30 April 2008

Siapa Korban Paling Rentan?

Benarkah terjadi krisis pangan? Krisis pangan atau "krisis pangan"? Atau krisis konsumsi pangan?

Saya tak akan pernah lelah mengusung thesis lama, bahwa pengurus Negara tutup mata terhadap keselamatan warga. Warga harus bekerja sendiri menyelesaikan masalahnya tanpa bisa berharap uluran tangan pengurus Negara.

Krisis pangan hanya salah satu dari daftar panjang krisis dan bencana (catastrophes) yang mengancam dan menghantui kehidupan warga negeri kepulauan ini. Modus hidup warga Indonesia adalah bertahan hidup (survival). Tentu thesis ini tak berlaku bagi warga yang berkelebihan, yang lebih pusing memilih sepatu mana yang cocok dipakai saat mengenakan salah satu koleksi pakaian di lemari. Tololnya, yang disebut krisis di Indonesia adalah menyempitnya akses warga untuk memperoleh, mendapatkan dan memanfaatkan kebutuhan-kebutuhan dasar yang seharusnya dijamin Negara.

Kebijakan dadakan alias crash programme alias tambal sulam sudah jadi ciri pengurus negeri ini, selepas lengsernya alm. Eyang Kakung Suharto. Kebijakan-kebijakan Negara yang bersifat reaktif seringkali tak memperhitungkan dampaknya terhadap kehidupan warga. Atas nama menyeimbangkan anggaran Negara warga diminta berbesar hati merasakan dampak demi tujuan yang lebih besar. Terhadap apa yang sekarang ramai disebut krisis pangan pun sama. Toh terbukti tak satu rejim pengurus Negara mana pun di dunia ini yang mampu mengendalikan liarnya gerak pasar. Ancaman hukuman terhadap para penimbun bahan pokok, sebagai contoh, tak pernah berhasil menciptakan efek jera. Semakin pengurus Negara mencoba mengatur dan mengendalikan pasar, semakin kasatmata ketololan mereka.

Siapa pihak yang paling menderita dari cerita ini semua? Yang paling jelas adalah anak-anak dan kelompok perempuan. Mutu gizi anak-anak di negeri ini adalah data yang paling sering dimanipulasi demi menjaga citra positif kinerja ekonomi-makro Indonesia. Meski angka-angka balita kurang gizi pada Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index, HDI) dari UNDP sudah cukup horror, tetapi saya yakin data itu masih indikatif sifatnya dan terlalu konservatif. Ada banyak realita yang gagal ditangkap metoda-metoda canggih pengumpulan data HDI. Ambil contoh rangkaian proses dari keputusan rumah tangga mengorbankan biaya pendidikan anak atas nama pemenuhan konsumsi, yang berangkai dengan keputusan melibatkan sang anak dalam kegiatan-kegiatan produksi, baik sebagai buruh langsung maupun buruh tak langsung.

Mutu keselamatan dan kesehatan reproduksi perempuan juga adalah data yang paling sering disembunyikan di bawah karpet. Alih-alih menggambarkan angka laju kematian ibu melahirkan, yang justru disajikan adalah keberhasilan pengurus Negara menekan angka kelahiran. Bisajadi keduanya tak berhubungan langsung, tetapi akal sehat saya melihat keterkaitan yang tak terelakkan.

Apa yang akan kita hadapi di masa depan dengan situasi seperti ini? Yang jelas, kita akan memiliki generasi masa depan yang masa kecilnya hidup dengan rendahnya mutu gizi, pendidikan, dan kesehatan. Jangan-jangan negeri ini memang diarahkan untuk menjadi wilayah penyedia buruh murah (sweatshops' labour market)?

26 April 2008

Corporate Social Responsibility? "Amoral!" Kata Friedman

Hakekat perusahaan (corporation) adalah menghidupkan dinamika ekonomik lewat kegiatan produksinya yang mampu menangguk laba agar perusahaan dapat bertahan hidup (survival) atau tumbuh dan meluas. DNA sebuah perusahaan adalah mencari laba. Memaksimalkan perolehan laba dalam konteks bersaing dengan perusahaan lain yang memiliki produk serupa merupakan keniscayaan bagi sebuah perusahaan. Maka ketika perusahaan tampil di depan publik dengan citra tanggung jawab sosial dan lingkungan, itu patut dipertanyakan. Bahkan Milton Friedman menyebutnya amoral!

Tentu saja kecaman Friedman, dan juga Noam Chomsky, bukan suatu pernyataan tunggal. Ada prasyarat yang mesti dipenuhi, yakni peran Negara yang optimal dalam menjamin keselamatan warga, produktifitas warga dalam memenuhi dan mempertahankan kualitas hidup terbaik mereka, serta kemampuan warga merawat dan menjaga fungsi-fungsi alam. Sehingga kewajiban Negara dalam menjamin akses warga kepada pelayanan kesehatan, pendidikan, sumber-sumber pangan dan air bersih yang terjangkau serta energi untuk keperluan kelangsungan hidup menjadi syarat mutlak agar peran perusahaan sebagai dinamisator ekonomi pun berlangsung optimal. Hal tersebut yang tak terjadi di negeri ini.

Pengurus Negara di Indonesia sibuk mengurusi dirinya sendiri. Menyeimbangkan anggaran demi menjaga citra kepengurusan dengan tampilan kinerja ekonomi-makro di hadapan lembaga-lembaga keuangan multilateral dengan mengorbankan keselamatan warga, seperti yang tampak jelas pada pencabutan subsidi BBM, harga gabah di tingkat petani dan sebagainya. Kewajiban Negara menyediakan pelayanan kesehatan dan pendidikan pun hampir bulat-bulat diserahkan kepada pasar, dengan maraknya swastanisasi klinik dan rumah sakit serta persekolahan yang tak bisa menghindari kalkulasi untung rugi menjadi utama dibandingkan aspek pelayanan warga. Jaminan Negara yang mestinya dibiayai dari perpajakan bisa dikatakan tak jalan di Indonesia karena berbagai faktor, dengan korupsi sebagai induk penting faktor penyebabnya. Akibatnya sosok perusahaan merambah hingga ke sektor pelayanan publik yang seharusnya menjadi kewajiban Negara.

"Perusahaan dibentuk untuk menangguk laba, bukan untuk tujuan sosial atau tujuan lainnya," kata Noam Chomsky. "Itu tanggung jawab Negara!" Logikanya, Negara mampu menegakkan mekanisme perpajakan dari dinamika ekonomi yang digerakkan perusahaan-perusahaan. Warga sebagai obyek hukum dan pajak serta pada saat yang sama adalah konsumen dari barang dan jasa industrial yang diproduksi perusahaan harus dijamin keselamatan, kesejahteraan dan produktifitasnya oleh Negara demi terjaganya keseimbangan sosial-politik-ekonomik. Tetapi pendapat normatif Eyang Chomsky dan Eyang Friedman jauh panggang dari api di negeri kepulauan yang amburadul ini.

Kemudahan pajak, penghapusan birokrasi pada penanaman modal (investasi), kemudahan memperoleh lahan serta ketersediaan buruh murah dalam jumlah yang besar menjadi paket kebijakan Negara yang membuat Indonesia menjadi surga bagi investor tetapi sekaligus neraka bagi warganya sendiri. Pada konteks Indonesia, perusahaan yang pada hakekatnya memaksimalkan perolehan laba dengan memperbesar ambang laba (profit margin) dengan meminimalkan eksternalitas dan liabilitasnya telah menjadikan kehidupan sosial dan lingkungan hidup sebagai tempat sampah mereka. Tempat sampah bagi eksternalitas, liabilitas serta resiko-resiko bisnis mereka. Dan hal itu sangat memungkinkan di Indonesia karena adanya kebijakan-kebijakan Negara yang memanjakan perusahaan-perusahaan.

Sehingga, ketika sebuah konsep tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) didorong menjadi suatu tolok-ukur kinerja perusahaan, timbul pertanyaan sederhana, "Memang ada masalah apa kok perusahaan harus menampilkan sosok tanggung jawab mereka dalam hal sosial dan lingkungan?" Chomsky berpendapat, karena perusahaan tidak ingin menanggung beban baru, yakni keresahan dan konflik sosial dan politik, karena kenyataannya kualitas sosial dan lingkungan hidup terus merosot sementara perolehan laba perusahaan terus meroket. CSR adalah tabir asap (smoke-screen) liabilitas dan eksternalitas perusahaan yang selama ini disembunyikan di bawah karpet.

Jika perusahaan berproduksi dan saling bersaing secara sehat serta melaksanakan kewajiban pajak mereka, dan saat yang sama Negara menjamin keselamatan dan kesejahteraan warga, produktifitas warga untuk memenuhi dan mempertahankan kualitas hidup terbaik mereka, serta kemampuan warga merawat fungsi-fungsi alam, CSR sama sekali tidak dibutuhkan. CSR adalah penanda simbolik ketidakberesan bisnis sebuah perusahaan dan saat yang sama merupakan penanda bobroknya pengurusan Negara. Semakin mengkilat tampilan CSR sebuah perusahaan, mestinya kita semakin curiga, seberapa besar masalah yang disembunyikan di bawah karpet?

24 April 2008

Paradoks Konsumsi

Orang-orang di Indonesia, tak cuma Jawa, tengah mabok kepayang pada barang-barang dan jasa industrial. Kemudahan mendapatkan barang-barang tersebut membuat kacau urutan kebutuhan dasar perseorangan dan keluarga. Teori Maslow berantakan. Tidak ada lagi yang namanya kebutuhan primer, sekunder dan tersier. Kalau perlu kualitas pangan untuk anak dikorbankan demi membeli sebuah telepon genggam model terbaru. Atau, tunggakan biaya sekolah anak bisa menunggu demi uang muka membeli sepeda motor buatan China, yang menurut iklan lebih unggul dibandingkan buatan Jepang.

Pertanyaan paling tolol dari kisah di atas, "Lalu bagaimana siklus produktifitas perseorangan atau keluarga demi menjaga kualitas hidup tidak merosot?" Saking tololnya kita tidak menyadari bahwa sekarang ini adalah zaman utang sudah bukan lagi sesuatu yang memalukan. Bahkan berutang di kalangan berpunya telah dikemas sedemikian rupa hingga ada peringkatnya: Silver, Gold, Platinum, dan seterusnya. Edan suredan!

Seorang sepupu saya dengan bangga memamerkan mobilnya yang terbaru, Grand Livina. Kemana mobilmu yang dulu (sebuah Toyota Avanza yang dikenal dengan sebutan mobil sejuta umat), tanya saya. "Tukar tambah lah Mas." Kemudian dia dengan fasih bicara panjang lebar, selayaknya seorang salesman mobil, tentang kemudahan-kemudahan fasilitas kredit yang ia gunakan. Luarbiasa pengetahuannya. Mungkin jika saat itu saya sela dengan pertanyaan, "Ngomong-ngomong kamu tahu nggak siapa itu Teras Narang?" Dia akan terbengong-bengong, dan balik tanya, "Siapa tuh? Apa ada hubungannya dengan fasilitas kredit mobil?"

Kemudahan memperoleh barang (lewat siasat-siasat kredit perbankan), gempuran iklan nan mengkilat, mendesah dan merayu, laju produksi dan distribusi barang dan jasa konsumsi yang meroket, agaknya tidak ada urusannya dengan potret nelangsa warga di desa-desa di Riau yang kebingungan dengan harga minyak goreng curah mencapai Rp 16.000/kg, padahal propinsi tersebut memiliki luas lahan perkebunan kelapa sawit terbesar di Indonesia. Juga tidak ada urusannya dengan warga di desa-desa di Sumatera Selatan, yang terkenal dengan sebutan "Lumbung Energi Nasional", berkeringat antri minyak tanah. Potret nelangsa tersebut pupus ketika kita ajak orang-orang yang antri tersebut bicara tentang jenis terbaru telepon genggam merek tertentu. Atau ajak mereka bicara tentang kelanjutan serial sinetron di stasiun televisi tertentu.

Pada sebuah perjalanan di Pulau Flores, akhir tahun 2005, saya terkejut disajikan fenomena luarbiasa. Warga di sebuah kecamatan ramai-ramai melepas dan menjual tanah untuk membeli sepeda motor buatan China. Saya sempat bertanya, apakah sepeda motor itu untuk keperluan transportasi keluarga atau untuk keperluan produksi. Jawaban beberapa diantara mereka sangat tegas, "Untuk ojek, Pak. Uangnya lebih cepat daripada bertani." Jika sebagian besar mereka menjual tanah untuk beli sepeda motor untuk ojek, lalu siapa penumpangnya? Booming cengkeh saja mendorong pemiskinan petani, apalagi booming sepeda motor...

23 April 2008

Biadab: Absennya Sang Walikota

Cobalah Anda berkendara ke Bogor. Jika Anda berangkat dari Jakarta menggunakan jalan tol, setiba di mulut tol tepat di muka Terminal Baranangsiang, arahkan kendaraan Anda ke kanan. Ketika tiba di muka Pangrango Plaza jalan pecah menjadi dua. Ambil sebelah kanan. Ikuti jalan hingga tiba di pertigaan dengan sebuah monumen yang tak jelas maknanya, menggambarkan seorang pemuda berpakaian olahraga tetapi ada bentukan tabung dan jarum suntik, ambil jalan ke kiri, ke arah Jalan Raya Parung. Jalan tersebut dikenal dengan nama Jalan Baru. Ikuti jalan tersebut hingga melewati sebuah proyek terowongan di bawah rel kereta api. Sekarang saya ucapkan, "Selamat datang di neraka Bogor...."

Jika Anda penggemar olahraga otomotif offroad, mungkin Anda akan menemukan kenikmatan ketika melalui Jalan Baru. Lubang-lubang besar menganga di sana-sini menanti Anda. Amati kendaraan-kendaraan angkutan umum berwarna hijau dan biru, dikenal dengan sebutan angkot (angkutan kota), meliuk-liuk bermanuver mencoba mengatasi lubang-lubang tersebut. Jika Anda menggunakan kendaraan sedan, dijamin Anda harus memperbaiki perangkat kemudi serta kaki-kaki roda kendaraan Anda.

Saya tak pernah habis pikir dengan keadaan tersebut. Proyek perbaikan jalan biasanya mengikuti jadual anggaran. Menjelang tutup tahun anggaran, baru proyek perbaikan dikebut. Jangan ditanya soal kualitas bahan dan kualitas pengerjaan. Namanya juga proyek yang dipercepat. Yang penting platform anggaran tercapai dan selesai tepat waktu. (Saya coba tak berpretensi terjadi tindak penggelembungan nilai belanja proyek atau korupsi). Umur jalan dalam keadaan baik hanya sebentar. Begitu truk-truk besar dengan beban angkut yang (senantiasa) melewati batas sesuai ketentuan melalui Jalan Baru, butuh hanya dua minggu hingga sebulan untuk kembali ke keadaan hancur-hancuran.

Pernah seorang kawan berkata, "Wah, lumayan tuh lubang-lubang itu untuk menanam ikan lele...." Saya hanya tersenyum kecut dengan canda bernada sindiran itu. "Atau mungkin cocok untuk bertanam padi ya....." Kami pun tertawa kecut sambil menikmati guncangan-guncangan tak nyaman saat melalui Jalan Baru nan biadab. Kemana gerangan pejabat pengurus kota? Apakah mereka tak pernah melalui Jalan Baru?

Keadaan jalan seperti itu tidak dimonopoli Jalan Baru. Silakan Anda menjelajahi bagian lain Kota Bogor. Perumahan Taman Cimanggu misalnya. Atau ke arah perumahan TNI Angkatan Udara di daerah Semplak. Saya tak tahu bagaimana tingkat kecelakaan kendaraan bermotor akibat kualitas jalan raya Kota Bogor yang hancur-hancuran ini. Kemana gerangan sang Walikota? Apakah beliau tak pernah melalui jalan-jalan yang hancur itu?

12 April 2008

Does Asia exist?

Economist.com - Apr 9th 2008

A new book suggests we are witnessing the creation

SAD to say, this column suffers occasional pangs of existential doubt. Is there really such a place as “Asia”? Of course there is, if you look at a map—though even there, definitions differ.

Does it include Australasia? How about what Europeans call “the Middle East”, known to South Asians and the United Nations as “West Asia”?

The Economist answers those questions “yes” and “no”, respectively. For us, Asia is everywhere east of Iran, including Australia, New Zealand and the Pacific Islands (which in theory means we should call the six “stans”, more normally known as “Central Asia”, “West Asia”. But let it pass).

The more fundamental issue, though, is whether Asia is anything more than a handy cartographical term. Has it outgrown its ancient Greek origins, when it was used to mean everywhere east of that country? Should this column really be called Eastofgreece.view?

This is a long-running debate. In 1995, when he was foreign minister, Malaysia’s prime minister, Abdullah Badawi, was asked at a press conference whether Australia was part of Asia (as its government at the time very much wanted to be). “No”, he chided his Australian questioner, “look at a map.” He then used his arms to explain that Australia was way down there and Asia “up here”.

What he really seemed to mean was that Australia was largely inhabited by people of European descent. Look not at a map, but in the mirror. But an ethnic definition does not work either, since Asia is so diverse in that respect too.

This latest bout of questioning from Asia.view is inspired by a new book, “Rivals”, by Bill Emmott (who edited The Economist until 2006), which offers some timely reassurance.

The main theme of “Rivals” is explained in its subtitle: “How the power struggle between China, India and Japan will shape our next decade.” But before exploring the emerging relationship between Asia’s three giants, Mr Emmott argues that Asia is undergoing its “deepest and most extensive integration” ever (or at least since Genghis Khan’s time, which saw integration of a rather different sort). Indeed, we are witnessing “the very creation of Asia”.

That, as you can imagine, is a relief. Our doubts are misplaced if understandable. This is a column ahead of its time.

Before this column pats itself on its virtual back, however, it ought to examine some of the counter-arguments that Mr Emmott ably presents. Asia has been, as he notes, “not so much a continent as an array of subcontinents, or subregions, dotted across thousands of miles of ocean and land”.

The world’s highest mountain range separates two ancient civilisations: India and China. Languages on the Indian side are part of the “Indo-European” family rather than the “Sino-Tibetan” tongues of East Asia.

Buddhism spread from India all the way to Japan, but remains dominant only in smaller Asian countries: Myanmar, Thailand, Cambodia, Sri Lanka and Laos. If religion defines Asia at all, Mr Emmott notes, it is more by tolerance than doctrine. “That is an admirable characteristic,” he says, “but it is not a unifying one.”

Mr Emmott argues that two forces are drawing today’s Asia together: a rapid economic integration, under which half the region’s merchandise exports go to other Asian countries; and an inchoate institutional process, notably through the “East Asia Summit”, which brings together India, Australia, New Zealand as well as the ten South-East Asian countries, China, Japan and South Korea.

One could question both parts of this. Some of the intra-regional trade is accounted for by parts of an export supply-chain generated by the West. And the East Asia Summit has done little more than meet. But why would Asia.view shoot itself in the foot?

Land Use Change and All Indonesian's Typical Bullshits

Corruption should inevitably be said as the primary driver of the sustainable deterioration of this archipelagic state. The revoke of protected forest in Bintan island for building the local government office complex is a common blemish in Indonesia and doesn't necessarily link to corruption conduct. But not for Al Amin, member of the Indonesian parliament, whose been caught in the act by the Indonesian Corruption Eradication Commission (KPK) upon receiving graft at a stars hotel in Jakarta. He's accused of receiving graft for smoothing conversion of protected forest in Bintan for the development of the local government office. So what?

Several journalists called me and requested for phone interview and asked my opinion. A usual first response I gave, "Opinion on what?" It's a typical journalist question which isn't a question whatsoever. They didn't come up with stronger backgrounder and assumed that I share interest with other resources. Some of them need for some time to rearticulate the question as I clearly said, "I read that news, and have no comment since I consider that as common blemishes here in our country." I have to explain that they should interview resources from the Indonesia Corruption Watch (ICW) or Transparency International (TI) or Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) regarding the case. Until then finally they successfully built a better question, "Okay, could we have your opinion on conversion of protected forests in Indonesia, from your organisation perspective?"

Forest conversion or forest land use change is the top policy lies in this country. If you open the map of Indonesia with good segregation of layers based on land or spatial uses, you'll find pretty good portion of wide variety of areas designation, including the protected forest. According to the law, the protected forest is aimed at protecting integrity of the surrounding ecosystem and (hopefully aimed at) securing safety of the people. As a printed product, that map is pretty good for developing a proposal submitted to some bilateral and multilateral development assistance agencies for a what-so-called sustainable environmental projects. It has nothing to do with safety of the people (though it's always mentioned as one of key primary objectives in the proposal). But, in reality, the nice coloured layer on the map of the protected forest doesn't mean anything to the government but spare lands for any kind of new development.

It is not the community declaring the protected forest officially, unless those under customary laws that always been revoked by the State's law. And it is not the community that has power to convert land use of the protected forest. The government is the one who holds power to do that. One stupid question is, "If the government would anyway convert the land use of a protected forest, why did they set up the area as a protected forest?"

This morning a journalist called me and confirmed a research group from known university in Bogor, assigned by the Forestry Minister, just came up with conclusion that the protected forest in Bintan is eligible to convert, as the extent and diversity of natural mangrove ecosystems had long been destroyed, and the local community had also long been utilising the areas for years. My goodness. The most stupid morning ever in my life.... What kind of research is that? I thought research would always come up with more open, optional in nature and conditional answers, not with fabricated set of fixed answers. If the area had long been fucked up, would it only have one answer: Land use change? How about other possible answers like, "rehabilitation"? Or, "area management improvement"?

Friends, I have no intention disrupting your appetite for breakfast this morning. But I really have pretty bad Saturday morning at the moment...

02 April 2008

Finally, A Home For Smokers

A bit annoying title I supposed, particularly for those, the hypocrites who publicly running a show of how they are defending the mother earth, and be superficially patriot of the environment, but vaguely put their position between workers for organizations and the activist ones. That's basically my concern. Employee versus activist....

So then a friend questioned my commitment. "For more than fifteen years you work for the environmental issue, how then you survive with your smoking habits? If you committed to the environment, you firstly should give up your bad habit!" Aside from semantic debate of that question, I won't be indifferent to that question and questions perhaps often raised by evangelists or Islamic hardliners. "If you do this, so you can't do that. And if you're that, so you can't do this," type of dogmatic statement and/or question.

I'd rather to counter the question by putting first the thorough atmosphere of our middle-class paradigm, particularly the raising new intellectual and critical urban and well informed group of young people, in the reality of an understanding of life's material progress and happiness. A new Nokia's PDA, a new gadget, a new software, a new elegant buzzword and terminology, a new indicator of advancement, a new social status, etc.. But, what's all about? Selfishness and strong desire for a acknowledgement and recognition!

I remember a paragraph from Graham Hancock's Lords of Poverty. I interpret that as "industrialized countries' originated development workers will put tenun-ikat and batik's ornament on wall of their house or apartment to show that they're belong to a new class of global societies of the development." They perhaps did noble activities down there in Uganda or Boznia or Tanzania or East Timor or Indonesia or else, whether on voluntary basis or as highly paid trainers or consultants hired by the development consulting agents under of what-so-called global development assistances' scheme. And perhaps they don't have bad intention and simply want to show off their particular, and far from the grandeur's strategy of global control over production and consumption imposed by complicated web of capital and power commonly represented by anything thing of multinationals, internationals, transnational, global, etc..

Excuse me, friends, I must catch my jet-
I'm off to join the Development Set;
My bags are packed, and I've had all my shots,
I have travelers' checks, and pi;;s for the trots

The Development Set is bright and noble,
Our thoughts are deep and our vision global;
Although we move with the better classes,
Our thoughts are always with the masses.

In Sheraton hotels in scattered nations,
We damn multinational corporations;
Injustice seems so easy to protest,
In such seething hotbeds of social rest.

We discuss malnutrition over steaks
And plan hunger talks during coffee breaks.
Whether Asian floods or African drought,
We face each issue with an open mouth.

We bring in consultants whose circumlocution
Raises difficulties for every solution-
Thus guaranteeing continued good eating
By showing the need for another meeting.

The language of the Development Set
Stretches the English alphabet;
We use swell eords like 'epigenetic',
'Micro', 'Macro'. and 'logarithmetic'.

Development Set homes are extremely chic,
Full of carvings, curios and draped with batik.
Eye-level photographs subtly assure
That your host is at home with the rich and the poor.

Enough of these verses -- on with the mission!
Our task is as broad as the human condition!
Just parry to God the biblical promise is true:
The poor ye shall always have with you.

(The Development Set, from Graham Hancock's book "Lords of Poverty").
So here we go. Crowds of people with consciousness of a better world and tireless of preaching about a new world with high taste of aesthetics, justice and peace. It's not about lifestyle. I'd rather call this a fast growing cult. And I certainly am not be able and can't afford to join the set. So, those who still love of having plastic flower in their pots, love instant coffee, smoke cigarettes, don't have any idea about wide variety of exotic Asian foods, and other low taste life style, welcome to our home. A home for low caste of smokers....