16 June 2007

Mahabharata dan Wayang dalam Komik Kosasih

Umi Kulsum

Kompas - Pustakaloka, Senin, 11 Juni 2007

Bagi orang Indonesia, kisah Mahabharata dan Ramayana adalah bagian dari cerita wayang yang telah sangat familiar, khususnya di pedesaan Pulau Jawa. Akan tetapi, siapakah orang yang memperkenalkan kedua epos India tersebut dalam bentuk komik? Adalah RA Kosasih yang telah berjasa membuat kisah yang "berat" itu menjadi ringan bagi orang Indonesia, terutama generasi sebelum tahun 1990-an.

RA Kosasih, pria kelahiran Bogor tahun 1919, telah menjadikan kisah yang sebelumnya eksklusif—karena hanya orang yang terdidik atau kelompok penggemar wayang yang mengerti tentang Mahabharata—menjadi memasyarakat. Melalui komik Mahabharata, epos kepahlawanan itu kini menjadi milik semua orang.

Kisah Mahabharata berasal dari India dan konon ditulis oleh Begawan Vyasa sejak abad ke-4 sebelum Masehi. Dalam perjalanannya kemudian prosa yang berbahasa Sanskerta itu disalin dalam beberapa bahasa, termasuk bahasa Jawa Kuno. Di Indonesia, Balai Pustakalah yang pertama kali menerbitkannya dalam bahasa Indonesia.

Diinspirasi wayang

Melalui Kosasih, epik asli India itu seolah menjadi kisah asli Indonesia karena dari kostum dan setting cerita dibuat sangat Indonesia. Kosasih mengakui bahwa penggambaran cerita klasik itu diinspirasi oleh pertunjukan wayang yang sudah ada. Kegemarannya menonton wayang, khususnya wayang golek, membuatnya mudah memahami berbagai karakter dalam kisah itu.

Ia mengakui, semua deskripsi tokoh dalam komiknya meniru wayang golek dan wayang orang yang telah ada. Misalnya saja tokoh Arjuna yang rupawan dan Rahwana yang menyeramkan dia tiru dari karakter dan penampilan dalam pertunjukan wayang orang.

Tidak terpikirkan oleh Kosasih sebelumnya bahwa dia sudah menciptakan suatu media baru bagi kisah Mahabharata dan wayang menjadi sebuah goresan komik yang dapat dinikmati semua orang. Kisah Mahabharata yang sarat petuah hidup dapat ditransfer oleh Kosasih dalam pemaparan yang luwes, ringan tanpa menghilangkan filosofi yang ada di dalamnya.

Jasa terbesar Kosasih adalah membuat kisah Mahabharata yang cukup pelik dalam prosanya sehingga menjadi mudah dicerna dan ringan dibaca oleh semua lapisan masyarakat. Jika pertunjukan wayang hanya dinikmati oleh sebagian orang khususnya di Pulau Jawa, komik Mahabharata membuat penokohan wayang dikenali oleh masyarakat Indonesia.

Komik wayang ini lahir dari keinginan untuk menjadikan komik sebagai bacaan yang layak dihadirkan pada masyarakat. Pada awal tahun 1950-an, Indonesia dibanjiri oleh komik Amerika, meski komikus Indonesia termasuk Kosasih mencoba membuat komik lokal tetapi masih imitasi komik Amerika. Oleh karena itu, kalangan pendidik menolak komik, termasuk komik lokal yang dianggap tidak mendidik dan hanya meniru budaya Barat.

Menghadapi tantangan demikian, Penerbit Melodi dan beberapa komikus Indonesia saat itu memikirkan sebuah komik yang sarat dengan nilai dan wajah lokal atau Indonesia. Maka, terpilihlah kisah Ramayana dan Mahabharata yang sudah dianggap sebagai bagian dari nilai budaya Indonesia. Diadaptasi lewat suguhan wayang yang lekat dengan budaya asli Indonesia, kini Mahabharata dan Ramayana tampil dalam format komik.

Selain Kosasih, Johnlo pernah membuat komik wayang berjudul Raden Palasara, tetapi yang kemudian produktif membuat komik wayang adalah Kosasih. Dalam waktu yang bersamaan dengan komik Mahabharata, Ardisoma juga membuat komik wayang dengan gambar yang lebih rinci dan memiliki style.

Namun, komik Kosasih jauh lebih disukai karena gambarnya yang lebih sederhana, lugu tetapi tetap menarik dan berkesan bagi pembacanya. Selain itu, cara penyampaian yang gamblang dan mudah dicerna membuat filsafat "berat" yang ada di dalamnya mudah diserap pembaca.

Munculnya komik wayang pada tahun 1954-1955 ternyata disambut sangat antusias oleh masyarakat saat itu, hingga menggeser komik Amerika. Bahkan, pasar komik Amerika di Indonesia hancur dan digantikan oleh komik lokal.

Komik wayang mencapai masa keemasannya hingga tahun 1960-an. Dalam masa jayanya, komik Mahabharata dicetak sekitar 30.000 setiap pekannya dan didistribusikan hingga ke luar Jawa. Serial komik Mahabharata diselesaikan oleh Kosasih dalam waktu dua tahun, karena cerita itu memang sangat panjang.

Pada tahun 1972, penerbit Maranatha Bandung menerbitkan ulang serial Mahabharata, tetapi tidak menggunakan naskah yang lama, karena pemilik hak cipta, yaitu Penerbit Melodi, tidak ingin menjual masternya.

Oleh karena itu, Kosasih membuat ulang Mahabharata di atas kertas kalkir agar dapat langsung dicetak di pelat. Kelemahannya adalah detailnya tidak sebagus yang pertama ketika dibuat di kertas gambar. Hingga tahun 1980-an peredaran komik wayang masih cukup baik, sampai akhirnya masuk komik Jepang.

Pada akhir 1990-an Maranatha masih menerbitkan komik wayang, tetapi baik jumlah maupun peredarannya tidak sebagus awalnya.

Pada awal tahun 2000, penerbit Elex Media Komputindo menerbitkan ulang semua komik wayang karya Kosasih dalam format kecil seperti umumnya komik terbitan penerbit ini. Sayangnya, demi alasan ongkos produksi, keindahan gambar Kosasih tidak tampak lagi di sana, bahkan Seno Gumira Ajidarma menyebutnya sebagai tidak menghargai karya besar Kosasih.

Bapak Komik Indonesia

Kosasih belajar menggambar secara otodidak. Ia sering kali mengisi waktu luangnya, baik di rumah maupun di kantor ketika menjadi pegawai pemerintah waktu itu, dengan menggambar. Pada waktu menjadi pegawai di Kebun Raya Bogor, Kosasih mendapat tugas menggambar binatang dan tanaman. Dari sinilah hobi menggambarnya makin berkembang. Dan, ketika pada suatu hari ia membaca lowongan di iklan kecil, Kosasih pun melamar menjadi komikus pada Penerbit Melodi, Bandung.

Awalnya, dia mengadaptasi komik Amerika, yaitu Sri Asih yang mirip dengan tokoh komik Amerika berjudul Wonder Woman. Oleh Marcel Bonnef, peneliti komik Indonesia, Sri Asih dianggap sebagai penanda munculnya komik Indonesia. Sebelumnya hanya ada komik strip, sedangkan Sri Asih dicetak dalam bentuk buku. Bahkan, Kosasih dianggap sebagai Bapak Komik Indonesia, sebagai pelopor munculnya komik lokal Indonesia.

Ketika merencanakan membuat komik wayang, Kosasih tidak berpikir bahwa dia menciptakan sebuah genre baru dalam khazanah budaya Indonesia. Dia mentransformasikan dua karya budaya yang bernilai tinggi, wayang asli Indonesia dengan epos terbesar dalam sejarah yaitu Mahabharata, menjadi sebuah komik.

Bagi penggemar komik di masa lalu, nama Kosasih pasti tidak asing lagi karena dia yang memperkenalkan kisah Mahabharata dengan sangat komunikatif pada pembaca.

Seperti diakui oleh Seno Gumira Ajidarma bahwa jasa terbesar Kosasih adalah mentransformasikan nilai filosofis yang berat dalam prosa Mahabharata sehingga menjadi ringan dan mudah dibaca dalam komik tanpa kehilangan makna, sekaligus dia sudah membuat ribuan orang mengenal Mahabharata. "Waktu kecil saya jadi tahu Mahabharata dari komik Kosasih. Saya enggak mungkin mampu baca prosanya yang setebal kitab suci itu," tutur Seno.

Kosasih juga diakui mampu menampilkan karakter tokoh dalam goresan tangannya. Ketika ditanya bagaimana dia menghadirkan karakter dalam komiknya, kakek satu cucu ini menjawab, "Saya hanya mengikuti perasaan saya saja ketika menggambarkan masing-masing tokoh."

Kosasih mengisahkan, munculnya ide membuat komik wayang karena di satu sisi pada awal tahun 1950-an banyak yang mengkritik komik itu bersifat "kebarat-baratan" dan tidak memiliki muatan lokal.

Terinspirasi oleh kisah yang disajikan dalam wayang, pengagum Gatotkaca ini mengajukan ide membuat komik wayang Mahabharata. Setelah menemukan buku prosa Mahabharata berbahasa Indonesia, Kosasih memulai kreativitasnya mencipta tokoh tersebut dalam komik.

Sebelum membuat serial Mahabharata, Kosasih lebih dulu meluncurkan Ramayana yang mendapat sambutan baik di pasar. Dia akui, komik wayangnya mengambil Mahabharata versi India, karena itu tidak ada punakawan seperti kisah wayang di Jawa. Meski demikian, Kosasih tetap mempertimbangkan budaya pembaca Indonesia.

Setelah menyelesaikan Ramayana dan Mahabharata, pada tahun 1970-an Kosasih membuat komik wayang Bomantara, Parikesit, dan Arjuna Sasrabahu. Ketika pesona komik wayang mulai pudar, Kosasih membuat komik yang diangkat dari legenda asli Indonesia, seperti Lutung Kasarung. Hingga tahun 1980-an Kosasih telah menghasilkan puluhan komik, namun sayangnya saat ini dia tidak ingat lagi angka pasti komik yang dibuatnya, termasuk honor pertamanya sebagai komikus.

Kemampuan fisiknya telah membatasinya berkarya sehingga sejak tahun 1990 Kosasih sudah tidak membuat komik lagi. "Tangan saya gemetar ketika menggambar. Kalau dipaksa gambarnya jelek," ujarnya.

Kini, harinya-harinya hanya diisi dengan membaca koran dan melakukan aktivitas ringan di rumah putrinya di wilayah Rempoa, Ciputat. Namun, Kosasih bersyukur, menjelang umur 90 tahun dia masih tampak bugar untuk orang seusianya. (Litbang Kompas)

No comments: