17 May 2008

Pemilu Sembilan Bulan? Sinting!

Saya baru tersadar ketika tahu bahwa masa kampanye pemilihan umum tahun depan bisa memakan waktu sembilan bulan. Saya cuma geleng-geleng kepala. Apa isi kepala orang-orang sekolahan yang disewa untuk merumuskan peraturan perundangan ini? Kalau isi kepala para politikus sih saya sama sekali tidak tertarik untuk tahu, karena sudah terbaca dari perilaku dan biaya kelakuan mereka.

Coba mari telusuri berita-berita media sepanjang dua tahun terakhir. Mari perhatian kita pusatkan ke konflik-konflik yang timbul karena pemilihan kepala daerah (pilkada). Bentrokan antarmassa pendukung jelas tak terhindarkan, belum lagi ketidakpastian hukum karena pasti pihak yang tak terima atas kekalahan mereka akan mondar-mandir ke lembaga peradilan, entah itu Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi. Tambal sulam dan bengkel bongkar pasang jelas tak terhindarkan. Belum pula dihitung perdebatan-perdebatan di media massa diantara orang-orang sekolahan yang menjadi pengamat politik, serta para pelaku politik itu sendiri. Apalagi jika kita sudah bicara soal biaya. Baik biaya resmi maupun biaya-biaya silumannya. Dimana otak orang-orang itu?

Rasanya potret derita warga yang tak henti-hentinya diwartakan media massa tak mampu menyentuh syaraf dan sel-sel kelabu otak mereka. Ini negara mau dibawa kemana? Sudah porak poranda ekonominya, korup orang-orangnya, lah kok masih mau bermain-main dengan eksperimen politik yang lama, mahal (baik biaya moneter maupun biaya sosial dan politik). Saya pun bingung, kok tidak ada aktivis organiasi masyarakat sipil yang protes. Jangan-jangan mereka pun tergiur untuk ikut cawe-cawe di eksperimen paling gila ini?

Benar-benar edan!

12 May 2008

Berkunjung ke the Corner House

Larry Lohmann dan Nick Hildyard kelihatan begitu bersemangat ketika mereka muncul di gerbang Stasiun Kereta Api Gillingham, Dorset, Jumat sore lalu. Saya yang masih kelelahan setelah pertemuan marathon di kantor Unilever di London, dilanjutkan dengan konsolidasi di kantor Greenpeace Inggris, kemudian lanjut dengan perjalanan kereta api dua jam hingga tiba di Gillingham, hanya bisa menyambut rangkulan hangat keduanya. Dengan Larry saya masih lumayan sering bertemu dibanding Nick. Terakhir kami sama-sama hadir dan aktif di lokakarya Durban Group beberapa hari sebelum Konferensi Perubahan Iklim di Bali dimulai, Desember 2007. Sedangkan Nick, terakhir saya bersama-sama dengan dia kira-kira tahun 2001, di Canada. Dan kunjungan ke kantor mereka, the Corner House, adalah yang pertama buat saya. Masih setengah jam lagi untuk mencapai kantor the Corner House yang melegenda itu di Sturminster Newton, Dorset, dari Stasiun Kereta Api Gillingham.

Kami menyempatkan kongkow di sebuah kedai minum pedesaan, di pinggiran kota Sturminster Newton. Udaranya sejuk, meski sinar matahari cukup menyengat sore itu. Tak lama setelah mendapat meja, yang pertama kali saya lakukan adalah memberi Nick rokok Ji-Sam-Soe, yang ia pesan lewat email. Bahagia sekali dia. Kami duduk di bagian belakang cafe, yang disebut smoking patio.

Larry bercerita tentang roadshow buku terakhirnya, Carbon Trading - Critical Conversation, selama dua bulan di sepanjang Amerika Utara, yang berakhir Februari lalu. Sementara berkisah tentang kemenangan kasus mereka melawan Pemerintah Inggris, terkait korupsi dalam perjanjian perdagangan senjata antara BAE System dengan Saudi Arabia. Meski itu adalah kemenangan besar buat the Corner House dan publik Inggris, tindak lanjut proses hukum oleh Pemerintah Inggris dinilai Nick dan Larry penuh dengan muslihat. Terkejut juga saya mendengarnya. Kok seperti di Indonesia ya?

Larry Lohmann adalah salah seorang pemikir dan penulis yang produktif yang tak lelah membuka mata para akademisi, aktivis serta para internasionalis tentang ketidakadilan global yang semakin hari semakin membahayakan. Hal yang paling dikhawatirkan Larry adalah, proses pembalikan alami, dimana di masa lalu bangsa Eropa begitu agresif menjajah dunia ketiga, di Asia, Afrika dan Pasifik, kini gelombang bangsa Asia, Afrika dan Pasifik ke negara-negara Eropa menjadi semacam karma. Yang jadi persoalan, gelombang aliran populasi itu tak pelak menimbulkan ketegangan sosial, yang membuat rasisme menjadi semakin nyata. Di sela ngobrol di kedai kopi di seberang the Corner House, saya menanyakan, apakah dia sadar bahwa tempat dia tinggal ternyata semuanya kulit putih. Sehingga saya sering kagok ketika memasuki tempat-tempat publik diikuti pandangan mata heran orang-orang di sekitar. Larry hanya tersenyum simpul.