14 August 2008

Fixing the Hole - Mulai Dari Mana?

Awicaks
Di depan mata terhampar bentangan luas lahan kosong. Seperti tak berujung, dan rasanya matahari di atas kepala ada tiga. Panas luar biasa. Suhu panas juga disebabkan proses pengeringan gambut yang melepaskan jutaan ton karbondioksida (CO2). Sudah dua jam perjalanan, dan sepertinya tidak berujung.

"Dulu di sini adalah hamparan hutan. Dalam waktu kurang dari setahun hutan di sini dibersihkan, karena perusahaan sudah dapat HGU (Hak Guna Usaha) untuk memulai membangun kebun kelapa sawit." Ujar kawan yang menemani saya.

Itu perjalanan sebulan lalu di salah satu kawasan kaya karbon di Riau. Dan pemandangan yang saya lihat tadi hanya puncak dari gunung es. Riau adalah wilayah yang sudah luluh lantak oleh perkebunan besar tidak hanya akhir-akhir ini, bahkan sudah sejak abad ke-18, padsa masa pendudukan Belanda. Yang mengenaskan, keadaan dan modus operandi yang ada sekarang tidak berbeda dengan yang dilakukan pada masa pendudukan Belanda itu.

Sejalan dengan agresifitas pertumbuhan modal-modal besar, seluruh operasi yang "memakan" hutan pun berlangsung semakin efektif dan harus efisien. Atas nama batas-laba (profit margin) metoda pembukaan hutan dan penyiapan lahan paling murah pun dipilih: Membakar sisa-sisa hutan yang ditebang.

Tahun 1997 Riau merupakan salah satu wilayah yang paling mengenaskan dilanda bencana asap. Ratusan anak-anak menderita infeksi saluran pernapasan bagian atas (ISPA). Sarwono Kusumaatmadja, yang saat itu menjabat Menteri Lingkungan Hidup, tergerak untuk melakukan kerja-kerja di luar batas kewenangannya. Ia begitu tak sabar melihat ketidakpedulian kantor negara yang mestinya bertanggung jawab, seperti Departemen Kehutanan dan pemerintah daerah setempat.

Kebakaran lahan hutan tahun 1997 memang bukan yang terbesar, ada pula kebakaran tahun 1982 yang tak kalah hebat, dan sama-sama dibarengi dengan masa gelombang panas (El Nino). Akibatnya derita warga bertumpuk. Sudah terkena bencana asap, lalu mengalami pula kekeringan.

Di media massa para pejabat tak malu-malu menuding masyarakat sebagai penyulut kebakaran. "Mereka miskin, tak punya pilihan selain membakar hutan demi hidup." Sebuah ungkapan paling tolol yang pernah saya dengar. Sudut pandang sepihak dengan sikap lepas tanggung jawab merupakan ciri khas paling menonjol dari pejabat publik di negara ini.

Kebakaran 1997 yang melanda Sumatra dan Kalimantan itu menjadi penanda dari ambruknya rejim korup Orde Baru. Tak lama, setelah diselenggarakan pemilihan umum a la Orde Baru yang kembali mengantarkan Suharto menjadi presiden untuk kesekian kalinya, Sarwono pun tak tergusur dari jajaran elit Orde Baru. Yang menarik, itulah awal dari runtuhnya kepongahan Orde Baru Suharto.

Setelah Orde Baru tumbang, pada masa reformasi, kebakaran hutan menjadi prioritas penting rejim berikutnya. Namun, alih-alih menyelesaikan krisis, kebakaran hutan justru menjadi kerangka acuan (Terms of Reference, ToR) baru pengembangan proyek-proyek milyaran rupiah, baik yang berasal dari bantuan (tak gratis) negara-negara maju maupun proyek utang luar negeri. Ini memang ciri negeri amburadul ini. Krisis dipecahkan lewat proyek. Krisis tak selesai, pengelola proyek makin kaya!

Yang jelas bencana asap menjadi pemicu ucapan permintaan maaf setiap presiden yang berkuasa sejak Suharto kepada negara-negara tetangga, terutama Malaysia dan Singapura. ASEAN pun tergerak merumuskan sebuah perjanjian kerjasama penangangan bencana asap. Selesaikah krisis? Lagi-lagi ia hanya melahirkan proyek-proyek baru....

"Harusnya pemerintah Malaysia minta maaf kepada kita karena tak mampu mengontrol para pemodal mereka yang berinvestasi di perkebunan kelapa sawit di Sumatra dan Kalimantan," ujar seorang pejabat publik dari Departemen Kehutanan pada masa kepresidenan Megawati. Buruk rupa cermin dibelah!

Mungkin mudah bagi saya menulis, utamakan keselamatan warga dalam kebijakan-kebijakan publik! Tetapi dengan carut-marut struktur dan karakter pengurusan negara macam begini, ktia mesti mulai dari mana? Tanpa pemimpin-pemimpin bernyali, nothing to lose, warga Indonesia tak mungkin keluar dari lingkaran setan krisis. Percayalah!


No comments: