah ini mewajibkan semua muridnya berbicara dalam bahasa Jawa halus (krama).

Ia kuliah di Yogyakarta, beraktivitas dengan pegiat teater seperti Rendra, Subagyo Sastrowardoyo, Nung Simanungkalit, lalu terbang ke Universitas Cornell. Ia mengambil gelar doktor, juga mengasah proses kreatifnya. Senarai Seribu Kunang-kunang di Manhattan, karyanya yang lahir di sana, dianggap Faruk H.T. sebagai bukti bahwa kecermatan Kayam dalam memotret situasi kehidupan orang metropolis di Amerika sulit ditandingi, bahkan oleh sastrawan sekaliber Budi Darma, Satyagraha Hoerip, dan Kuntowijoyo.

Ia terus berkarya, mengajar, menjadi birokrat—Dirjen Radio, Televisi, dan Film—bahkan bermain film. Pada pertengahan dekade 1980, Umar Kayam tampil sebagai Bung Karno dalam film ideologis Orde Baru, Pengkhianatan G30S-PKI. Sesuatu yang membuat sebagian kalangan menudingnya telah "berkhianat", "berselingkuh" dengan pemerintah.

Namun sosok yang sering dianggap sebagai the last priayi ini agaknya telah memilih dengan sadar. Ia paham betul dengan tugas kaum intelektual, sebagaimana yang disebutkan oleh Martin Heidegger: kaum intelektual harus mempunyai ikatan kepada volkgemeinschaft, mengambil bagian dalam keseluruhan usaha masyarakat sebagai anggota bangsa. Dalam kerangka berpikir seperti inilah kita bisa memahami mengapa ia mau mengambil berbagai peran dalam kehidupannya, mulai dari budaya, sastra, hingga politik.

Secara historiografis, buku ini sangat menarik. Penulisnya dengan lihai menjaring historical consciousness melalui penekanan pada Umar Kayam on aware of becoming and not only being. Kekayaan detail, sebagai syarat utama sebuah biografi, tampak dari narasumber yang dipakainya, mulai dari istri, saudara, hingga koleganya seperti S.M. Ardan dan Prof Dr Rachmat Djoko Pradopo.

Tampak, penulis mendekati tokohnya dengan teori dasar Freud, childhood is the father of a man. Dengan kerangka berpikir ini, akar kebudayaan sang tokoh bisa dilacak dan dinilai dari masa kecilnya. Kepriayian yang mewarnai masa kecilnya justru menjadi semacam epiphany, turning points moments, atau momen krisis bagi kehidupan pribadinya begitu ia menyaksikan perubahan dunia yang sedemikian cepat dan menuntut sikap adaptif. Dengan begitu, ia menjadi priayi yang kritis, untuk kemudian memilih menikung jalan: mempopuliskan priayi.

Karya ini, sebagaimana buku sejarah pada umumnya, memang masih menyisakan banyak pertanyaan, sebuah tanda yang sebenarnya sangat baik. Ya, seperti dikatakan Bakdi Soemanto dalam pengantar buku ini, "Umar Kayam adalah sosok yang tidak pernah basi dibicarakan. Sebab, ia sosok yang memancarkan cahaya dari berbagai sudut. Ia ibarat sebuah prisma."

Muhammad Yuanda Zara

1 comment:

Unknown said...

Nice post.. Miss reading that roman