02 January 2006

Pengantar Pengarang Tentang Buku Yang Ditulisnya

Judul buku: Sejarah Tumbuh di Kampung Kami
Tebal : 208 halaman
Penulis : Mardiyah Chamim, wartawan Tempo
Editor : Dwi Setyo Irawanto
Kata Pengantar : Ir. Sarwono Kusumaatmadja dan Bondan Winarno
Penerbit: Yayasan Air Putih
Penerbit pendukung:

  • Yayasan Puter
  • Cisco System Indonesia
  • Jaringan Relawan Kemanusiaan
Sejarah Tumbuh di Kampung Kami. Buku ini berkisah tentang pengalaman saya, sebagai wartawan dan relawan, bekerja di Aceh selama setahun terakhir. Buku ini juga merupakan persembahan saya terhadap 200 ribu korban gempa yang disusul tsunami, 26 Desember tahun lalu. Bukan sesuatu yang muluk-muluk, persembahan ini sekedar ungkapan atas apa yang saya rasa, dengar, dan alami selama bergaul dengan Aceh pascatsunami.

Sebagai wartawan, saya kerap kali merasa gelisah. Ada begitu banyak kisah yang layak diberitakan tetapi begitu sedikit ruang yang tersedia. Berita tentang Aceh yang tadinya menghuni semua halaman utama, pelahan-lahan tersuruk sebagai berita kecil di halaman paling buncit.

Dengan segala keterbatasan, saya mencoba menyiasati keterbatasan media tersebut. Catatan demi catatan saya kumpulkan. Tentang relawan yang setia mendampingi masyarakat. Tentang orang-orang yang bertahan hidup dengan gagah sekalipun ditinggal anak-istri dan mereka yang terkasih. Tentang proses evakuasi mayat yang membutuhkan kerja luar biasa. Tentang proses pemulihan yang berliku dan menyimpan problem berlapis-lapis. Tentang perdamaian yang masih rapuh. Juga tentang upaya meraih hari esok yang lebih baik.

Judul buku ini secara khusus terinspirasi dari proses kebangkitan sebuah desa pascatsunami. Desa Lamsenia, Kecamatan Leupung, Aceh Besar, termasuk wilayah yang terkena dampak tsunami cukup parah. Hampir segalanya hilang, harta dan nyawa. Kemudian, dengan bantuan teman-teman relawan pendamping dari Yayasan Puter, desa yang bertekuk lutut di hadapan tsunami ini mulai bergerak meraih kembali kehidupan dengan bermartabat.

Sebagian besar catatan yang saya kumpulkan lembar demi lembar, saya yakin bernilai kemanusiaan dan dokumentasi yang tinggi. Sejak awal saya bertekad catatan ini harus dipublikasikan, agar bangsa ini bisa belajar tentang bencana yang telah merenggut begitu banyak nyawa. Agar kematian massal saudara-saudara kita memiliki arti dan tidak sekedar berlalu digeser berita lain yang lebih sensasional. Buku setebal 200 halaman ini juga dilengkapi foto-foto yang bernilai dokumentatif penting, diambil dari koleksi pribadi saya maupun koleksi Tim Air Putih.

Secara khusus saya juga mengungkapkan kiprah teman-teman Yayasan Air Putih. Anak-anak muda yang bergiat dalam yayasan ini sungguh luar biasa. Dedikasi mereka layak diacungi jempol. Dan, mereka semua bersikap rendah hati. Tak ada klaim hebat yang muncul dari anak-anak muda ini. "Biasa saja, Mbak. Ndak ada yang luar biasa, kok, yang kami lakukan ini," begitu biasanya Anjar atau teman-teman Air Putih yang lain berkomentar.

Saya tahu bahwa yang dilakukan teman-teman Air Putih bukannya biasa saja melainkan sungguh istimewa. Mereka menjadi penghubung mereka yang tidak terhubung pada saat-saat genting. Ribuan korban hilang, ribuan orang tua kehilangan anak, ribuan kerabat tak tahu di mana sanak-saudara berada. Jaringan internet yang dibangun teman-teman Air Putih berperan sangat penting dalam menghubungkan mereka yang terserak.

Dan, lebih dari sekedar berperan di masa emergency, apa yang dilakukan Yayasan Air Putih memiliki dampak yang luas. Koneksi internet memungkinkan pertukaran berjuta gagasan dan sudut pandang. Hal ini, diitambah hilir-mudik orang-orang dari luar Aceh, dalam dan luar negeri, membuat penduduk lokal berinteraksi dengan beragam budaya, cara berpikir, dan gaya hidup. Sebuah tahapan pada saat masyarakat, meminjam selarik puisi Amir Hamzah, saling bertukar tangkap dengan lepas.

Mudah-mudahan dengan tahapan ini akan terbentuk masyarakat yang lebih terbuka, open mind, serta menghargai perbedaan dan keragaman. Seperti payung parasut, pikiran bekerja dengan baik hanya apabila dia terbuka. Kontribusi Air Putih, dalam konteks ini, sungguh tidak bisa ternilai dengan materi.

No comments: